Laman

Selasa, 27 April 2010

Lucu Ya ...!!!!

LUCU YA ...
Lucu ya, uang Rp. 10.000 tampak begitu besar ketika dibawa ke kotak amal mesjid, tetapi begitu kecil jika kita bawa ke supermarket.
Lucu ya, 45 menit terasa terlalu lama untuk berdzikir, tetapi terasa singkat untuk pertandingan sepakbola.
Lucu ya, betapa lamanya 2 jam berada di mesjid tetapi betapa cepatnya waktu berlalu ketika kita menikmati pemutaran film di bioskop.
Lucu ya, berjam-jam kita tahan dihadapan Laptop & BB untuk FB-an dan chatting, tetapi selalu bilang tak ada waktu ketika sima’an Al Quran atau membaca buku-buku agama.
Lucu ya, betapa susahnya kita merangkai kata untuk dipanjatkan ketika berdoa atau sholat, tetapi betapa mudahnya kita mencari bahan obrolan ketika bertemu teman.
Lucu ya, betapa serunya perpanjangan waktu pertandingan bola favorit kita, tetapi betapa bosannya bila iman shalat tarawih bulan ramadhan kelamaan bacaannya.
Lucu ya, susah banget baca Al quran satu juz saja, tetapi novel best seller 200 halaman pun habis kita lalap dalam sekejap.
Lucu ya, kita berebut duduk paling depan ketika nonton konser atau pertandingan olahraga, tetapi kita berebut cari shaf paling belakang ketika jumatan agar bisa cepat keluar.
Lucu ya, kita perlu undangan pengajian 1-2 minggu sebelumnya agar bisa disisipkan di agenda acara kita, tetapi untuk acara lain betapa mudahnya kita mengubah jadwal.
Lucu ya, betapa susahnya kita untuk berpartisipasi dalam berdakwah tetapi betapa mudahnya kita terlibat dalam penyebaran gosip.
Lucu ya, begitu mudahnya kita percaya pada apa yang dikatakan koran tetapi sering kita mempertanyakan apa yang dikatakan Al Qur'an.
Lucu ya, betapa kita pinginnya masuk syurga tanpa harus beriman, berpikir, berbicara ataupun melakukan apa-apa.
Lucu ya, betapa mudahnya kita mengirimkan ratusan jokes lewat SMS, atau E-mail tetapi harus berpikir dua kali untuk mengirimkan yang berkaitan dengan ibadah
Lucu ya,....

“ dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa Sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Q.S 33:47)

Lucu Ya ...!!!!

LUCU YA ...
Lucu ya, uang Rp. 10.000 tampak begitu besar ketika dibawa ke kotak amal mesjid, tetapi begitu kecil jika kita bawa ke supermarket.
Lucu ya, 45 menit terasa terlalu lama untuk berdzikir, tetapi terasa singkat untuk pertandingan sepakbola.
Lucu ya, betapa lamanya 2 jam berada di mesjid tetapi betapa cepatnya waktu berlalu ketika kita menikmati pemutaran film di bioskop.
Lucu ya, berjam-jam kita tahan dihadapan Laptop & BB untuk FB-an dan chatting, tetapi selalu bilang tak ada waktu ketika sima’an Al Quran atau membaca buku-buku agama.
Lucu ya, betapa susahnya kita merangkai kata untuk dipanjatkan ketika berdoa atau sholat, tetapi betapa mudahnya kita mencari bahan obrolan ketika bertemu teman.
Lucu ya, betapa serunya perpanjangan waktu pertandingan bola favorit kita, tetapi betapa bosannya bila iman shalat tarawih bulan ramadhan kelamaan bacaannya.
Lucu ya, susah banget baca Al quran satu juz saja, tetapi novel best seller 200 halaman pun habis kita lalap dalam sekejap.
Lucu ya, kita berebut duduk paling depan ketika nonton konser atau pertandingan olahraga, tetapi kita berebut cari shaf paling belakang ketika jumatan agar bisa cepat keluar.
Lucu ya, kita perlu undangan pengajian 1-2 minggu sebelumnya agar bisa disisipkan di agenda acara kita, tetapi untuk acara lain betapa mudahnya kita mengubah jadwal.
Lucu ya, betapa susahnya kita untuk berpartisipasi dalam berdakwah tetapi betapa mudahnya kita terlibat dalam penyebaran gosip.
Lucu ya, begitu mudahnya kita percaya pada apa yang dikatakan koran tetapi sering kita mempertanyakan apa yang dikatakan Al Qur'an.
Lucu ya, betapa kita pinginnya masuk syurga tanpa harus beriman, berpikir, berbicara ataupun melakukan apa-apa.
Lucu ya, betapa mudahnya kita mengirimkan ratusan jokes lewat SMS, atau E-mail tetapi harus berpikir dua kali untuk mengirimkan yang berkaitan dengan ibadah
Lucu ya,....

“ dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa Sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Q.S 33:47)

Minggu, 25 April 2010

Hidup Manusia = Sebuah Perjalanan

Allah SWT menciptakan manusia untuk dapat hidup di muka bumi. Berbeda dengan makhluk yang lain, manusia di beri dua potensi dalam dirinya, sehingga ia dapat memilih dan menentukan jalan hidupnya. Potensi tersebut adalah akal (nafsu) dan hati (rasa dan keimanan). Beda dengan Malaikat yang hanya diberi potensi iman dan syetan yang hanya mempuyai potensi nafsu. Sehingga mereka tidak diberikan pilihan halan kehidupannya.
Kehidupan manusia di dunia merupakan proses perjalanan menuju Allah. Seluruh manusia mesti melakukan perjalanan ini. Perjalanan itu diringi oleh waktu, semenjak manusia dilahirkan sebagai bayi, kemudian beranjak menjadi balita, kemudian menjadi anak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya meninggalkan dunia ini. Ketika meninggal dunia, manusia sebenarnya kembali kepada Allah, itulah perjalanan yang mesti dilalui manusia. Oleh karena itu segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia merupakan sarana untuk menyampaikannya kepada Allah SWT.
Setiap orang dalam melakukan perjalanannya sangat berbeda-beda, baik cara, persiapan, waktu atau yang lainnya, sehingga akhirnya, bisa jadi seorang selamat sampai kepada Allah itu, atau sebaliknya bisa juga malah celaka, tergantung kepada persiapan, cara .
Sebagai ilustrasi, ketika kita akan pergi ke suatu tempat yang jauh, untuk bertemu dengan seseorang yang sangat kita hormati atau agungkan, tentunya ada sarana-sarana yang harus terpenuhi agar kita bisa sampai ke tempat itu di antaranya, baju, celana, sendal/sepatu, kendaraan, dana, dll. Yang kesemua sarana itu menjadi suatu kebutuhan agar kita bisa sampai ke tujuan tersebut, karena tidak mungkin kita bisa sampai ke tujuan kita tanpa terpenuhinya sarana-sarana tersebut. Dengan kata lain kita tak mungkin dapat sampai ke tempat itu jika tidak mempergunakan sarana-sarana tersebut. Jelas kita tidak mungkin sampai ke tempat tanpa mengenakan busana/baju misalnya, begitupun kita tak akan pernah sampai ke tempat yang dituju tanpa menggunakan kendaraan, atau yang lainnya.
Di samping persiapan “sarana” yang harus terpenuhi itu, juga ada sesuatu yang harus diperhatikan ketika kita sedang melakukan perjalanan, agar setelah kita melakukan perjalanan itu kita dapat sampai kepada tujuan dengan selamat. Semenjak berada di tempat asal, kita mempunyai keinginan dan harapan agar kita dapat sampai kepada tempat yang akan kita tuju itu dalam keadaan selamat dan mungkin bahagia. Tentunya, agar dapat sampai dengan selamat kita tidak bisa begitu saja melakukan suatu perjalanan, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, di antaranya dalam perjalanan tentunya kita diharuskan mengikuti peraturan yang ada di jalan. Ketika kita jadi supir misalkan, tentu kita diharuskan konsentrasi melihat keadaan jalan, baik depan, samping maupun belakang, sehingga kita dapat membawa kendaraan kita dengan baik. Kita pun dapat mengendalikannya ke arah yang benar sehingga kita tidak belok ke kiri padahal seharusnya ke kanan, atau sebaliknya. Begitupun ketika kita jadi penumpang, kita dituntut agar senantiasa waspada dan siap, tidak terlalu terlena oleh keindahan alam di jalan yang kita lalui, sehingga suatu saat ketika supir lengah, kita dapat memberitahunya. Kita juga dituntut untuk senantiasa memperhatikan rambu-rambu, agar tidak terjadi “chaos” dan kecelakaan. Sehingga kita dapat sampai pada tujuan itu dengan selamat dan bahagia. Kita juga harus dapat menentukan jalan, jalan mana yang kira-kira bagus tidak rusak, lancar tidak macet dan sedapat meungkin mencari jalan yang lebih banyak lurusnya di banding yang berkelok-kelok.
Mungkin banyak juga orang yang dapat sampai tanpa mengindahkan berbagai macam rambu, peraturan dan pemenuhan sarana. Akan tetapi, sampainya tentu tidak dengan membawa suatu kebahagiaan, karena di dalam perjalanannya menghadapi berbagai ‘kengerian-kengerian’ yang banyak, atau bahkan berbagai kecelakaan.
Di sini tentunya kita dapat membedakan antara orang yang “asal sampai” dengan orang yang “benar-benar sampai”. Kita tarik ke tataran yang lebih kongkrit, tentunya kita dapat merasakan ketika kita pergi ke suatu tempat dan diperjalanannya aman serta lancar karena senantiasa memperhatikan rambu-rambu, peraturan dan semua sarananya terpenuhi, kita akan sampai dengan suatu perasaan yang enak, segar, tentram dan mungkin tidak capek. Tentunya akan berbeda jika dalam perjalannya kita menghadapi berbagai rintangan, tidak lancar, mogok, macet dan lain sebagainya. Apalagi jika tujuan kita untuk bertemu dengan seseorang yang sangat kita hormati atau agungkan, tentunya kita akan lebih siap jika kondisi kita segar, hati tenang, tentram dan tidak kotor. Dan pastinya “tuan rumah” pun akan jauh lebih menghargai dalam penerimaan kita jika kondisinya seperti itu. Berbeda jika kondisi kita sebaliknya, mungkin bukanlah penghormatan yang kita dapatkan dalam penerimaannya, akan tetapi ke tak acuhan atau bahkan bisa jadi tidak diterima sama sekali.
Pun begitu dalam kehidupan kita sehari-hari “segala sesuatu” yang kita lakukan merupakan sarana agar kita dapat sampai kepada tujuan kita yaitu Allah SWT (yang dimaksud sarana adalah segala sesuatu yang kita lakukan tidak hanya berupa ibadah mahdhoh bisa juga sesuatu yang lain, misalkan makan, tidur, belajar,dls). Dan sarana tersebut menjadi suatu kebutuhan yang tidak mungkin kita dapat sampai kepada tujuan kita tanpa sarana tersebut, sehingga kita akan mempunyai sebuah kesadaran segala yang kita lakukan adalah sebuah kebutuhan dan bukan sebuah beban.
