Ya Ahbabal Kirom,
Secara moral kemanusiaan dan etika keagamaan, bohong itu perilaku paling keji, kunci kejahatan, dan dosa besar. Mudah disadari bila Nabi SAW menyebutnya sebagai cara paling terampil menjatuhkan harga diri dan mempermalukan diri sendiri. Itulah mengapa seseorang berbohong, di antaranya, karena kualitas jiwanya yang rendah, “Pembohong tidak berbohong kecuali karena rasa hina diri dalam dirinya” (Kanz Al-Ummāl, hadis no. 8231).
Nabi juga menambahkan, “Dan pangkal mengolok-olok adalah kepercayaan pada pembohong.”
Allah SWT Berfirman,
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka (orang munafik), mereka pasti mengatakan, ‘Kami hanya bergurau dan bermain-main.’ Katakanlah,’ Apakah kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian mengolok-olok?!’”
(QS. Al-Taubah [9]: 65)
Ayat ini terkait orang-orang munafik. Tetapi boleh jadi, sifat dan perilaku mereka juga ada pada diri orang beriman. Dalam banyak hadis disebutkan bahwa salah satu tanda dan pintu menuju kemunafikan adalah berbohong.
Namun, dalam keadaan tertentu, kita kerap mentolelir cara-cara bohong. Terutama dalam bercanda, menyimak lawakan atau menonton komedi. Seperti dalam ayat di atas, orang munafik membela kemunafikannya dengan alasan bercanda dan main-main. Alasan ini juga bisa dibawakan orang beriman untuk membela kebohongannya dengan alasan bercanda.
Mempermalukan, sudi dipermalukan, senang melihat orang dipermalukan sama-sama terhina. Dalam keadaan canda, komedi dan berakting lucu, kita tidak menganggap penting unsur-unsur kebohongan yang disisipkan oleh kawan canda, pelawak dan comedian. Kita kerap mentolelir diri kita sendiri terhidur karena maksud kita sedari awal “asal senang saja” atau kita percaya bahwa dia tidak bermaksud buruk selain menghibur dan membuat kita tertawa bahagia. Kemungkinan besar akan lebih menyenangkan bila objek lucuan dan sasaran cemooh itu orang yang tidak kita sukai. Dalam ayat di atas, alasan asal senang dan menghibur juga diungkapkan: “Kami hanya bergurau dan bermain-main.”
Ya Ahbabal Kirom,
Apakah tujuan menghibur dan membahagiakan hati orang dapat membenarkan perilaku yang berbumbu bohong dan dusta?
Ada tiga orang yang dijamin Nabi Saw pantas mendapat surga:
1. Orang yang ramah dan berbudi mulia.
2. Orang yang meninggalkan perdebatan, sekalipun dia di pihak yang benar.
3. Orang yang menjaga diri dari berbohong, walaupun sekedar bercanda (Kanz al-Ummāl, hadis no. 8217).
Dalam salah satu doa kecamannya, Nabi SAW bersabda, “Celakalah orang yang berbicara lalu berbohong hanya untuk membuat orang-orang tertawa! Celakalah dia! Celakalah dia!” (Ibid., hadis no. 8215).
Kalau saja humor bercampur bohong itu dikecam, berceramah agama dengan humor bercampur bohong tentu saja lebih terkutuk lagi. Yang semestinya tampil sebagai penerus lidah Nabi, penceramah malah menyampaikan ajaran beliau dengan cara-cara yang merusak ajaran beliau sendiri. Amat disesalkan bila forum agama dijadikan suasana saling fitnah, saling gibah, saling mencela, lucu-lucuan dan didatangi masyarakat untuk mendapat hiburan dan menghilangkan sumpek, tidak lagi dengan kesadaran mendapat ilmu, kekusyukan, ketundukan hati, dan petunjuk hidup lebih baik.
Bercanda ada etikanya. Selain menghindari cara-cara memperolok orang lain, tidak mempermainkan kehormatan, tidak pula menyinggung harga diri orang lain, melucu dan berkomedi tetap konsisten tidak berkata-kata kotor, tak senonoh, dan kasar, tidak juga coba-coba menjurus penghinaan simbol-simbol sakral, tidak mempermainkan fakta hingga mengada-ada dan berdusta di ruang publik.
Nabi SAW ditanya, “Apakah perbuatan yang paling utama?” Ia bersabda, “Membuat orang beriman bahagia, membuatnya kenyang, menutupi aibnya, dan memenuhi kebutuhannya.” (Al-Albani, Shahīh Al-Targhīb wa al-Tarhīb, jld. 1, hlm. 231).
“Aku bercanda, hanya aku tidak mengatakan kecuali yg haq atau kebenaran.”
Baginda Nabi SAW
Nabi sendiri juga menghibur dan bercanda saat menjumpai sahabat dalam keadaan murung dan sumpek (Nuri, Mustadrak al-Wasā’il, jld. 1, hlm. 408). Beliau bersabda, “Aku bercanda, hanya aku tidak mengatakan kecuali kebenaran” (Al-Tabarsi, Makārim al-Akhlāq, hlm. 21
Wallahu'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar