Laman

Minggu, 04 November 2012

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN PENDEKATAN WHOLE SCHOOL DEVELOPMENT APPROACH


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*
Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi banyak memberikan efek bagi dunia pendidikan. Tidak hanya efek positif yang dapat memberikan stimulus bagi para siswa/mahasiswa untuk terus berkarya menciptakan sesuatu yang baru yang memberikan nilai manfaat bagi kehidupan, tetapi juga memberikan negative side effect.  Banyak problema yang muncul di dunia pendidikan yang harus ditangani dan dipecahkan secara holistik. Problema yang sangat berat adalah adanya dekadensi moral (demoralisasi) yang semakin meningkat.
Peningkatan demoralisasi ini ditandai oleh beberapa hal yang sering terjadi di tengah-tengah kita selama ini yaitu meningkatnya tindak kekerasan dan perkelahian di kalangan anak dan remaja, maraknya pacaran di kalangan remaja yang melampaui batas-batas norma-norma agama yang berakibat bebasnya hubungan seks bebas, gemarnya anak-anak bermain games dan internet menyebabkan mereka lupa shalat, dan meninggalkan membaca al-Qur’an. (Majalah Sabilillah, Januari 2009).
Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Megawangi (2007) menjelaskan ada sepuluh tanda kehancuran zaman yang harus diwaspadai, yaitu: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks bebas, dan alkohol, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) penurunan etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, (8) rendahnya tanggung jawab individu dan negara, (9) ketidakjujuran yang membudaya, dan (10) rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kondisi demikian tentunya sangat memprihatinkan banyak pihak, terlebih orang tua dan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Keprihatinan terhadap dekadensi moral dan kenakalan anak dan remaja tersebut sangat membutuhkan solusi dan jawaban agar segera bisa diselesaikan setidaknya dapat diminimalisir sehingga tidak semakin berkembang dengan pesat.
Salah satu pemikiran solutif yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh adalah mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama menata pendidikan Indonesia untuk menciptakan dan menyiapkan generasi yang handal, salah satunya dengan program pendidikan karakter dari jenjang pra sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, atau bahkan pada titik yang tak terbatas (never ending process). Kepala bagian Penelitian dan Pengembangan Pendidikan kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramli (2009) menyatakan, pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena selama ini telah  ada pada kurikulum beberapa mata pelajaran. Namun melihat pada evaluasi yang  telah dilaksanakan, ditemukan bahwa pendidikan karakter yang  ada lebih menekankan pada domain kognitif saja. Oleh karenanya, kedepannya akan lebih menekankan pada domain afektif dan psikomotor.
Salah satu upaya untuk menjawab keprihatian tersebut adalah perlu diselenggarakan pendidikan karakter yang efektif di sekolah, yang melibatkan semua komponen sekolah (kepala sekolah, guru, staf) dan orang tua sebagai mitra yang baik. Untuk membangun kemitraan antara sekolah dan orang tua dibutuhkan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan integratif, yang mengarah pada pengembangan manajemen pendidikan karakter yang efektif dalam upaya menjalin hubungan yang sinergis dan harmonis.
Salah satu model pengembangan manajemen pendidikan karakter yang efektif adalah menggunakan pendekatan pengembangan secara menyeluruh (Whole School Development Approach), yaitu suatu pendekatan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat sekolah, yaitu siswa, guru dan staf, kepala sekolah, pimpinan pendidikan, dan orang tua siswa. Penggunaan pendekatan ini didasari oleh adanya kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh peran sekolah saja melainkan juga oleh peran orang tua dan masyarakat. Karena pengembangan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, guru dan orang tua, maka masing-masing diantara mereka harus bisa memerankan diri sebagai pendukung dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan karakter.
Pada praktiknya kepala sekolah memiliki tanggung jawab dan peran yang besar, yaitu menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan dorongan, bantuan, dan keteladanan bagi guru dan anak di sekolah. Sebagai penanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan karakter anak di sekolah, kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni agar seluruh pengelolaan pendidikan karakter yang melibatkan seluruh komponen (semua warga sekolah dan orang tua) dapat di dikembangkan dengan baik. Oleh karena itu pemahaman terhadap fungsi-fungsi manajemen; mulai perencanan, penggerakan, dan pengendalian serta evaluasi terhadap penyelenggakan pendidikan karakter sangat diperlukan.
Guru atau pendidik juga memiliki tanggung jawab dan tugas yang sangat besar, dimana setiap hari guru yang mengajar, membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk serta memberi keteladanan secara langsung pada anak. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik karakter yang baik, guru melaksanakan proses pembelajaran dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran karakter yang efektif, yaitu: (1) pembelajaran memerlukan partisipasi aktif para murid (belajar aktif), (2) setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan berbeda, dan (3) anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka berada dalam suasana kelas yang kondusif. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran karakter, upaya pembentukan karakter anak akan terwujud.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran orang tua, mengingat orang tua merupakan pendidik karakter anak di rumah yang memiliki waktu interaksi lebih. Hubungan emosional antara orang tua dengan anak sangat memberikan pengaruh yang besar dalam proses akulturasi budaya dan kebiasaan anak dari orang tuanya. Oleh karena itu, pola pengasuhan, pengarahan, dan pendidikan anak di rumah harus selaras dengan nilai-nilai pendidikan yang diselenggarakan di sekolah.
Dengan adanya keselarasan nilai yang diperoleh oleh anak antara di sekolah dan di rumah akan menambah kemantapan hati anak dalam membentuk karakternya, dan sebaliknya, ketiadaan keselarasan yang saling mendukung akan membingungkan dan mengaburkan nilai-nilai yang akan dicerna oleh anak, sehingga karakter anak tidak berkembang dengan baik. Hal inilah yang mendasari pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan karakter anak.
Dengan demikian, implementasi manajemen pendidikan karakter dengan pendekatan whole school development approach dalam upaya pembentukan karakter anak, yang berusaha mengoptimalkan peran dan tanggung jawab dari semua komponen sekolah dan peran serta orang tua adalah merupakan salah satu alternatif model penyelenggaraan pendidikan karkater di sekolah. Model penyelenggaraan pendidikan karakter ini sebagai bentuk keprihatinan serta tawaran pendekatan atas fenomena dekadensi moral di atas.
Terakhir penulis mengajak untuk sama-sama merenungkan apa yang diutarakan oleh Prof. Dr. K.H. Quraisy Shihab tentang analogi menanam, "Tanamkanlah tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter anda akan mengukir nasib". Wallahu A’lam Bish Showwab.