Jika kita ambil ilustrasi di atas, sebagai pendekatan dalam tataran kongkrit perjalanan kita menuju Allah, belajar kita ibaratkan sebagai baju, Sholat kita ibaratkan sebagai kendaraan, begitu juga makan, puasa, zakat, tidur dan segala aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, kita ibaratkan sebagai sarana-sarana yang menunjang kita untuk melakukan suatu perjalanan. Tentunya belajar akan menjadi sebuah kebutuhan kita bukan menjadi sebuah beban, karena belajar merupakan sarana untuk menyampaikan kita kepada tujuan kita yaitu Allah SWT. Tapi benarkah belajar dapat menjadi sarana menuju Tuhan ? tentu saja dapat dibuktikan secara empiris dan logis. Dengan belajar misalnya, kita menjadi punya pengetahuan dan keahlian. Karena kita mempunyai pengetahuan dan keahlian, kita dapat bekerja. Hasil dari bekerja kita mendapatkan materi (uang). Dengan materi kita dapat “mengadakan” (baca : membeli) sesuatu yang dapat menunjang ibadah kita kepada Allah. Jadi jelas belajar dapat menjadi sarana kita menuju Allah. Begitupun makan, minum, tidur, shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya, merupakan sarana perjalanan untuk menyampaikan kita kepada Allah SWT, dengan selamat.
Dari kalimat terakhir ada tambahan kalimat “dengan selamat”. Tentunya hal ini untuk membedakan cara sampai kita kepada Allah. Sebagaimana kita fahami di atas, seluruh manusia (baik mukmin maupun kafir) melakukan perjalanan menuju Allah. Akan tetapi “cara” sampainya kepada Allah berbeda. Orang muslim, akan sampai kepada Allah dengan selamat, “segar”, tentram, damai dan bahagia, karena orang muslim senantiasa memperhatikan sarana, cara, dan segala peraturan di dalam perjalanannya. Sedangkan orang kafir, akan sampai kepada Allah tidak dengan selamat, tidak segar, kuyu, dan tidak bahagia karena tidak pernah memperhatikan sarana, cara dan berbagai peraturan di dalam perjalannya. Tentunya, jika kita ambil ilustrasi di atas, jika seorang muslim sampai ke “hadapan” Allah dengan segar, bersih, tentram, tenang tentunya Allah “sebagai tuan rumah” akan menerimanya dengan penuh penghormatan, dan penghargaan, juga mempersilakan masuk keruangan yang bersih, indah, tentram yaitu surga-Nya. Dan akan berbeda dengan orang kafir yang datang ke hadapan Allah dengan lusuh, capek, kotor, baju compang-camping karena mendapatkan kecelakaan di jalan, sebab tidak mengindahkan berbagai peraturan, tentunya Allah “sebagai tuan rumah” tidak akan menghargainya dan menghormatinya, atau bahkan Allah akan menolaknya dan mengusirnya ke neraka.

