Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon
Minggu, 04 November 2012
POLA ALTERNATIF PENANGANAN PERMASALAHAN ALIRAN KEAGAMAAN
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*) Kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan merupakan Hak Asasi Manusia. Namun jika kita melihat sejarah pemikiran filsafat dan perkembangan-perkembangan agama di dunia, hampir di tiap masa dapat dipastikan terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang atau nyeleneh dari agama yang dianutnya. Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari rel keagamaan yang dianut masyarakat pada umumnya. Perbedaan pemikiran, pemahaman dan keyakinan terhadap agama, tentunya di samping membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif, yaitu sebagai faktor penghancur sendi-sendi sosial masyarakat apabila perbedaan pemahaman itu berimplikasi pada sikap mencari benarnya sendiri. (Lihat Saiful Abdullah, 2009) Menyikapi maraknya perkembangan Aliran Sesat di Indonesia, MUI sebagai “lembaga tafsir agama” mengeluarkan 10 fatwa sebagai kriteria sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam. Selain itu, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, Tantowi dan beberapa orang yang lain diadili oleh pemerintah dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama. Akhir-akhir ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon pun banyak disuguhi oleh informasi tentang aliran-aliran yang dianggap menyimpang bahkan sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Millah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga Wahidiyah, dan aliran-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita. Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah gerakan massa. Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majelis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tunggalnya, MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan fatwa (keputusan hukum). Organisasi ini memang sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa. Sedangkan pemerintah daerah –mungkin termasuk didalamnya Kementerian Agama-- senantiasa menunggu laporan atau input informasi dari masyarakat yang kemudian baru melakukan suatu aksi untuk menanggulangi keresahan masyarakat tersebut. Langkah tersebut terkadang menghasilkan efek yang kurang baik, karena tidak jarang didahului oleh gesekan pada tataran masyarakat. Padahal kecepatan langkah pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan. Walaupun pada gerakannya berbeda, akan tetapi jika dilihat sekilas semua elemen melakukan langkah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah, malah ‘mengkeroyok’ untuk menuduh dan justifikasi. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi. Padahal secara normatif, beragama merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normatif ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesempatan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah. Hak-hak itulah yang selama ini tampaknya tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan” atau “membela Tuhan”. Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsur intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekspresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hukum, terutama praduga tak bersalah, juga sistem hukum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat. Padahal Indonesia sebagai Negara agamis (karena semua warganya wajib beragama) harus mengakhiri cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar kita. Pada kondisi seperti inilah prinsip praduga tak bersalah diterapkan. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hukum positif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hukum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hukum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar. Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu mengakhiri cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk menghukumi suatu aliran dengan memberikan keputusan hukum. Semua harus berdasarkan hukum yang berlaku (hukum positif). Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan ke pengadilan, penulis kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akademisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik. Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyektif dan komprehensif. Selain itu, karena obyektifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan yang bersifat menjustifikasi langsung. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologis, epistemilogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau pada akhirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas. Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat akan lebih mendalam dan komprehensif. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensif. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anarkis. Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan penulis optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki. Wallahu A’lam Bish Showwab. *) Penulis adalah Sekretaris Pokjaluh Kabupaten Cirebon
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
Jumat, 20 Januari 2012
KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*
Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk.
Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ?
Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya.
Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat.
Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.
Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
KARAKTERISTIK PROFESIONALISME RASULULLAH SAW
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA
Dewasa ini para pegawai dilingkungan birokrasi pemerintahan termasuk Kementerian Agama, sedang banyak disorot mengenai profesionalisme mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Profesionalisme menjadi sebuah tuntutan yang merupakan suatu faham dan konsep idealisme profesional. Namun, banyak kalangan ternyata masih kurang memahami makna dari profesionalisme itu sendiri. Hal ini karena terjadi multitafsir terhadap kata tersebut dan belum ada standar evaluasi darinya.
Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan. Dalam hal profesi tiy, Mc Cully (1969) (dalam Rusyan, 1990 : 4) mengatakan sebagai : Vocation an which professional knowledge of some department a learning science is used in its application to the other or in the practice of an art found it.
Dari pengertian tersebut, dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat professional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain. Faktor penting dalam hal ini adalah intelektualitas yang di dalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja yang professional, atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang melaksanakannya.
Ketika kita menyepakati definisi di atas, mungkin timbul pertanyaan, ”Jika demikian lantas siapa orangnya yang memiliki profesionalisme yang tinggi?” Jawabannya adalah Rasulullah SAW. Sebab jika kita melihat dari rangkaian sejarah, tentunya tiada lagi seorang manusia yang dapat dijadikan teladan yang mulia dalam berbagai hal termasuk profesionalisme kecuali Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW. dengan bimbingan wahyu Ilahy telah menjadikan dirinya sebagai orang yang memiliki intelektual tinggi dan profesionalisme yang sempurna yang diterapkan tidak hanya pada pekerjaan yang bersifat duniawi, tetapi juga hal-hal yang bersifat ukhrowi.