*) Penulis, Sekretaris POKJALUH Kab. Cirebon, Pengamat Pendidikan dan Masalah Sosial

POLA ALTERNATIF PENANGANAN PERMASALAHAN ALIRAN KEAGAMAAN


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon

Jumat, 20 Januari 2012

KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA* Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk. Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ? Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya. Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik. Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban). Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama. Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”. Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW. Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.

KARAKTERISTIK PROFESIONALISME RASULULLAH SAW

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA Dewasa ini para pegawai dilingkungan birokrasi pemerintahan termasuk Kementerian Agama, sedang banyak disorot mengenai profesionalisme mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Profesionalisme menjadi sebuah tuntutan yang merupakan suatu faham dan konsep idealisme profesional. Namun, banyak kalangan ternyata masih kurang memahami makna dari profesionalisme itu sendiri. Hal ini karena terjadi multitafsir terhadap kata tersebut dan belum ada standar evaluasi darinya. Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan. Dalam hal profesi tiy, Mc Cully (1969) (dalam Rusyan, 1990 : 4) mengatakan sebagai : Vocation an which professional knowledge of some department a learning science is used in its application to the other or in the practice of an art found it. Dari pengertian tersebut, dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat professional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain. Faktor penting dalam hal ini adalah intelektualitas yang di dalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja yang professional, atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang melaksanakannya. Ketika kita menyepakati definisi di atas, mungkin timbul pertanyaan, ”Jika demikian lantas siapa orangnya yang memiliki profesionalisme yang tinggi?” Jawabannya adalah Rasulullah SAW. Sebab jika kita melihat dari rangkaian sejarah, tentunya tiada lagi seorang manusia yang dapat dijadikan teladan yang mulia dalam berbagai hal termasuk profesionalisme kecuali Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW. dengan bimbingan wahyu Ilahy telah menjadikan dirinya sebagai orang yang memiliki intelektual tinggi dan profesionalisme yang sempurna yang diterapkan tidak hanya pada pekerjaan yang bersifat duniawi, tetapi juga hal-hal yang bersifat ukhrowi. Kita dapat melihat contoh kecil profesionalisme Rasulullah SAW. dalam beribadah adalah ketika beliau melaksanakan qiyamu lail yang kemudian didapati oleh ummul mukminin Aisyah r.a. beliau melaksanakannya dengan ruku’ dan sujud yang lama sampai-sampai terlihat kakinya bengkak. Dan tatkala ditanya, “kenapa engkau melakukan hal yang demikian? Padahal engkau adalah orang yang ma’shum?” lalu dengan tersenyum beliau hanya menjawab, “Wahai Aisyah, tidak sepantasnyakah aku menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya dengan semua itu?”. Itulah contoh kecil profesionalisme beliau dalam ibadah. Banyak lagi tauladan profesionalisme yang telah beliau contohkan untuk kita umatnya dalam melaksanakan setiap pekerjaan kita. Dari tauladan profesionalisme yang telah Rasulullah SAW. berikan kepada kita, kita dapat mempelajari karakteristik profesionalisme yang senantiasa melandasi setiap pekerjaan Rasulullah SAW. yang jika kita mampu mengaplikasikannya kita akan dapat menjadi seorang profesional yang baik. Adapun karakteristik profesionalisme yang diteladankan Rasulullah SAW. diantaranya : 1. Shiddiq, yang mengandung makna kejujuran dan melaksanakan pekerjaan dengan baik dan benar. Shiddiq ini menjadi salah satu dasar yang menjadi ‘mainboard’ untuk membangun profesionalisme. Sebab tentunya kita dapat memahami bahwa hasil dari suatu pekerjaan akan optimal dan maksimal jika dalam pelaksanaannya didasari oleh kejujuran dan benar. Dan banyak contoh yang kita dapatkan, ketika kita melaksanakan suatu pekerjaa dengan tidak baik, tidak benar dan tidak jujur, hasilnya kacau berantakan. 