Terakhir
Dari ilustrasi di atas, kita dapat mengambil sebuah makna bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan perjalanan panjang untuk bertemu dengan “seseorang yang kita agungkan dan kita hormati” yaitu Allah. Karenanya, kita membutuhkan berbagai sarana, cara dan peraturan dalam perjalanan itu, agar kita dapat sampai ke tujuan dengan selamat dan diterima oleh “tuan rumah”. Semua sarana, cara dan peraturan itu merupakan kebutuhan yang mesti terpenuhi. Karena sholat, zakat, belajar dan segala aktivitas merupakan sarana, maka semuanya menjadi suatu kebutuhan bagi kita. Tentunya jika semua menjadi kebutuhan, kita tidak akan pernah lagi merasa terbebani untuk melaksanakannya, juga kita tidak akan pernah meninggalkannya, karena kita membutuhkannya.
Jika kita sudah mempunyai kesadaran bahwa semuanya merupakan sarana (kebutuhan) kita akan dapat hidup dengan bebas tanpa terbebani. Dan segala apa yang kita lakukan tentunya akan dimaknai sebagai ibadah, karena semuanya merupakan sarana yang akan menyampaikan kita kepada Allah dengan selamat.

Semangat Perubahan !

David John Beynon Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia

Dari seorang guru drama, David sukses menapakkan kaki di puncak perusahaan asuransi terbesar ke-4 di dunia. Bagaimana kisahnya?
Hidup adalah perjuangan. Selama manusia mau berusaha, roda tak akan selamanya di bawah. Keyakinan inilah yang mengilhami David Beynon untuk selalu berjuang mengubah nasib. Berawal 36 tahun lalu, sebagai guru drama di sebuah kota kecil di Inggris, penghasilan David jauh dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri plus seorang istri.
Guna menambah penghasilan, David bekerja serabutan. “Selepas mengajar, saya kerja apa saja. Dari jadi pelayan bar hingga tukang ambil sampah,” cerita ayah dua anak ini. Ironisnya, profesi sampingan David itu justru memberinya pendapatan yang jauh lebih besar daripada pekerjaan utama. “Honor saya sebagai pengambil sampah lebih besar 60% dari gaji saya sebagai guru … hahaha,” kenang David, sambil tertawa.
Garis takdir David mulai berubah di penghujung 1973. Seorang sahabat menawari David jadi agen paro waktu asuransi Allied Dunbar Assurance Plc. Ternyata, pada minggu pertamanya David mampu menjual tiga polis, sementara agen seangkatannya tak ada yang sesukses dia. “Banyak teman bertanya bagaimana cara saya bisa berhasil. Padahal, saya hanya menjalankan apa yang diajarkan waktu training,” ungkap pria kelahiran 57 tahun lalu ini.
Langsung sukses menjual polis pada kesempatan awal memang membuat David senang. Namun, yang paling membuatnya bahagia adalah pendapatan yang berhasil ia bawa pulang. “Uang yang saya peroleh jumlahnya lebih besar daripada seluruh gaji saya selama menjadi guru,” tutur pria yang sudah menikah selama lebih dari 30 tahun ini.

Fulltime Asuransi

Melihat potensi di bisnis asuransi, David pun memutuskan berhenti sebagai guru dan bekerja penuh menjadi agen asuransi. “Saya percaya, untuk sukses jualan polis tidak bisa separo-separo. Saya harus benar-benar fokus,” ujar pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) ini. Pilihan David ternyata tak mengecewakan. Buktinya, selama menjadi agen, David berhasil menjual minimal dua polis per minggu.
Rupanya prestasi David ini menarik perhatian manajemen Allied Dunbar. Tahun 1975, David pun mendapat tawaran untuk bergabung dengan perusahaan asuransi tersebut. Pucuk dicinta, ulam tiba. David yang telah memutuskan total terjun di bisnis asuransi tentu saja tak menampik tawaran itu. Ia mengawali kariernya sebagai tenaga penjualan. Namun, itu hanya berlangsung selama dua tahun. “Mungkin karena manajemen melihat latar belakang sebagai guru, saya dipindah ke divisi training,” kata David, mengira-ngira. Di divisi training tersebut, karier David terus meningkat. Puncaknya, pada usia 34 tahun ia berhasil menduduki posisi tertinggi di divisi training.

Puaskah David? Belum. “Cita-cita saya adalah menjadi anggota group board of director,” tutur David. Padahal, posisinya sebagai trainer tak memungkinkannya mencapai level tersebut. “Sebab, syarat untuk duduk dalam dewan direksi di grup harus memiliki prestasi di lapangan sebagai tenaga sales,” ungkap mantan penasihat keuangan Temasek Holdings Ltd., perusahaan investasi milik pemerintah Singapura, ini.

David pun memutuskan untuk menanggalkan jabatannya dan memulai “karier” baru di bagian sales. Beruntung, David tak perlu memulai dari dasar karena ia langsung menduduki posisi sales manager. Hanya, untuk meraih jenjang yang lebih tinggi, David harus bersaing dengan 14 orang lainnya. Uniknya, semua rekan sejawatnya adalah karyawan yang pernah dilatih David. “Itu justru memacu saya. Masak sebagai guru, saya kalah dengan murid… hahaha,” tutur David, setengah bergurau.

