Laman

Senin, 12 Desember 2011

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Abu Bakar Assidik dan Umar Bin Khotob (Radiyallahu ‘anhuma) hanyalah sahabat Rasullah saw dan orang biasa. Keduanya bukan ahli fikir (filosof), bukan ilmuan, bukan negarawan dan tidak memiliki keterkaitan keturunan (silsilah) dengan pemimpin-pemimpin besar tingkat dunia. Namun keduanya sering menyita perhatian dan menjadi rujukan kepemimpinan kontemporer padahal masa kepemimpinan keduanya relatif singkat. Apakah rahasia yang dimiliki keduanya ?. Ucapan Abu Bakar RA saar dilantik menjadi kholifah sering dinukil oleh berbagai kalangan dari tingkat paling bawah yaitu kepemimpinan tingkat Desa sampai kepemimpinan tingkat Nasional, baik di Indonesia maupun di negara-negara luar. Ucapannya itu berbunyi ; “Saya telah mengemban tugas ke khalifahan padahal saya sendiri sangat tidak mau…..Perlu kalian ingat ! jika kalian membebani (memberi tugas) kepada saya seperti yang telah di emban oleh Nabi saw, saya tidak mungkin mampu mengembannya karena Nabi merupakan hamba Allah yang dimulyakan dan di jaga (ma’sum). Ingatlah ! saya manusia biasa dan saya bukan yang terbaik diantara kalian, maka jagalah saya. Selama kalian melihat saya masih istiqomah/lurus, ikuti dan patuhi saya. Dan jika kalian melihat saya menyimpang maka luruskanlah…..”. Pidato spontan dan tanpa teks ini memancarkan beberapa dimensi kepemimpinan, sebagian dari padanya insya Allah akan dibahas dalam uraian selanjutnya. Adapun Umar Bin Khotob RA mencuat dalam jajaran kepemimpinan tingkat dunia karena ketegasan sikap, kecerdasan spritual, seringnya menyamar menjadi rakyat biasa untuk mendengar langsung suara/jeritan asli masyarakat, serta tingginya komitmen beliau untuk mensejahtrakan rakyat. Arahan Al-Qur’an Al-Quran adalah kitab petunjuk kehidupan manusia. Di dalamnya terkandung arahan-arahan untuk memperoleh kesuksesan, kebahagian dan kebaikan hidup di alam dunia dan akherat. Tidak terkecuali masalah kepemimpinan (leadership/khilafah). Kitab suci Al-Qur’an memuat sangat banyak ayat-ayat tentang kepemimpinan. Ada kisah Thalut dan Jalut (Qs. Al-Baqoroh : 246-252) ada kisah para Nabi Ulul Azmi, kisah kegagalan Firaun dan ada pula ayat-ayat yang berisi petunjuk mengenai siapa yang layak menjadi pemimpin, tata cara memilih pemimpin serta tugas-tugas seorang pemimpin yaitu harus merubah keadaan menjadi lebih baik (Qs. Yunus : 13-14) memberi rasa aman (Qs. Al-Baqoroh : 30) menegakkan hukum (Qs. Shood : 26), menciptakan kema’muran dan kesejahteraan (Qs. Huud : 61) dan lain-lain. Tulisan ini hanya ingin mengajak untuk mendalami satu ayat saja yaitu yang tercantum dalam surat Annisa (4) ayat ke 59 yang berbunyi : Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Ayat ini mengisyaratkan beberapa hal : pertama, struktur kepemimpinan di muka bumi (presiden, gubernur, bupati/wali kota) berada dibawah kepemimpinan Allah dan Rasul_Nya. Ini berarti seorang pemimpin (formal/informal) merupakan pelaksana harian/pelaksana tugas/pengganti/khalifah dari kepemimpinan di atasnya yaitu Allah dan Rasul. Pemimpin yang terpilih harus merasa sedang dan akan terus mengemban amanah Allah/Rasul dan harus mampu menjabarkan kehendak Allah/Rasul. Segala sesuatu yang menurut Allah /Rasul harus ada, mesti di adakan. Dan segala sesuatu yang tidak boleh ada (diharamkan) oleh Allah dan Rasul mesti dibuang jauh. Kedua, pemimpin yang terpilih wajib di ikuti dan dipatuhi oleh seluruh rakyat selama pemimpin tersebut masih taat kepada atasannya yaitu Allah dan Rasul serta menjalankan syariat_Nya. Ketika seorang pemimpin telah jauh menyimpang atau sering terjadi kontroversi dan beda persepsi dengan rakyat pemilih maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan Allah (Al-Qur’an) dan ketentuan Rasul (Hadist). Yakni bila maslahatnya harus diganti, silahkan diganti oleh orang yang lebih baik. Kemaslahatan umum harus di utamakan dari pada kepentingan pribadi. Ketiga, kalimat