Laman

Minggu, 04 November 2012

HARI KEBANGKITAN vs “HARI KEBANGKITAN”



(Suatu Renungan pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional)
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)

Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap  KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversi tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”.  Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai  Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi.  Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi,  akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang.  Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap  adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat.  Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi  dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya  bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita  karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan  materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan selalu ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi. (H.R. Bukhori dan Muslim).  Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits  tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun"  juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien  Ya Robbal ‘Alamien.
 *) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Cirebon

HIJRAH DARI MUSHIBAH



Oleh : Saeful Malik, S.Ag. MBA *
Jika kita memperhatikan informasi yang diberikan media massa saat ini baik elektronik maupun cetak, dipenuhi dengan informasi mengenai bencana alam yang tengah melanda bumi pertiwi. Dimulai dari pemberitaan mengenai hancurnya Jembatan Kutai Kertanegara, Banjir, gempa dan Meletusnya beberapa gunung di wilayah Timur Indonesia. Ribuan orang dinyatakan meninggal dan hilang, ribuan ekor binatang ternak mati, ribuan rumah hancur dan puluhan ribu orang menjadi pengungsi di tempat-tempat yang dianggap aman dari lokasi bencana.
Mengungsi dalam bahasa Arab bermakna hijrah, karena arti hijrah adalah pindah atau migrasi ke tempat yang lebih baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (offline versi 1) hijrah berarti berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik karena alasan tertentu (keamanan, keselamatan dan lain-lain).
Dalam sejarah Islam, hijrah merupakan proses yang senantiasa dilakukan oleh para Nabi. Kita bisa melihat sejarah Nabi Musa AS. yang berhijrah sampai membelah sungai Nil ketika dikejar-kejar balatentara Firaun. Atau sejarah Nabi Yunus AS. Yang berhijrah sampai dimakan ikan. Dan sejarah Nabi Muhammad SAW. yang berhijrah dari Makkah ke Madinah yang tanggal kejadiannya dijadikan sebagai awal sistem penanggalan hijriyah. Spirit dari semua peristiwa hijrah tersebut adalah merupakan suatu proses transformasi progresif, yaitu suatu proses menuju kepada segala sesuatu yang lebih baik.
Begitupun dalam keadaan bencana, orang-orang disekitar lokasi bencana berhijrah ke tempat yang lebih baik. Sebab jika hanya berdiam diri maka keadaannya akan lebih buruk dan nyawa taruhannya. Proses tersebut disebut dengan hijrah makaniyah. Sebab menurut sebagian ulama, hijrah terbagi dua, hijrah makaniyah dan hijrah ma’nawiyah. Hijrah makaniyah adalah berpindah secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain.  Seperti digambarkan pada kebanyakan ayat-ayat tentang hijrah. Diantaranya, “Dan siapa yang berhijrah di jalan Allah (untuk membela dan menegakkan Islam), niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezki yang makmur. Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia mati (dalam perjalanan), maka sesungguhnya telah tetap pahala hijrahnya di sisi Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”(Q.S.  An-Nisa : 100). Sedangkan hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan dalam firman Allah SWT. “Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Ankabut:26). “Dan perbuatan dosa meninggalkanlah.” (Q.S. Al-Muddatsir : 5).
Sedangkan arti hijrah secara ma’nawiyah dalam konteks bencana adalah merubah sikap dan tindakan serta keyakinan dari hal-hal yang akan menimbulkan bencana kepada hal-hal yang mencegah bencana itu terjadi. Allah SWT. menekankan dalam beberapa firman-Nya, bahwa setiap bencana yang terjadi tidaklah semata-mata kehendak-Nya, melainkan akibat dari berbagai perbuatan manusia. Seperti pada firman-Nya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar” (Q.S. Ar-Ruum : 41). “... (azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Nya.(Q.S. Ali Imron : 182). Dan banyak lagi keterangan-keterangan baik dari Al Quran maupun hadits-hadits yang memperkuat pernyataan tersebut.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita baik yang terkena bencana maupun yang tidak terkena bencana sebagai proses defensif agar bencana tersebut tidak menimpa kita, untuk berhijrah ma’nawiyah, yaitu melakukan proses perubahan baik i’tiqad (keimanan), maupun perbuuatan dari hal-hal yang dapat mengundang bencana kepada yang dapat menghindarkan diri kita dari bencana.
Banyak ayat-ayat Al Quran yang menawarkan solusi agar kita terhindar dari bencana, diantaranya :
1.      Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagaimana firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat- ayat Kami itu, maka Kami akan siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al-A’raf : 96).
2.      Bersyukur atas berbagai limpahan nikmat dan karunia yang telah Allah SWT.berikan, dengan cara banyak menyebut asma Allah dan memuji-Nya, menyalurkan dan mempergunakan karunia tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Allah SWT. berfirman, “Mengapa Allah menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (Q.S. An-Nisaa : 147)
3.      Bertaubat dan banyak beristighfar, dengan cara banyak membaca istighfar, menjauhi dan tidak melakukan perbuatan dosa dan maksiat, tidak mengulangi perbuatan dosa dan salah yang pernah dilakukan. Allah SWT. berfirman, Dan Allah sekali-sekali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka beristighfar (meminta ampun)” (Q.S. Al-Anfal: 33)
4.      Senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan dzalim kepada orang lain. Sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat baik” (QS. Huud: 117), “…Dan tidak pernah pula Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman” (QS. Al-Qashas: 59).
Tentunya kita sangat yakin, bahwa semua yang termaktub dalam firman-firman-Nya itu merupakan janji Allah SWT, yang tidak akan pernah diingkari-Nya. Oleh karena itu, marilah kita beristighfar dan ber-istighatsah, memohon ampunan dan pertolongan-Nya, serta senantiasa bersyukur dan berbuat kebaikan. Marilah kita hadapkan hati kita kepada Allah Yang Maha Kuasa. Marilah kita tundukkan kepala kita, kita sujudkan hati kita, kita ulurkan tangan kita. Mari kita bersimpuh menghadapkan seluruh wajah kita kepada Dia Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan. Agar kita dijauhkan dan dihindarkan dari segala bencana yang tentunya kita tidak ingin menerimanya. Amien.
*) Penulis : Penyuluh Agama Islam Kec. Beber Kab. Cirebon

KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN RASULULLAH SAW.



Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*


Ada dua tema yang biasa dikemukakan dalam  memperingati  mawlid ataupun mawlud Nabi Muhammad SAW, pertama: Wa maa Arsalnaaka illa Rahmatan lil ‘alamiin (Q.S. Al Anbiya : 7), artinya: “tidaklah Kami mengutusmu (hai Muhammad) melainkan untuk rahmat semesta alam”. Kedua: Laqad Kaana Lakum fii Rasuulillaahi uswatun hasanah (Q.S. Al Ahzab : 21), artinya: “Sesungguhnya pada rasul Allah ada panutan yang baik bagimu”.  Tema yang pertama biasanya menerangkan tentang tujuan Rasulullah SAW. diutus ke muka bumi ini dan  menunjukkan bahwa Risalah yang diemban oleh Rasulullah SAW. merupakan risalah yang mutlak kebenarannya karena berasal dan selalu dibimbing oleh Allah SWT. yang tidak hanya berlaku bagi kehidupan manusia, akan tetapi untuk seluruh alam termasuk binatang, tumbuhan dan makhluk-makhluk lain yang ada di alam dunia ini. Sedangkan tema yang kedua biasanya untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan sample of the rule, merupakan contoh seharusnya hidup manusia.
Dalam tataran praktisnya jika kedua tema tersebut disatukan, maka kita akan mendapatkan bahwa sosok Rasulullah SAW. dan apa yang dilakukannya merupakan pengukuhan bahwa Rasulullah SAW. adalah seorang Insan Kamil, manusia paling sempurna. Hal ini dapat dibuktikan dari pengakuan-pengakuan para meneliti sejarah di dunia, seperti penyusun The Encyclopedia of Britanica menjelaskan tentang Rasulullah SAW. sebagai berikut, “Muhammad is the most successful of all Prophets and religious personalities”. The personality of  Muhammad! It is most difficult to get into the truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes. There is Muhammad the Prophet, there is Muhammad the General; Muhammad the King; Muhammad the Warrior; Muhammad the Businessman; Muhammad the Preacher; Muhammad the Philosopher; Muhammad the Statesman; Muhammad the Orator; Muhammad the Reformer; Muhammad the Refuge of Orphans; Muhammad the Protector of Slaves; Muhammad the Emancipator of Woman; Muhammad the Law-Giver; Muhammad the Judge dan Muhammad the Saint.”
Diperkuat oleh pernyataan-pernyataan dari Muhammad Iqbal, Thomas Carley, Arnold Toynbee, Will Durant da Michael Hart yang menuliskan pujian yang sangat agung. Bahkan M. Hart meletakkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh nomor satu di antara seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Will Durant menganggap Nabi Muhammad Saw sebagai pribadi yang lengkap, karena beliau adalah seorang sosiolog, psikolog, politisi, agamawan juga seorang pemimpin besar. Asghar Ali Enginger juga menegaskan bahwa  Rasulullah SAW. merupakan sosok pemimpin yang sangat rendah hati, tapi berhati luhur dan berotak luar biasa cerdas. Dan meminjam istilah Antonio Gramsci dan Ali Syari’ati beliau adalah sosok intelektual organic dan rausyan fikr yang ideal. Karena dalam perjalanan hidupnya, beliau berhasil menyatukan idealisme intelektual dan aktivisme sosial sebagai pemandu perjuangan dan visi gerakan langkahnya dalam menjalani kehidupan ini.
Sungguh sebuah apresiasi yang luar biasa, yang harus disyukuri dan diteladani oleh kita selaku ummatnya. Yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana kita meneladani kesempurnaan Rasulullah SAW. tersebut ? ingin rasanya penulis paparkan satu persatu keistimewaan Rasulullah SAW. yang harus menjadi teladan kita semua, hanya saja dengan berbagai keterbatasan yang ada, pada tulisan ini penulis mencoba memfokuskan hanya pada pola atau karakteristik kepemimpinan Rasulullah SAW. saja, dengan harapan dapat dijadikan tauladan yang baik oleh para pemimpin sekarang dan juga oleh kita para calon pemimpin masa datang.

