H. SAEFUL MALIK, S.Ag, M.Pd.I
Suatu hari, saya ditanya tentang konsep
agama Islam yang praktis dan mudah. Penanya punya anggapan, bahwa agama Islam
merupakan agama yang kaku, yang tidak toleran dan tidak mengikuti perkembangan
zaman. Ia juga beranggapan bahwa Islam agama yang berat, penuh dengan peraturan
dan hukuman. Mendapat pertanyaan itu saya berfikir, benarkah Islam demikian ?
rasa-rasanya tidak. Islam bukanlah agama yang kaku, ia sangat fleksibel. Islam
juga sangat toleran dan menghargai hak asasi manusia karena Islam agama moral,
karenanya hukum di dalam Islam pun sangat menghargai hak asasi manusia. Islam
pun agama yang sangat aktual dan sama sekali tidak ortodoks. Tapi benarkah
demikian ? atau hanya argumen apologia yang diutarakan untuk menutupi kelemahan
Islam ? ah, rasanya tidak demikian, karena banyak argumen filosofis, empiris
dan rasional yang dapat dikemukakan.
Namun sebelum mengemukakan argumen-argumen
tersebut, kita samakan dulu asumsi dasar dan persepsi tentang manusia menurut
Islam, diantaranya :
1. Manusia menurut pandangan Islam
merupakan makhluk yang paling sempurna. Ia diberi kelebihan berupa akal
fikiran, sehingga manusia diberi potensi untuk berkreasi.
2. Dalam Islam, manusia sangat dihormati,
asasi manusia sangat diagungkan dan dijunjung tinggi. Sehingga Islam sangat
membedakan manusia dengan makhluk lainnya, binatang misalnya.
3. Islam menyebutkan bahwa manusia
dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan suci (fitrah), tidak terkotori oleh
berbagai kotoran, baik dzahir maupun batin.
4. Kehidupan manusia merupakan suatu
perjalanan menuju Tuhannya. Oleh karena itu, jika manusia ingin selamat 92
Percikan Hikmah (Referensi Dakwah para Da’i) sampai kepada Tuhannya, maka
manusia membutuhkan berbagai aturan. Aturan itu adalah agama dalam hal ini
agama Islam.
5. Karena Islam mengakui semua itu,
aturan-aturan dalam Islam tentunya merupakan aturan yang sesuai dengan
kebutuhan manusia dan tidak menyimpang dari semua asumsi dasar itu.
Semua asumsi dasar di atas, mungkin hanya
sebagian dari sekian banyak asumsi-asumsi yang lain yang harus kita pegang
dalam memahami Islam. Walaupun hanya sebagian, mudah-mudahan dapat dijadikan
sebagai pijakan untuk menjawab berbagai permasalahan yang selalu timbul dalam
kehidupan kita.
Kembali kepada cerita di atas, setelah
berfikir saya bertanya kepada penanya tadi, “mengapa anda mempunyai persepsi
demikian tentang Islam ?” . kemudian ia menjawab, “Iya, Islam sangat kejam,
hukumnya terlalu keras. Buktinya di Islam ada hukum jilid (pukul) dan rajam
(lempar batu sampai meninggal) bagi orang-orang yang berzina, ada pula hukum
Qisas.” Lalu saya jawab, “Anda jangan melihat, hanya dari kerasnya batu untuk
melempar orang atau membayangkan nyerinya ketika kena pukulan. Hukuman itu ada
dalam Islam justru karena Islam sangat menghargai asasi manusia dan
kemanusiaan.
Sebagaimana kita maklumi, bahwa di dalam
Islam kedudukan manusia sangat terhormat dan berharga, manusia sangat agung.
Sehingga dalam Islam sangat dibedakan hak-hak dan peraturan bagi asasi manusia
di banding binatang. Kita dapat melihat dalam kasus orang yang berzina. Orang
yang melakukan zina adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang biasanya
dilakukan oleh binatang, melakukan suatu perbuatan yang tidak lumrah dan tidak
mesti dilakukan oleh seorang manusia, walaupun hal itu dilakukan suka sama
suka. Orang yang berzina berarti telah melanggar hak-hak asasi manusia dan
kemanusiaan. Karena ia sudah melakukan perbuatan yang di luar asasi (dasar)
manusia dan kemanusiaan, berarti ia sudah menghilangkan “unsur-unsur
kemanusiaan” pada dirinya, berarti ia sudah seperti binatang.
Dirinya sendiri yang menghilangkan
unsur-unsur kemanusiaan pada dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ia
sudah tidak menghargai dan mengagungkan dirinya sendiri sebagai manusia. Karena
ia sendiri sudah tidak menghargai dirinya, tentunya Islam juga tidak menghargai
dirinya sebagai manusia, maka layaklah ia mendapat hukuman karena ia telah
menghilangkan “kemanusiaannya” yang merupakan anugerah dari Allah yang tak
ternilai harganya. Tapi, Islam sangatlah adil. Ia membedakan hukuman antara
pezina yang menikah dengan yang tidak menikah.