MINKUM (dari kamu/diantara kamu) mengisyaratkan bahwa mengangkat pemimpin sebaiknya/idealnya adalah dari kalangan sendiri yaitu internal umat atau internal partai sehingga yang terpilih benar-benar seagama, satu idiologi, sama visi dan misi serta diyakini mampu membimbing kehidupan masyarakat. Pemimpin harus tumbuh dari bawah, muncul keatas lebih karena kekuatan/kharisma pribadinya dan bukan karena kekuatan uang, kekuatan orang lain (pemimpin titipan) dan bukan pula karena tingginya jabatan. Pemimpin yang tumbuh dari bawah insya Allah akan lebih memperhatikan masyarakat bawah. Mengkaitkan kalimat MINKUM dengan atmosfir politik saat ini dimana pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat maka tidaklah berlebihan kalau tulisan ini mengharap munculnya solusi cerdas daripada pemimpin organisasi massa (ormas islam) serta tumbuhnya kesadaran baru pada tataran massa (jama’ah ormas) untuk memberdayakan mesjid menjadi institusi penggerak terbinanya koalisi ummat. Yaitu koalisi yang menggabungkan kepemimpinan ormas islam (NU, Muhammadiyah, PUI, PERSIS dll). Koalisi parpol, sejatinya hanya ada pada benak individu/kelompok yang berfikiran pragmatis dan lebih berorientasi pada kekuasaan. Arahan Hadist Tidak berbeda jauh dengan Al-Qur’an, hadist-hadist Rasulullah pun banyak yang bersinggungan dengan masalah kepemimpinan. Satu diantaranya adalah berbunyi : IDZA KANU TSALASATAN FALYUAMMIHIM AHADUHUM……..”apabila kamu bepergian bertiga maka angkatlah/jadikanlah salah seorang sebagai pemimpin”.( HR Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Nasa’I dari sahabat Abi Said). Hadist di atas menegaskan sikap dan pandangan Rasul yang mewajibkan mengangkat seorang pemimpin walaupun dalam sebuah jamaah/komunitas kecil dan bersifat sementara apalagi dalam suatu komunitas yang lebih besar. Kemudian, kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan yaitu untuk menjamin kesuksesan bersama. Kepemimpinan harus dipandang sebagai masalah bersama dalam bingkai/koridor kemaslahatan umum. Pemimpin dan yang dipimpin harus berangkat dari titik start yang sama dan akan menuju pada satu titik finish yang sama pula. Dengan ungkapan lain, pemimpin dan yang dipimpin harus senantiasa menjaga irama kebersamaan. Shalat Berjamaah Shalat berjamaah adalah ibadah yang memformulasikan dan memanifestasikan irama kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimpin. Didalamnya terdapat aturan untuk imam (pemimpin) dan makmum (yang dipimpin) seperti: imam harus memperhatikan kondisi makmum, sedangkan makmum harus mengikuti dan tidak boleh mendahului imam. Shalat berjamaah mengandung pelajaran bahwa pemimpin harus memberi ruang kepada yang dipimpin untuk mengoreksi dan memperbaiki. Dalam kaitan ini maka pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menyikapi koreksi/kritik dari rakyat sebagai energi tambahan atau penyeimbang untuk meraih kebaikan dan kesempurnaan kepemimpinannya. Shalat berjamaah menghadirkan nuansa kebersamaan dan mempertegas bahwa persoalan kepemimpinan merupakan masalah bersama dan untuk kebaikan bersama pula. Keberadaan pemimpin semata-mata dan hanya untuk lebih menyempurnakan kehidupan. Maka sungguh keliru kalau ada pemimpin yang merasa diri lebih tinggi dari yang dipimpinnya dan menuntut hak-hak istimewa. Akhir kalam dari tulisan ini ingin mengajak semua pihak memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya sikap dan gerakan kolektif untuk mencermati kontrak politik para pemimpin, fluktuasi harta kekayaan mereka dan proses pengambilan keputusan apakah melalui musyawarah atau pemaksaan kehendak. Nabi saw mengingatkan : IDZA KANAT UMARO-UKUM KHIYAROKUM WAAGNIYA-UKUM SAMHA-AKUM WA UMUROKUM SYUROO BAINAKUM FADZOHRUL ARDI KHOERUN LAKUM MIN BATNIHA WAIDZA KANAT UMARO-UKUM ASYROROKUM WA AGNIYA-UKUM BUKHOLA-AKUM WA UMUROKUM ILA NISA IKUM FABATNUL ARDI KHOERUN LAKUM MIN DZOHRIHA (HR. Thurmudzi dari Abi Huraeroh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar