Laman

Senin, 12 Desember 2011

BENARKAH KITA SUDAH MERDEKA?

SEBUAH RENUNGAN DI HARI KEMERDEKAAN Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) …. Ayeuna urang sakabeh dijajah diri sorangan … dijieun jaradi budeg … dijieun jadi anarkis … gampang ngambek jeung ngaruksak … resep pasea jeung dulur … teu dihandap teu di luhur … Kalimat-kalimat di atas merupakan penggalan bait-bait dari lagu yang berjudul “Dijajah” karya Doel Sumbang, yang merupakan ekspresi dari curahan hatinya mengenai makna kemerderkaan. Memang jika kita mencoba mentafakuri terhadap kemerdekaan bangsa kita yang sudah berusia 65 tahun, akan terbesit sebuah pertanyaan tentang hakikat kemerdekaan, apakah kita sudah benar-benar merdeka ? Dalam bait-bait awal lagu diatas Doel Sumbang bercerita secara fisik bangsa Indonesia sudah sangat merdeka. Indonesia sudah terbebas dari kungkungan penjajahan bangsa-bangsa lain. Terbebas dari bangsa Belanda yang menjajah 350 tahun, terbebas dari Jepang yang menjajah 3,5 tahun atau dari penjajahan bangsa sendiri. Akan tetapi benarkah kemerdekaan telah kita rasakan? Bukankah yang dimaksud dengan merdeka adalah keadaan (hal) berdiri sendiri, bebas dari rasa takut, lepas, tidak terjajah lagi ? (Kamus Bahasa Indonesia, 2008 : hal. 1015). Mengapa negara kita masih menjadi papan atas dalam urutan negara terkorup? Mengapa masih banyak tawuran antar daerah? Mengapa kita selalu tidak tenang menyaksikan pertandingan sepak bola? Dan jutaan mengapa yang lain yang selalu menyeriak dalam hati kita ketika kita melihat keadaan saat ini. Benarkah kita telah merdeka? Dan ketika kita menyimak bait-bait selanjutnya dalam lagu Doel Sumbang tadi, maka kita akan menemukan jawabannya. Ternyata kita secara bathin masih terjajah. Doel Sumbang mengatakan …. Ayeuna urang sakabeh dijajah diri sorangan … dijieun jaradi budeg … dijieun jadi anarkis … gampang ngambek jeung ngaruksak … resep pasea jeung dulur … teu dihandap teu di luhur … (… sekarang kita semua dijajah oleh diri kita sendiri … dibuat menjadi tuli … dijadikan anarkis … mudah marah dan merusak … senang berantem dengan sesama … terjadi tidak hanya dikalangan bawah tetapi juga dikalangan atas …). Yang dimaksud dengan dijajah oleh diri kita sendiri bermakna bukan secara fisik merusak atau memperdaya diri, akan tetapi dijajah oleh hawa nafsu yang ada pada diri kita sendiri, dan penulis setuju bahwa saat ini kita sedang dijajah oleh hawa nafsu. Apa yang dimaksud hawa nafsu ? Hawa nafsu secara sederhana adalah keinginan-keinginan diri. Nafsu diterjemahkan sebagai egoisme: kecendurangan kita untuk mencapai keinginan-keinginan diri. Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan dan dianggap sebagi orang yang paling penting, yang biasanya lazim kita sebut sebagai kepongahan atau arogansi. (Jalaludin Rahmat, 2000, hal. 4) Dan menurut Fadli Sabil (2009) egoisme merupakan suatu kejahatan dan dipandang sebagai pelanggaran moral karena ia selalu mengabaikan kepentingan orang lain. Egoisme membuat manusia jauh dari kebenaran dan menyimpang dari petunjuk Tuhan. Tentunya kita akan memahami jika hawa nafsu seperti pengertian di atas, mengendalikan dan menjajah diri masyarakat kita maka yang terjadi adalah korupsi, kolusi nepotisme dan berebut kekuasaan bagi orang-orang yang memiliki jabatan. Atau kekejaman yang dilakukan oleh rakyat kelas bawah, berupa kerusuhan, kekacauan, pencurian, perampokan, penodongan, pemerkosaan, penculikan, penjarahan yang mengakibatkan tidak ada lagi rasa ketenangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam pandangan Islam hawa nafsu merupakan musuh yang mesti dikendalikan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan melalui Imam Shâdiq bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Waspadalah terhadap hawa nafsu kalian sebagaimana kamu sekalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih pantang bagi manusia daripada mengikuti hawa nafsu dan ketergelinciran lidah yang tak bertulang.” Imam Shâdiq as juga berkata: “Janganlah kalian biarkan jiwa bersanding bersama hawa nafsu. Karena, hawa nafsu pasti (membawa) kehinaan bagi jiwamu.” Dan Allah SWT. memberikan apresiasi yang luar biasa bagi siapa saja yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, sebagaimana firman-Nya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.). Lalu bagaimana kita mengendalikan hawa nafsu? Di dalam ajaran Islam, hawa nafsu tidak untuk dibunuh sebab ada sisi baiknya dari hawa nafsu ini, yaitu akan memberikan motivasi untuk selalu berusaha dalam menggapai kebaikan hidup. Akan tetapi hawa nafsu mesti dikendalikan, salah satunya dengan puasa. Mengapa dengan puasa ? menurut Dr. H. Suhairy Ilyas, MA (2009) Puasa bukan hanya sekedar menahan dan mengendalikan hawa nafsu dari makan dan minum. Hakikat puasa adalah pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Selain mengendalikan mulut dari makan dan minum, puasa juga mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak terpuji, seperti bohong, gunjing, caci maki dan lain lainnya. Puasa juga mengendalikan hati kita untuk tidak selalu condong kepada kehidupan duniawi. Puasa juga pengendalian mata (ghadhul bashar) dari memandang hal yang diharamkan Allah SWT. seperti melihat tontonan aurat, tontonan maksiat dan lain lain. Puasa juga mengendalikan telinga dari mendengarkan hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. seperti mendegar musik hura-hura, mendengar gosip dan lain-lain. Puasa juga mengendalikan kaki dan tangan dari tingkah laku yang tidak diridhai Allah. Sabda Rasulullah SAW : “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT. tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minumnya (percuma dia berpuasa)”. (HR.Bukhari dari Abu Hurairah). Oleh karenanya, kiranya cukup menjadi bahan renungan pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Marilah kita jadikan Kemerdekaan Negara kita benar-benar bermakna merdeka, tidak hanya secara fisik yang terbebas dari penjajahan, akan tetapi juga secara bathin terbebas dari penjajahan hawa nafsu kita dengan cara menjalankan puasa dengan sebenar-benarnya. Tentunya, jika semua masyarakat Indonesia mampu memerdekakan “Jiwa Raganya” dari penjajahan hawa nafsunya, niscaya harapan kita mewujudkan Indonesia sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur akan segera terwujud, Insya Allah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar