Laman

Minggu, 04 November 2012

HAJI MABRUR ; JIHAD PALING UTAMA


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)

Kita sekarang berada pada bulan Dzul Qa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram (Asyhurul Hurum) dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan Asyhurum Ma’lumaat. Disebut Dzul Qa’dah karena bangsa Arab pada zaman dahulu biasanya mereka Yaq’uduuna fiihi ‘anil asfar wal qitaal isti’daadan li ihromi bil hajj.  “Mereka duduk (tinggal dirumah) tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram haji”.
Dari beberapa hari yang lalu, kita melihat sudah banyak dari saudara dan handai taulan kita yang telah pergi menuju baitullah untuk melaksanakan ibadah haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam dalam di lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah SWT.
Secara bahasa al Hajj bermakna al Qashdu, yang artinya bermaksud. Sedangkan menurut istilah, ibadah Haji ialah menyengaja pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arafah, dan seluruh rangkaian manasik karena memenuhi perintah dan mencari ridho Allah SWT. (Sayyid Sabiq, 1983).
Tidak ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep ibadah seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam Islam. Haji merupakan satu-satunya ibadah ritual yang mempunyai perbedaan khusus dibanding dengan ibadah ritual lainnya, seperti Shalat, Zakat dan Puasa. Karena ibadah haji merupakan ibadah ritual yang mempunyai dua dimensi yaitu ibadah material (maaliyah) dan non material (badaniyah). Saking utamanya ibadah Haji, sampai-sampai Rasulullah SAW mengapresiasi Haji bernilai setara dengan Jihad. Jihad yang paling utama ialah haji yang mabrur” (lihat Asshon’any dalam Subulussalam, II:178). Dalam hadits lain diceritakan bahwa “tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali sorga”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Akan tetapi dari hadits tersebut, kita juga dapat melihat bahwa apresiasi yang diberikan Allah SWT. tidak  diberikan kepada semua jamaah haji, akan tetapi hanya kepada haji yang mabrur. Asshon’any berpendapat haji mabrur ialah haji yang menjadikan pelakunya melahirkan dan meningkatkan kebaikan dan kebajikan yang berkesinambungan setelah menunaikan ibadah haji. Jadi ada suatu tuntutan dari Allah SWT, jika ingin mendapatkan pahala jihad dan mendapatkan sorga, jadikanlah haji kita sebagai haji mabrur, yaitu yang impact dari ibadah haji yang dilakukan di tanah suci itu menjadikan orang yang melaksanakannya menjadi orang yang soleh baik pada ibadah ritual maupun sosialnya.
Yang pada tataran praktisnya diantara tanda haji yang mabrur adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu. Ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah. Setiap gerak gerik, tingkah laku ‘pak Haji’ dan ‘bu Haji’ yang mabrur akan menjadi suri tauladan yang baik bagi orang-orang disekitarnya. Ia akan semakin dermawan, tutur katanya terjaga dari ghibah, namimah dan fitnah, bekerja semakin giat dan disiplin, ibadah ke masjid semakin rajin dan lain sebagainya. Sehingga setiap orang yang melihatnya akan mengatakan, “Subhanallah, pak Haji Fulan dan bu Hajjah Fulanah memang baik”. Kata haji nya diucapkan hanya satu kali.
Berbeda dengan haji mardud. Haji mardud merupakan lawan dari haji mabrur. Mardud berarti tertolak. Artinya haji mardud adalah orang yang pergi ke tanah suci melakukan ritual ibadah haji, akan tetapi tidak mendapatkan apapun dari segala pengorbanannya itu, bahkan Allah SWT. menolak dari apa yang dikerjakannya, dikarenakan tidak sucinya niat, harta yang dipergunakan atau apa yang dilakukannya. Indikator dari haji mardud adalah mereka yang sebelum dan sesudah haji sama saja, begitu-begitu aja atau bahkan akhlak dan ibadah sesudah pergi haji  lebih buruk dibanding sebelumnya. Ketika ada orang yang pulang haji menjadi tambah pelit, tidak mau menolong. Jika ada orang yang pulang haji mulutnya tidak mau mingkem dari ghibah, namimah dan memfitnah orang lain. Atau ketika pulang haji, korupsi dan kolusinya tambah rajin serta maksiatnya tambah meningkat. Bisa jadi orang tersebut merupakan haji yang mardud. Dan menjadi hukum adat ditataran masyarakat ketika melihat perilaku yang demikian, mereka akan mengatakan, “ haji-haji kok begitu ...” menyebut hajinya dua kali.
Bagi masyarakat awam membedakan haji mabrur dan haji mardud dibuat mudah.  Melihat dari indikator perilaku yang menghasilkan penyebutan haji satu kali atau dua kali. Jika disebut kata haji satu kali “biasanya” menjadi indikator haji mabrur, tapi jika disebut haji-haji ... “bisa jadi” perilakunya menjadi indikator haji yang mardud, karena ketika ada orang mengatakan haji-haji untuk menyebut seseorang,  biasanya dalam keadaan emosi karena tingkah laku yang dikerjakan oleh orang tersebut tidak sesuai dengan seharusnya. Oleh karena itu, bagi siapapun yang melaksanakan ibadah haji. Laksanakanlah ibadah haji itu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, dimulai dari kesucian niat, harta dan segala bentuk peribadahannya. Sehingga setelah pulang kembali ke tanah air, menjadi pak haji dan bu haji yang menjadi suri tauladan dan menebarkan rahmat bagi lingkungan sekitarnya dan masyarakat tidak menyebutnya dengan “haji-haji kok ...”. Semoga demikian. Wallahu A’lam bish Showwab.
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Kedawung Kab. Cirebon

