Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon
Minggu, 04 November 2012
POLA ALTERNATIF PENANGANAN PERMASALAHAN ALIRAN KEAGAMAAN
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku referensi ttg whole school development approach ada pak? Mohon bantuannya,, lg nyari
BalasHapusBuku referensi ttg whole school development approach ada pak? Mohon bantuannya,, lg nyari
BalasHapus