Laman

Jumat, 20 Januari 2012

KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA* Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk. Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ? Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya. Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik. Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban). Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama. Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”. Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW. Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar