Laman

Selasa, 18 Oktober 2011

IKHLAS DAN TA’AT, DUA SYARAT DITERIMANYA AMAL

IKHLAS DAN TA’AT, DUA SYARAT DITERIMANYA AMAL Allah Azza Wazalla tidak akan menerima suatu ‘amal (perbuatan / pekerjaan) dari beberapa amal, kalau tidak menjaga / memperhatikan dua syarat berikut : Pertama, yaitu ikhlas yang merupakan syarat batin. Kedua, yaitu patuh / ta’at terhadap sunnah rosul yang merupakan syarat dhohir, dalam arti ikhlas melaksanakan kitab Allah (Al-Qur’an) dan ta’at mengikuti sunnah Nabi (Hadis). 2. yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Fadhil bin ‘iyadh berkata : dalam ringkasannya (beliau berkata) : bahwa ‘amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima ‘amalnya, dan jika benar (perbuatannya) tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima. 110. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Oleh karena itu), amal sholeh adalah (perbuatan) yang sesuai dengan sunnah dan tidak adanya unsur syirik (yang dapat menghilangkan nilai) ikhlas. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 125 : 125. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, (Maka), wajah Islam adalah ikhlas, dan ikhsan adalah patuh terhadap sunnah Nabi. A. Ikhlas Ikhlas adalah membersihkan niat untuk mendekatkan diri pada Allah Azza wa jalla dari seluruh hal-hal yang kotor. Menurut pendapat lain, ikhlas adalah peng-Esa-an Allah Azza wa Jalla dengan niat untuk taat. Dan ada juga yang berpendapat bahwa ikhlas adalah lupa (terhadap) penglihatan makhluk (yang diikuti) dengan selalu melihat kepada Dzat yang Menciptakan. Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal sholeh yang sesuai dengan sunnah Rosulullah (dan Allah Azza wa Jalla sungguh telah memerintahkan kepada kami untuk berbuat ikhlas. Dalam surat Al-Bayyinah ayat 5, Allah Azza wa Jalla Berfirman : 5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menye mbah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. [1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan. Dari Abi Umamah (Ia berkata : “Telah datang kepada Rosulullah seorang laki-laki”, kemudian ia berkata kepada Rosulullah : “Bagaimana pendapat engkau terhadap seseorang yang ingin mendapatkan pahala dengan menyebutkan hartanya ?”, Rosulullah menjawab : “Tidak ada sesuatu-pun baginya”, kemudian orang orang tersebut mengulangnya hingga 3 x yang dijawab oleh beliau dengan jawaban yang sama seperti jawaban pertama. Selanjutnya, Beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima amal (seseorang) kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mencarinya hanya karena-Nya”. Dan, dari Abi Sa’id al-Khudri : dalam haji wada’ Nabi sungguh telah bersabda, “_______________________ Maka, banyak orang yang ahli fiqih tetapi tidak mengamalkan agamanya dengan baik, ada 3 hal yang tidak dapat mengotori hati seorang mu’min, yaitu, berbuat ikhlas karena Allah, memberikan nasehat kepada para pemimpin, dan menjaga kelompoknya. Dalam arti, tiga hal ini dapat memperbaiki hati, dan siapa saja yang berbuat dengan tiga hal tersebut, maka hatinya akan bersih dari ketidak jujuran, kerusakan, dan kejahatan. Dan seorang hamba tidak akan terhindar dari syaitan kecuali dengan ikhlas sebagaimana firman allah Azza wa Jalla dalam surat Shad ayat 83 sebagai berikut: 83. kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka[1304]. [1304] Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t. Dan diceritakan, ada seorang sholeh yang berkata pada dirinya : “Hai nafsu, ikhlaskanlah aku, maka nafsu itu ikhlas kepadaku. Dan setiap kebahagian dari kebahagiaan-kebahagiaan dunia adalah (sesuatu) yang dapat menenangkan jiwa, dan menyenangkan hati, sedikit atau banyak, apabila pergi bekerja, (maka) akan mengotori kebersihannya, dan menghilangkan keikhlasannya, dan manusia terikat dengan kesenangan-kesenangannya, yang tenggelam dalam nafsunya, (sangat) sebentar sekali melepaskan pekerjaan dari pekerjaan-pekerjaannya, dan ibadah dari ibadah-ibadahnya dari kesenangan-kesenagan dan tujuan dunia dari jenis ini. Dengan demikian dikatakan : “Barangsiapa yang selamat umurnya dalam satu kesempatan untuk ikhlas kepada Allah, maka ia (akan mencapai) kesuksesan”, dan hal tersebut adalah harga untuk (sebuah) keikhlasan, dan sulitnya (menjaga) kebersihan hati dari kotoran-kotoran. Dengan demikian, ikhlas adalah : membersihkan hati dari segala kotoran baik sedikit atau banyak, sehingga dengan sendirinya dalam hatinya terdapat niat untuk taqorrub yang tidak terdapat alasan selainnya. Hal ini tidak akan tergambar kecuali dengan mencintai Allah yang sangat dalam, sekiranya tidak dapat menumbuhkan kecintaan terhadap dunia dalam hatinya yang stabil. Perumpamaan ini (sama dengan) ketika makan, minum, dan kebutuhan primer lainnya, itu, dilakukan dengan ikhlas, niat yang benar, dan seandainya hal tersebut tidak ada, maka bab ikhlas dapat memenuhinya kecuali dalam hal yang ganjil. Sebagaimana orang yang mengalahkan (memenuhi) cintanya kepada Allah, dan cinta kepada akherat, maka tingkah lakunya akan terbiasa dengan hal-hal yang penting, yang menjadikannya (sebuah) keikhlasan. Maka, jiwa yang terkalahkan dengan dunia, kehormatan, dan kedudukan. Secara garis besar (orientasinya) selain kepada Allah, maka seluruh tingkah lakunya akan terpola seperti sifat itu, dengan begitu, ibadah sholat dan puasa dan ibadah lainnya tidak akan diterima kecuali yang ganjil. (Oleh sebab itu). Obatnya ikhlas adalah dengan mengatasi kesenangan jiwa, mencegah toma’ (pengharapan yang berlebihan) terhadap dunia, dan imbang untuk kehidupan akherat, sekiranya hal-hal tersebut tertanam dalam hati, maka, selanjutnya ia akan mudah mencapai keikhlasan. Dan, banyak perbuatan yang menyusahkan manusia serta mengira bahwa perbuatannya tersebut ikhlas karena Allah, padahal mereka termasuk orang-orang yang tertipu, karena sesungguhnya Allah tidak melihat terhadap suatu penyakit (kerusakan). Sebagaimana diceritakan mengenai sebagian mereka adalah : sesungguhnya dia sholat selalu pada barisan pertama, kemudian, suatu hari dia sholat terlambat dan sholat pada baris yang ke dua, kemudian dia merasakan senang hatinya apabila sholat pada barisan pertama karena alasan akan dilihat oleh orang lain, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat rawan untuk menyelamatkan ‘amal dari perumpamaan tadi. Dan sangat sedikit orang yang mengerti tentang hal itu kecuali mendapatkan petunjuk dari Allah Swt. Orang-orang yang lalai akan melihat kebaikan-kebaikannya nanti pada hari kiamat sebagai ‘amal buruk, dan mereka adalah sekelompok orang yang dinyatakan dalam Firman Allah Swt dalam surat Az-Zumar ayat 47-48 sebagai berikut : 47. dan Sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. 48. dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya. Dan dalam Firman Allah Azza wa Jalla surat Al-Kahfi ayat 103-104 : 103. Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" 104. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IVIMPR 1 1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik lndonesia. M E M U T U S K A N : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 3 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan. Pasal 4 1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalani Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib rnengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalani ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan Pasal 5 1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. 1. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 1. Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 1. Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka waktu tunggu. 2. Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut. Pasal 12 Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BA B III PENCEGARAN PERKAWINAN Pasal 13 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 1. Pejabatyangditunjukberkewajibanmencegahberlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. 2. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 17 1. Pencegahan perkawinari diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. 2. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenni permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. 2. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. 3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pancatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. 4. Pengadilanakanmemeriksaperkaranyadenganacara singkat dan akanmemberikanketetapan, apakahiaakanmenguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. 5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang- undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Pormohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. 2. Hak untuk membatalkan olch suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pdsal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isten, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 1. Pada waktu atau sebelum pelrkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapatmengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjiantersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 1. Suami isteri harus mempunyai tempest kediaman yang tetap. 2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukurn mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. 2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. 2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. 1. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaankepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 1. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. 2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari kcluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 3. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. 4. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. 5. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 1. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini. 2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Pertama Bagian Kesatu Pembuktian asal usul anak Pasal 55 1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. 2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (l) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Bagian Kedua Perkawinan di luar Indonesia. Pasal 56 1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut, hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. 2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran. Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusannya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. 2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Pasal 60 1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas perniintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika pengadilan memutuskan hahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3) 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang- undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (shtu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 1. Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi lainnya. (2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 1. Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a. Suami wajib members jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. 1. Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 1. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur libel lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.   PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENJELASAN UMUM: 1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut : a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat; b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74); d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka; f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang bersangkutan. 2. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut: : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri. 5. Untuk menjaminkepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.