2. Amanah, yang bermakna penuh dedikasi dan tanggung jawab. Sikap tanggungjawab juga merupakan sifat akhlak yang sangat penting dan sangat diperlukan untuk membangun profesionalisme. Bagaimana jadinya jika suatu jabatan, jika suatu pekerjaan diberikan kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab? Tentunya tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat. 3. Tabligh, komunikatif dan transparan. Sikap ini menjadi salah satu ciri seorang profesional yang sejati. Dengan komunikasi yang baik, seorang profesional dapat meyakinkan orang lain untuk dapat kerjasama dalam melaksanakan visi dan misi dari institusi. Sementara dengan sikap transparan seorang profesional dapat melakukan akses kepada semua pihak tidak ada kecurigaan, sehingga semua audiens interaksinya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepadanya. 4. Fathonah, sikap cerdas. Dengan kecerdasannya seorang professional akan dapat melihat dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat, juga akan dapat memprediksikan permasalahan dari awal sehingga semua permasalahan dapat diatasi dengan cepat. 5. Ihtisab, penuh perhitungan. Seorang profesional yang baik, akan melaksanakan setiap pekerjaannya dengan penuh perhitungan. Artinya, ia tidak akan melakukan suatu pekerjaan dengan target asal selesai saja, tanpa memperhitungkan dan melihat hasil dari pekerjaannya tersebut telah sesuai dengan tujuan awal atau malah jauh menyimpang? Ia akan senantiasa memperhitungkan segala sesuatu dari pekerjaannya agar hasil dari pekerjaan tersebut dapat sesuai, tepat sasaran dan memberikan manfaat. 6. Mua’ahadah, memiliki komitmen yang tinggi. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. seorang profesional yang baik akan memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya ‘on target’ dengan senantiasa mempertimbangkan optimalisasi hasil dari pekerjaannya tersebut. 7. Mujahadah, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan setiap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Artinya seorang profesional tidak akan melaksanakan pekerjaan dengan asal-asalan, tetapi akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, baik dan benar serta penuh dengan rasa tanggung jawab. 8. Muraqabah, senantiasa diawasi oleh Allah SWT. sikap ini juga menjadi mainstream seorang profesional sejati dan sangat berkaitan erat dengan karakteristik-karakteristik di atas. 9. Mu’aqobah, siap menerima funishment (hukuman). Seorang profesional yang baik akan siap menerima funishment (hukuman) jika apa yang dikerjakannya tidak sesuai dengan keharusannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dari sebuah pertanggungjawaban dari suatu komitmen dan sebagai suatu i’tibar untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik. Itulah sebagian dari karakteristik profesionalisme yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. semoga semua komponen Kementerian Agama RI, dapat mengaplikasikannya dalam setiap amanah yang telah diembankan kepadanya. Harapannya, jika semua komponen dilingkungan kementerian Agama RI dapat melaksanakannya, Insya Allah akan mengantarkan negara Republik Indonesia ini menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, sebagaimana cita-cita kita semua. Semoga. Wallahu a’lam bish shawwab.