Oleh
: Saeful Malik, S.Ag, MBA*
Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi banyak memberikan efek
bagi dunia pendidikan. Tidak hanya efek positif yang dapat memberikan stimulus
bagi para siswa/mahasiswa untuk terus berkarya menciptakan sesuatu yang baru
yang memberikan nilai manfaat bagi kehidupan, tetapi juga memberikan negative
side effect. Banyak problema yang
muncul di dunia pendidikan yang harus ditangani dan dipecahkan secara holistik.
Problema yang sangat berat adalah adanya dekadensi moral (demoralisasi) yang
semakin meningkat.
Peningkatan demoralisasi ini ditandai oleh beberapa hal yang sering
terjadi di tengah-tengah kita selama ini yaitu meningkatnya tindak kekerasan
dan perkelahian di kalangan anak dan remaja, maraknya pacaran di kalangan
remaja yang melampaui batas-batas norma-norma agama yang berakibat bebasnya
hubungan seks bebas, gemarnya anak-anak bermain games dan internet menyebabkan
mereka lupa shalat, dan meninggalkan membaca al-Qur’an. (Majalah Sabilillah,
Januari 2009).
Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Megawangi (2007)
menjelaskan ada sepuluh tanda kehancuran zaman yang harus diwaspadai, yaitu:
(1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak
kekerasan, (4) meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks
bebas, dan alkohol, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6)
penurunan etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan
guru, (8) rendahnya tanggung jawab individu dan negara, (9) ketidakjujuran yang
membudaya, dan (10) rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Kondisi demikian tentunya sangat memprihatinkan banyak pihak,
terlebih orang tua dan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam.
Keprihatinan terhadap dekadensi moral dan kenakalan anak dan remaja tersebut
sangat membutuhkan solusi dan jawaban agar segera bisa diselesaikan setidaknya
dapat diminimalisir sehingga tidak semakin berkembang dengan pesat.
Salah satu pemikiran
solutif yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh adalah
mengajak seluruh komponen bangsa bersama-sama menata pendidikan Indonesia untuk
menciptakan dan menyiapkan generasi yang handal, salah satunya dengan program
pendidikan karakter dari jenjang pra sekolah hingga jenjang perguruan tinggi,
atau bahkan pada titik yang tak terbatas (never ending process). Kepala
bagian Penelitian dan Pengembangan Pendidikan kementerian Pendidikan Nasional
Mansyur Ramli (2009) menyatakan, pendidikan karakter bukanlah hal yang baru
dalam dunia pendidikan, karena selama ini telah
ada pada kurikulum beberapa mata pelajaran. Namun melihat pada evaluasi
yang telah
dilaksanakan, ditemukan bahwa pendidikan karakter yang ada lebih menekankan pada domain kognitif
saja. Oleh karenanya, kedepannya akan lebih menekankan pada domain afektif dan
psikomotor.
Salah satu upaya untuk menjawab keprihatian tersebut adalah perlu
diselenggarakan pendidikan karakter yang efektif di sekolah, yang melibatkan
semua komponen sekolah (kepala sekolah, guru, staf) dan orang tua sebagai mitra
yang baik. Untuk membangun kemitraan antara sekolah dan orang tua dibutuhkan
sebuah pendekatan yang menyeluruh dan integratif, yang mengarah pada
pengembangan manajemen pendidikan karakter yang efektif dalam upaya menjalin
hubungan yang sinergis dan harmonis.
Salah satu model pengembangan manajemen pendidikan karakter yang
efektif adalah menggunakan pendekatan pengembangan secara menyeluruh (Whole
School Development Approach), yaitu suatu pendekatan yang melibatkan
seluruh anggota masyarakat sekolah, yaitu siswa, guru dan staf, kepala sekolah,
pimpinan pendidikan, dan orang tua siswa. Penggunaan pendekatan ini didasari
oleh adanya kesadaran yang mendalam bahwa keberhasilan suatu pendidikan tidak
hanya ditentukan oleh peran sekolah saja melainkan juga oleh peran orang tua
dan masyarakat. Karena pengembangan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab
bersama antara kepala sekolah, guru dan orang tua, maka masing-masing diantara
mereka harus bisa memerankan diri sebagai pendukung dalam keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan karakter.
Pada praktiknya kepala sekolah memiliki tanggung jawab dan peran
yang besar, yaitu menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan
dorongan, bantuan, dan keteladanan bagi guru dan anak di sekolah. Sebagai
penanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan karakter anak di sekolah,
kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni agar
seluruh pengelolaan pendidikan karakter yang melibatkan seluruh komponen (semua
warga sekolah dan orang tua) dapat di dikembangkan dengan baik. Oleh karena itu
pemahaman terhadap fungsi-fungsi manajemen; mulai perencanan, penggerakan, dan
pengendalian serta evaluasi terhadap penyelenggakan pendidikan karakter sangat
diperlukan.
Guru atau pendidik juga memiliki tanggung jawab dan tugas yang
sangat besar, dimana setiap hari guru yang mengajar, membimbing, mengarahkan,
dan memberi petunjuk serta memberi keteladanan secara langsung pada anak. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik karakter yang baik, guru melaksanakan
proses pembelajaran dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran karakter
yang efektif, yaitu: (1) pembelajaran memerlukan partisipasi aktif para murid
(belajar aktif), (2) setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan berbeda, dan
(3) anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka berada dalam suasana
kelas yang kondusif. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran
karakter, upaya pembentukan karakter anak akan terwujud.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran orang tua, mengingat
orang tua merupakan pendidik karakter anak di rumah yang memiliki waktu
interaksi lebih. Hubungan emosional antara orang tua dengan anak sangat
memberikan pengaruh yang besar dalam proses akulturasi budaya dan kebiasaan
anak dari orang tuanya. Oleh karena itu, pola pengasuhan, pengarahan, dan
pendidikan anak di rumah harus selaras dengan nilai-nilai pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah.
Dengan adanya keselarasan nilai yang diperoleh oleh anak antara di
sekolah dan di rumah akan menambah kemantapan hati anak dalam membentuk
karakternya, dan sebaliknya, ketiadaan keselarasan yang saling mendukung akan
membingungkan dan mengaburkan nilai-nilai yang akan dicerna oleh anak, sehingga
karakter anak tidak berkembang dengan baik. Hal inilah yang mendasari
pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan karakter anak.
Dengan demikian, implementasi manajemen pendidikan karakter dengan
pendekatan whole school development approach dalam upaya pembentukan
karakter anak, yang berusaha mengoptimalkan peran dan tanggung jawab dari semua
komponen sekolah dan peran serta orang tua adalah merupakan salah satu
alternatif model penyelenggaraan pendidikan karkater di sekolah. Model penyelenggaraan
pendidikan karakter ini sebagai bentuk keprihatinan serta tawaran pendekatan atas
fenomena dekadensi moral di atas.
Terakhir penulis mengajak untuk sama-sama merenungkan apa yang
diutarakan oleh Prof. Dr. K.H. Quraisy Shihab tentang analogi menanam, "Tanamkanlah
tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan
mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter
anda akan mengukir nasib". Wallahu A’lam
Bish Showwab.
*)
Penulis, Sekretaris POKJALUH Kab. Cirebon, Pengamat Pendidikan dan Masalah
Sosial