Kita dapat melihat contoh kecil profesionalisme Rasulullah SAW. dalam beribadah adalah ketika beliau melaksanakan qiyamu lail yang kemudian didapati oleh ummul mukminin Aisyah r.a. beliau melaksanakannya dengan ruku’ dan sujud yang lama sampai-sampai terlihat kakinya bengkak. Dan tatkala ditanya, “kenapa engkau melakukan hal yang demikian? Padahal engkau adalah orang yang ma’shum?” lalu dengan tersenyum beliau hanya menjawab, “Wahai Aisyah, tidak sepantasnyakah aku menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya dengan semua itu?”. Itulah contoh kecil profesionalisme beliau dalam ibadah. Banyak lagi tauladan profesionalisme yang telah beliau contohkan untuk kita umatnya dalam melaksanakan setiap pekerjaan kita.
Dari tauladan profesionalisme yang telah Rasulullah SAW. berikan kepada kita, kita dapat mempelajari karakteristik profesionalisme yang senantiasa melandasi setiap pekerjaan Rasulullah SAW. yang jika kita mampu mengaplikasikannya kita akan dapat menjadi seorang profesional yang baik. Adapun karakteristik profesionalisme yang diteladankan Rasulullah SAW. diantaranya :
1. Shiddiq, yang mengandung makna kejujuran dan melaksanakan pekerjaan dengan baik dan benar. Shiddiq ini menjadi salah satu dasar yang menjadi ‘mainboard’ untuk membangun profesionalisme. Sebab tentunya kita dapat memahami bahwa hasil dari suatu pekerjaan akan optimal dan maksimal jika dalam pelaksanaannya didasari oleh kejujuran dan benar. Dan banyak contoh yang kita dapatkan, ketika kita melaksanakan suatu pekerjaa dengan tidak baik, tidak benar dan tidak jujur, hasilnya kacau berantakan.
2. Amanah, yang bermakna penuh dedikasi dan tanggung jawab. Sikap tanggungjawab juga merupakan sifat akhlak yang sangat penting dan sangat diperlukan untuk membangun profesionalisme. Bagaimana jadinya jika suatu jabatan, jika suatu pekerjaan diberikan kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab? Tentunya tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat.
3. Tabligh, komunikatif dan transparan. Sikap ini menjadi salah satu ciri seorang profesional yang sejati. Dengan komunikasi yang baik, seorang profesional dapat meyakinkan orang lain untuk dapat kerjasama dalam melaksanakan visi dan misi dari institusi. Sementara dengan sikap transparan seorang profesional dapat melakukan akses kepada semua pihak tidak ada kecurigaan, sehingga semua audiens interaksinya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepadanya.
4. Fathonah, sikap cerdas. Dengan kecerdasannya seorang professional akan dapat melihat dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat, juga akan dapat memprediksikan permasalahan dari awal sehingga semua permasalahan dapat diatasi dengan cepat.
5. Ihtisab, penuh perhitungan. Seorang profesional yang baik, akan melaksanakan setiap pekerjaannya dengan penuh perhitungan. Artinya, ia tidak akan melakukan suatu pekerjaan dengan target asal selesai saja, tanpa memperhitungkan dan melihat hasil dari pekerjaannya tersebut telah sesuai dengan tujuan awal atau malah jauh menyimpang? Ia akan senantiasa memperhitungkan segala sesuatu dari pekerjaannya agar hasil dari pekerjaan tersebut dapat sesuai, tepat sasaran dan memberikan manfaat.
6. Mua’ahadah, memiliki komitmen yang tinggi. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. seorang profesional yang baik akan memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya ‘on target’ dengan senantiasa mempertimbangkan optimalisasi hasil dari pekerjaannya tersebut.
7. Mujahadah, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan setiap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Artinya seorang profesional tidak akan melaksanakan pekerjaan dengan asal-asalan, tetapi akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, baik dan benar serta penuh dengan rasa tanggung jawab.
8. Muraqabah, senantiasa diawasi oleh Allah SWT. sikap ini juga menjadi mainstream seorang profesional sejati dan sangat berkaitan erat dengan karakteristik-karakteristik di atas.
9. Mu’aqobah, siap menerima funishment (hukuman). Seorang profesional yang baik akan siap menerima funishment (hukuman) jika apa yang dikerjakannya tidak sesuai dengan keharusannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dari sebuah pertanggungjawaban dari suatu komitmen dan sebagai suatu i’tibar untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik.