David pun mulai pasang ancang-ancang. “Target saya, dalam waktu tujuh tahun sudah harus duduk di dewan direksi grup,” ungkap mantan CEO John Hancock Singapura ini. Bukan perjuangan yang mudah. Buktinya, pada tahun pertama David “hanya” mampu menempati peringkat ke-7 dari total 15 regional director. Namun, David pantang menyerah. “Setiap hari saya belajar untuk menjadi lebih baik,” kata David. Hasilnya, pada tahun ke-2, David berhasil mencapai posisi ketiga. Tahun berikutnya, “Saya berhasil meraih peringkat pertama,” tutur David, bangga. Perjuangan David untuk menjadi anggota dewan direksi grup sendiri akhirnya berhasil ia tuntaskan pada tahun 1990, atau lebih cepat dua tahun dari target semula.

Obsesi Tiga Besar

Setelah 17 tahun meniti karier di Allied Dunbar, David memutuskan untuk mencari tantangan baru. Tawaran pertama datang dari HSBC Personal Financial Service, anak perusahaan HSBC Group di bidang asuransi. Hanya bertahan setahun, David kemudian pindah ke beberapa perusahaan asuransi. Di antaranya, Life Holding Inc., J. Rothschild International Assurance, dan John Hancock International. Sepanjang tahun 1996–1998, David juga sempat menjadi konsultan independen di bidang keuangan dan asuransi, sebelum akhirnya menjadi presdir PT Manulife Indonesia pada awal tahun 2006.

Manulife Indonesia adalah perusahaan asuransi jiwa dan wealth management yang memiliki 1 juta nasabah. Saat ini Manulife Indonesia memiliki 5.000 karyawan yang tersebar di 112 kantor cabang di 33 kota seluruh Indonesia. Perusahaan ini merupakan anak usaha Manulife Financial Corporation (MFC) yang berpusat di Toronto, Kanada. MFC yang berdiri tahun 1887 ini beroperasi di 19 negara di seluruh dunia, dan tercatat sebagai perusahaan asuransi jiwa terbesar ke-4 di dunia, dengan total aset US$341 miliar per 30 September 2006.

Selama masa kepemimpinannya, David sukses mendongkrak aset perusahaan yang telah berdiri sejak 1985 ini. Aset Manulife Indonesia tumbuh 21% dibanding 2005. Sementara itu, risk-based capital (RBC) perusahaan meningkat menjadi 307%, atau naik lebih dari dua kali lipat ketimbang RBC 2005 yang 136%. Ini jauh di atas RBC minimal yang ditetapkan Departemen Keuangan, yakni 120%. “Total penjualan Manulife mampu tumbuh 16% dibandingkan tahun lalu,” tutur eksekutif yang telah 34 tahun berkarier di industri asuransi ini.

Tak heran jika David merasa sangat beruntung atas segala yang telah ia peroleh. Namun, pria ramah ini masih memiliki dua obsesi lain. Apa itu? “Pertama, saya ingin membawa Manulife menduduki posisi tiga besar di Indonesia,” terang David. Saat ini Manulife berada di peringkat ke-7. Obsesinya yang kedua adalah mengubah citra Manulife dari perusahaan yang terkesan tua menjadi lebih segar. Caranya? “Melakukan inovasi produk dan mengeluarkan 4–5 produk baru setiap tahun,h pungkas David, yang setelah pensiun bermaksud membuka usaha ekowisata ini.

Selamat Datang !

Selamat Datang di wahana serba ada ... Blog ini dibuat bagi siapa saja yang kreatif dan memiliki keinginan untuk maju untuk dapat sharing berbagai hal ... ya, berbagai hal ... apapun bisa kita sharing ... tentunya dengan batasan etika.