Pezina yang tidak menikah hanya dihukum 100
deraan (pukulan/cambuk) dan tidak sampai meninggal. Ia masih diberi kesempatan
bertobat dan menikah, karena mungkin ia hanya meninggalkan sebagian dari
unsur-unsur kemanusiaanya dan juga mempertimbangkan faktor-faktor yang lain,
seperti faktor sosial, faktor psikologis dan lain sebagainya. Ia belum
merasakan suatu kenikmatan, sehingga ia mempunyai suatu naluri biologisnya
(yang diperoleh dari berbagai faktor baik internal jiwanya maupun eksternal)
untuk mendapatkan kenikmatan itu. Berbeda dengan pezina yang menikah, jelas ia
mempunyai hak untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya.
Akan tetapi, ia masih mencari yang lain,
jelas ini menunjukkan bahwa ia sudah benar-benar melepaskan unsur-unsur
kemanusiaannya yang merupakan anugerah terbesar dari Tuhan dan menampakkan
unsur-unsur kebinatangan. Berarti ia sudah bukan manusia. Wajarlah jika
hukumannya lebih berat.” Ia juga menyebutkan bahwa Islam agama yang kaku, tidak
trendy, buktinya di dalam Islam dilarang untuk pacaran. Lalu saya menjawab,
kata siapa Islam melarang pacaran ? Islam tidak pernah melarang pacaran, sama
halnya Islam juga tidak pernah menyuruh untuk pacaran, karena di dalam Islam
tidak ada konsep pacaran. Yang dilarang oleh Islam adalah melakukan perbuatan
yang mendekati zina, karena dikhawatirkan akan melakukan perbuatan zina dan
berarti menghilangkan sisi kemanusiaan yang agung.
Lalu saya mempertanyakan tentang esensi dan
urgensi dari pacaran itu. Jika esensi dan urgensi pacaran itu adalah untuk
ta’aruf (pengenalan) terhadap lawan jenis yang akan kita nikahi, tentu saja
Islam sangat mendukung hal itu. Islam sangat mendukung, ketika kita hendak
menikah tentunya jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung, dan
tentunya kita harus mengenal terlebih dahulu. Jadi sangat jelas, jika esensi
pacaran itu adalah sebagai proses ta’aruf tentunya Islam sangat mendukung hal
tersebut. Akan tetapi, tentunya ada beberapa aturan dalam pacaran itu agar
nanti proses pacaran yang mempunyai nilai tinggi itu rusak karena salah dalam
melakukannya. Ada aturanaturan yang harus dipenuhi agar pacaran itu tidak
terjerumus ke dalam perbuatan zina. Misalnya, kita mengobrol dengan lawan jenis
dengan adanya mahram. Begitu juga ketika bepergian kita selalu mengikutsertakan
mahram.
Islam tidak melarang mengobrolnya atau
perginya, akan tetapi Islam mengatur agar bertemu (ngobrolnya) atau perginya
tidak hanya berdua, sebab jika hanya berdua ada sebuah kekhawatiran hilang
kontrol dan seterusnya melakukan sesuatu yang mengarah kepada zina. Kita juga
dapat berfikir bahwa jika esensi dan urgensi dari pacaran itu adalah untuk
ta’aruf, tentu saja kita tidak diharuskan melakukan hal-hal di luar esensi
tersebut, atau hal-hal yang berlebihan. Tentu saja kita tidak diharuskan untuk
menonton di bisokop berduaan misalkan, karena kita dapat mengenal “dia” juga
dengan tanpa menonton ke bioskop berduaan. Atau kita juga tidak diharuskan
untuk tidur berduaan (dengan alasan apapun), karena kita menikah itu tidak sama
dengan membeli buah jeruk yang minta dulu untuk dirasakan, jika manis kita jadi
membeli, dan jika masam kita tidak jadi. Berarti bolehkah kita berpacaran ?
Akhirnya Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa Islam sangat praktis, dan
fleksibel juga trendy, tidak kaku. Islam sangat menghargai kebebasan manusia.
Islam sangat menghormati hak asasi manusia. Hanya saja Islam senantiasa
mengingatkan kita agar senantiasa ingat akan “jati diri” kita selaku manusia,
kita yang diberi anugerah oleh Allah unsur-unsur kemanusiaan yang sangat agung
dan mulia. Agar jangan sampai kita melakukan perbuatan yang menghilangkan
kemanusiaan kita sehingga menjadikan kita tiada bedanya dengan binatang. Jika
kita hidup sesuai dengan seluruh peraturan Islam, tentunya kita akan merasakan
bahwa Islam merupakan agama yang sangat praktis, fleksibel dan menyenangkan. Wa
Allahu A’lam