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN PENDEKATAN WHOLE SCHOOL DEVELOPMENT APPROACH


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*
Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi banyak memberikan efek bagi dunia pendidikan. Tidak hanya efek positif yang dapat memberikan stimulus bagi para siswa/mahasiswa untuk terus berkarya menciptakan sesuatu yang baru yang memberikan nilai manfaat bagi kehidupan, tetapi juga memberikan negative side effect.  Banyak problema yang muncul di dunia pendidikan yang harus ditangani dan dipecahkan secara holistik. Problema yang sangat berat adalah adanya dekadensi moral (demoralisasi) yang semakin meningkat.
Peningkatan demoralisasi ini ditandai oleh beberapa hal yang sering terjadi di tengah-tengah kita selama ini yaitu meningkatnya tindak kekerasan dan perkelahian di kalangan anak dan remaja, maraknya pacaran di kalangan remaja yang melampaui batas-batas norma-norma agama yang berakibat bebasnya hubungan seks bebas, gemarnya anak-anak bermain games dan internet menyebabkan mereka lupa shalat, dan meninggalkan membaca al-Qur’an. (Majalah Sabilillah, Januari 2009).
Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Megawangi (2007) menjelaskan ada sepuluh tanda kehancuran zaman yang harus diwaspadai, yaitu: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks bebas, dan alkohol, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) penurunan etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, (8) rendahnya tanggung jawab individu dan negara, (9) ketidakjujuran yang membudaya, dan (10) rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kondisi demikian tentunya sangat memprihatinkan banyak pihak, terlebih orang tua dan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Keprihatinan terhadap dekadensi moral dan kenakalan anak dan remaja tersebut sangat membutuhkan solusi dan jawaban agar segera bisa diselesaikan setidaknya dapat diminimalisir sehingga tidak semakin berkembang dengan pesat.
Salah satu pemikiran solutif yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh adalah mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama menata pendidikan Indonesia untuk menciptakan dan menyiapkan generasi yang handal, salah satunya dengan program pendidikan karakter dari jenjang pra sekolah hingga jenjang perguruan tinggi, atau bahkan pada titik yang tak terbatas (never ending process). Kepala bagian Penelitian dan Pengembangan Pendidikan kementerian Pendidikan Nasional Mansyur Ramli (2009) menyatakan, pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena selama ini telah  ada pada kurikulum beberapa mata pelajaran. Namun melihat pada evaluasi yang  telah dilaksanakan, ditemukan bahwa pendidikan karakter yang  ada lebih menekankan pada domain kognitif saja. Oleh karenanya, kedepannya akan lebih menekankan pada domain afektif dan psikomotor.
Salah satu upaya untuk menjawab keprihatian tersebut adalah perlu diselenggarakan pendidikan karakter yang efektif di sekolah, yang melibatkan semua komponen sekolah (kepala sekolah, guru, staf) dan orang tua sebagai mitra yang baik. Untuk membangun kemitraan antara sekolah dan orang tua dibutuhkan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan integratif, yang mengarah pada pengembangan manajemen pendidikan karakter yang efektif dalam upaya menjalin hubungan yang sinergis dan harmonis.
Salah satu model pengembangan manajemen pendidikan karakter yang efektif adalah menggunakan pendekatan pengembangan secara menyeluruh (Whole School Development Approach), yaitu suatu pendekatan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat sekolah, yaitu siswa, guru dan staf, kepala sekolah, pimpinan pendidikan, dan orang tua siswa. Penggunaan pendekatan ini didasari oleh adanya kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh peran sekolah saja melainkan juga oleh peran orang tua dan masyarakat. Karena pengembangan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, guru dan orang tua, maka masing-masing diantara mereka harus bisa memerankan diri sebagai pendukung dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan karakter.
