Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)
Kita
sekarang berada pada bulan Dzul Qa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah,
satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram (Asyhurul Hurum)
dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan Asyhurum Ma’lumaat. Disebut
Dzul Qa’dah karena bangsa Arab pada zaman dahulu biasanya mereka Yaq’uduuna
fiihi ‘anil asfar wal qitaal isti’daadan li ihromi bil hajj. “Mereka duduk (tinggal dirumah) tidak
melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram
haji”.
Dari
beberapa hari yang lalu, kita melihat sudah banyak dari saudara dan handai
taulan kita yang telah pergi menuju baitullah untuk melaksanakan ibadah haji.
Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta
harapan telah tertanam dalam di lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara
kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam
sedunia, memenuhi panggilan Allah SWT.
Secara
bahasa al Hajj bermakna al Qashdu, yang artinya bermaksud.
Sedangkan menurut istilah, ibadah Haji ialah
menyengaja pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Thawaf, Sa’i, Wuquf
di Arafah, dan seluruh rangkaian manasik karena memenuhi perintah dan mencari
ridho Allah SWT. (Sayyid Sabiq, 1983).
Tidak
ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep
ibadah seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum
sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama
dalam Islam. Haji
merupakan satu-satunya ibadah ritual yang mempunyai perbedaan khusus dibanding
dengan ibadah ritual lainnya, seperti Shalat, Zakat dan Puasa. Karena ibadah
haji merupakan ibadah ritual yang mempunyai dua dimensi yaitu ibadah material
(maaliyah) dan non material (badaniyah). Saking utamanya ibadah
Haji, sampai-sampai Rasulullah SAW mengapresiasi Haji bernilai setara dengan
Jihad. “Jihad yang paling utama ialah haji yang
mabrur” (lihat Asshon’any dalam Subulussalam, II:178). Dalam hadits lain
diceritakan bahwa “tidak ada balasan yang
pantas bagi haji mabrur kecuali sorga”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Akan
tetapi dari hadits tersebut, kita juga dapat melihat bahwa apresiasi yang
diberikan Allah SWT. tidak diberikan kepada
semua jamaah haji, akan tetapi hanya kepada haji yang mabrur. Asshon’any berpendapat haji
mabrur ialah haji yang menjadikan pelakunya melahirkan dan meningkatkan
kebaikan dan kebajikan yang berkesinambungan setelah menunaikan ibadah haji. Jadi ada suatu tuntutan
dari Allah SWT, jika ingin mendapatkan pahala jihad dan mendapatkan sorga,
jadikanlah haji kita sebagai haji mabrur, yaitu yang impact dari ibadah
haji yang dilakukan di tanah suci itu menjadikan orang yang melaksanakannya
menjadi orang yang soleh baik pada ibadah ritual maupun sosialnya.
Yang
pada tataran praktisnya diantara tanda haji yang mabrur adalah sepulang haji ia
tidak akan mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu. Ia akan tampil sebagai
muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah. Setiap gerak gerik, tingkah laku
‘pak Haji’ dan ‘bu Haji’ yang mabrur akan menjadi suri tauladan yang baik bagi
orang-orang disekitarnya. Ia akan semakin dermawan, tutur katanya terjaga dari
ghibah, namimah dan fitnah, bekerja semakin giat dan disiplin, ibadah ke masjid
semakin rajin dan lain sebagainya. Sehingga setiap orang yang melihatnya akan
mengatakan, “Subhanallah, pak Haji Fulan dan bu Hajjah Fulanah memang baik”.
Kata haji nya diucapkan hanya satu kali.
Berbeda
dengan haji mardud. Haji mardud merupakan lawan dari haji mabrur. Mardud
berarti tertolak. Artinya haji mardud adalah orang yang pergi ke tanah suci
melakukan ritual ibadah haji, akan tetapi tidak mendapatkan apapun dari segala
pengorbanannya itu, bahkan Allah SWT. menolak dari apa yang dikerjakannya,
dikarenakan tidak sucinya niat, harta yang dipergunakan atau apa yang
dilakukannya. Indikator dari haji mardud adalah mereka yang sebelum dan sesudah haji sama saja, begitu-begitu aja
atau bahkan akhlak dan ibadah sesudah pergi haji lebih buruk dibanding sebelumnya. Ketika ada
orang yang pulang haji menjadi tambah pelit, tidak mau menolong. Jika ada orang
yang pulang haji mulutnya tidak mau mingkem dari ghibah, namimah dan
memfitnah orang lain. Atau ketika pulang haji, korupsi dan kolusinya tambah
rajin serta maksiatnya tambah meningkat. Bisa jadi orang tersebut merupakan
haji yang mardud. Dan menjadi hukum adat ditataran masyarakat ketika melihat
perilaku yang demikian, mereka akan mengatakan, “ haji-haji kok begitu ...”
menyebut hajinya dua kali.
Bagi
masyarakat awam membedakan haji mabrur dan haji mardud dibuat mudah. Melihat dari indikator perilaku yang
menghasilkan penyebutan haji satu kali atau dua kali. Jika disebut kata haji
satu kali “biasanya” menjadi indikator haji mabrur, tapi jika disebut haji-haji
... “bisa jadi” perilakunya menjadi indikator haji yang mardud, karena ketika
ada orang mengatakan haji-haji untuk menyebut seseorang, biasanya dalam keadaan emosi karena tingkah
laku yang dikerjakan oleh orang tersebut tidak sesuai dengan seharusnya. Oleh
karena itu, bagi siapapun yang melaksanakan ibadah haji. Laksanakanlah ibadah
haji itu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, dimulai dari kesucian niat, harta
dan segala bentuk peribadahannya. Sehingga setelah pulang kembali ke tanah air,
menjadi pak haji dan bu haji yang menjadi suri tauladan dan menebarkan rahmat bagi
lingkungan sekitarnya dan masyarakat tidak menyebutnya dengan “haji-haji kok
...”. Semoga demikian. Wallahu A’lam bish Showwab.
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Kedawung
Kab. Cirebon