1.       Rasulullah SAW. Pemimpin Aspiratif dan Partisipatif
Termaktub dalam sejarah, setelah Rasulullah SAW. hijrah ke Madinah dibentuklah Negara Islam Madinah, yang rakyatnya terdiri atas orang-orang Islam, orang-orang Arab yang bukan Islam dan orang-orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng. Tatkala Rasulullah SAW. menerima informasi bahwa tentara Makkah sudah siap untuk menyerbu Madinah guna membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar, maka beliau sebagai Kepala Negara dan Panglima Perang mengumpulkan penduduk Madinah untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu Rasulullah SAW. mengeluarkan tawaran bagaimana kalau bertahan dalam kota saja. Sesudah itu beliau memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk lobying antara satu dengan yang lain. 
Hasilnya ialah pada umumnya penduduk Madinah tidak sependapat dengan gagasan Rasulullah SAW. Dengan Hamzah sebagai juru bicara dikemukakanlah alasan mengapa mereka tidak sependapat. Kota Madinah tidak terlindung seluruhnya untuk menghadapi serangan frontal. Memang ada benteng Yahudi dan jajaran pohon-pohon kurma sebagai benteng alam terhadap pasukan berkuda, akan tetapi ada pula bagian/lini yang terbuka. Akhirnya diputuskanlah bahwa pasukan Quraisy dari Makkah harus dihadang di luar kota dengan posisi bukit Uhud sebagai benteng alam yang melindungi pasukan Madinah dari belakang.
Tawaran Rasulullah SAW. untuk bertahan dalam kota bersifat memancing. Rakyat Madinah yang dilibatkan dalam proses musyawarah pengambilan keputusan itu merasa bahwa keputusan bertahan di luar kota itu adalah dari gagasan mereka sendiri. Walhasil timbullah partisipasi mereka dalam pelaksanaan dan pengamanan keputusan yang telah diputuskan itu. Itulah corak kepemimpinan yang partisipatif dari Rasulullah SAW. 

2.       Rasulullah SAW. Pemimpin Yang Bijaksana dan Memiliki Visi
Perjanjian Hudaibiyah yang diadakan di antara umat Islam Madinah dengan kaum Quraisy Mekah merupakan satu lagi bukti yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin yang sangat bijaksana. Tak ada satupun yang menyangkalnya termasuk Sayyidina Umar sendiri, bahwa perjanjian Hudaibiyah yang dianggap kontroversi itu telah memberikan ketegasan pada kaum Quraisy dalam semua bidang. Sebagai buktinya, setelah perjanjian Hudaibiyah, tiga pahlawan unggulan Quraisy yaitu Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Osman bin Talba memeluk Islam, umat Islam bertambah sebanyak lebih dari lima kali lipat hanya dalam kurun dua tahun saja. Serta runtuhnya kekuasaan Mekkah tanpa pertumpahan darah dua tahun kemudian. Jelaslah sudah bahwa Nabi Muhammad SAW. membuktikan kebijaksanaannya dan memiliki visi dan misi yang jauh ke depan  dalam dunia percaturuan politik tanah Arab.

3.       Rasulullah SAW. Pemimpin Yang Adil dan Amanah
Nabi Muhammad SAW. meletakkan aqidah, syariat dan akhlak yang mulia sebagai asas kepemimpinannya. Beliau dan sahabatnya menetapkan aturan tertentu semasa perang seperti: tidak memerangi orang lemah, orang tua dan anak-anak serta wanita, tidak memusnahkan harta benda. Beliau juga mengaplikasikan sifat amanah dalam melaksanakan perintah Allah dan juga seluruh umat Islam dalam memimpin. Nabi Muhammad SAW bersifat adil terhadap harta rampasan perang, yaitu dengan membaginya secara rata pada tentara yang turut dalam peperangan dan tidak mengejar musuh yang sudah lari dari medan peperangan. Nabi Muhammad SAW adalah panglima tentara dan ahli strategi. Dengan ilmu dan pengalaman yang luas, beliau berhasil membawa kejayaan kepada tentara Islam.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik kepemimpinan Nabi Muhammad Rasulillah SAW. yang telah terbukti dan diakui dunia sebagai pemimpin yang mampu menciptakan pemerintahan yang bersih yang berwujud negara Islamy yang ideal. Hikmahnya, jika semua pemimpin kita memiliki karakteristik seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. tersebut, tidak mustahil negara Indonesia yang kita cintai ini akan menjadi negara “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur”, gemah ripah repeh rapih yang menjadi harapan dari kita semua, semoga. Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah Sekretaris POKJALUH Kabupaten Cirebon