Pada praktiknya kepala sekolah memiliki tanggung jawab dan peran yang besar, yaitu menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan dorongan, bantuan, dan keteladanan bagi guru dan anak di sekolah. Sebagai penanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan karakter anak di sekolah, kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni agar seluruh pengelolaan pendidikan karakter yang melibatkan seluruh komponen (semua warga sekolah dan orang tua) dapat di dikembangkan dengan baik. Oleh karena itu pemahaman terhadap fungsi-fungsi manajemen; mulai perencanan, penggerakan, dan pengendalian serta evaluasi terhadap penyelenggakan pendidikan karakter sangat diperlukan.
Guru atau pendidik juga memiliki tanggung jawab dan tugas yang sangat besar, dimana setiap hari guru yang mengajar, membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk serta memberi keteladanan secara langsung pada anak. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik karakter yang baik, guru melaksanakan proses pembelajaran dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran karakter yang efektif, yaitu: (1) pembelajaran memerlukan partisipasi aktif para murid (belajar aktif), (2) setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan berbeda, dan (3) anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka berada dalam suasana kelas yang kondusif. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran karakter, upaya pembentukan karakter anak akan terwujud.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran orang tua, mengingat orang tua merupakan pendidik karakter anak di rumah yang memiliki waktu interaksi lebih. Hubungan emosional antara orang tua dengan anak sangat memberikan pengaruh yang besar dalam proses akulturasi budaya dan kebiasaan anak dari orang tuanya. Oleh karena itu, pola pengasuhan, pengarahan, dan pendidikan anak di rumah harus selaras dengan nilai-nilai pendidikan yang diselenggarakan di sekolah.
Dengan adanya keselarasan nilai yang diperoleh oleh anak antara di sekolah dan di rumah akan menambah kemantapan hati anak dalam membentuk karakternya, dan sebaliknya, ketiadaan keselarasan yang saling mendukung akan membingungkan dan mengaburkan nilai-nilai yang akan dicerna oleh anak, sehingga karakter anak tidak berkembang dengan baik. Hal inilah yang mendasari pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan karakter anak.
Dengan demikian, implementasi manajemen pendidikan karakter dengan pendekatan whole school development approach dalam upaya pembentukan karakter anak, yang berusaha mengoptimalkan peran dan tanggung jawab dari semua komponen sekolah dan peran serta orang tua adalah merupakan salah satu alternatif model penyelenggaraan pendidikan karkater di sekolah. Model penyelenggaraan pendidikan karakter ini sebagai bentuk keprihatinan serta tawaran pendekatan atas fenomena dekadensi moral di atas.
Terakhir penulis mengajak untuk sama-sama merenungkan apa yang diutarakan oleh Prof. Dr. K.H. Quraisy Shihab tentang analogi menanam, "Tanamkanlah tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter anda akan mengukir nasib". Wallahu A’lam Bish Showwab.

*) Penulis, Sekretaris POKJALUH Kab. Cirebon, Pengamat Pendidikan dan Masalah Sosial

POLA ALTERNATIF PENANGANAN PERMASALAHAN ALIRAN KEAGAMAAN


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon

Jumat, 20 Januari 2012

KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA* Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk. Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ? Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya. Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik. Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban). Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama. Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”. Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW. Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.