Itulah sebagian dari karakteristik profesionalisme yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. semoga semua komponen Kementerian Agama RI, dapat mengaplikasikannya dalam setiap amanah yang telah diembankan kepadanya. Harapannya, jika semua komponen dilingkungan kementerian Agama RI dapat melaksanakannya, Insya Allah akan mengantarkan negara Republik Indonesia ini menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, sebagaimana cita-cita kita semua. Semoga. Wallahu a’lam bish shawwab.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
Senin, 12 Desember 2011
MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN ULAMA DI CARUBAN
Menurut sebuah literatur nama asli Cirebon adalah Caruban yang berarti campuran. Nama yang mencerminkan adanya proses asimilasi, sifat inklusif, dan simbol pluralisme. Caruban adalah nama pemukiman disekitar lemah wungkuk yang dihuni oleh sekian banyak etnis, bahasa dan agama seperti pedagang/saudagar dari Arab, Cina, India, Eropa dan tentu saja kaum pribumi asli Cirebon sendiri. Dari sini kita faham bahwa Cirebon telah menjadi daerah pelabuhan dan perdagangan besar sejak ratusan tahun silam.
Kebesaran Cirebon tidak hanya ditentukan oleh keberadaan pelabuhan dan pusat perdagangan. Cirebon menjadi besar dan terkenal kemancanegara tidak bisa dilepaskan dari kehadiran tokoh pemimpin yang sangat mumpuni yaiti Syekh Syarif Hidayatullah atau sunan Gunung Djati ( Wafat tahun 1568 M) . Beliaulah yang meproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan islam pertama di Jawa Barat (1479 M) dan beliau pula yang mengislamkan kerajaan Banten (1253 M) dan kerajaan Padjajaran Bogor (1569 M) .
Syekh Syarif Hidayatullah disebut sebagai pemimpin yang mumpuni karena pada pribadi beliau berkumpul tiga kekuatan utama yaitu kecakapan memimpin (Leader) , Pengajar dan penyebar agama islam ( ulama) dan kekayaan harta (saudagar)
Salah satu wasiat yang sangat monumental dari syehk Syarif Hidayatullah adalah “Igsun titip tajug lan fakir miskin” . Keabadian sebuah wasiat terkait erat dengan nilai-nilai filosopi yang terkandung didalamnya, antara lain ;
Pertama, orang yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap tajug dan kaum fakir miskin pasti datang dari kalangan penganut/pemeluk agama yang taat, memiliki komitmen keagamaan yang kuat dan mengetahui secara mendalam ajaran-ajaran agama islam (ulama).
Kedua, Orang yang mampu membaca adanya korelasi signifikan antara tajug dan fakir miskin adalah sosok cerdas yang piawai menghubungkan ketaatan beragama (keshalehan individu) dengan kesejahteraan masyarakat ( keshalehan sosial). Sedangkan yang ketiga, Pemimpin yang menitipkan tajug dan fakir miskin mengindikasikan bahwa pemimpin tersebut memiliki pandangan jauh kedepan (Visioner). Yakni tidak hanya sebatas ingin mensejahterakan rakyatnya didunia tapi merindukan pula agar masyarakat Cirebon bahagia diakhirat karena mendapat ridlo Allah SWT. Ringkasnya , Syekh Syarif Hidayatullah sangat concern menciptakan wilayah Cirebon sebagai Baldatun toyibatun warobun ghofur , negeri idaman yang digambarkan oleh Allah dalam QS, 34: 15.
Islam, agama mayoritas bangsa indonesia memiliki ajaran yang sangat komprehensif tentang kepemimpinan (leadership). Literaur-literatur islam (Qur’an, hadist dan buku-buku karangan ulama/ilmuan kaliber dunia) sangat kaya dengan kosa kata tentang kepemimpinan seperti kholifah, imam, amir, sayid, sultan dan lain-lain. Disinggung pula mengenai siapa yang berhak menjadi pemimpin, tugas-tugas seorang pemimpin dan tata cara memilih pemimpin. Islam, selain telah berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin handal sekelas Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Abu Dzar Alghifari, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid dst pun telah berhasil melahirkan ilmuan-ilmuan terkemuka bidang politik dan kepemimpinan. Mereka adalah Al-Mawardi (w.1058 M), Ibnu Hazm (w. 1064 M ), Al-Ghozali (w. 1111 M. ) dan Ibnu Khaldun (w. 1406 M) .
Ilmuan-ilmuan muslim bidang politik dan kepemimpinan melalui kitab-kitab karangan mereka yang masih beredar hingga hari ini yaitu Al-Ahkam Assulthoniyah, Ihya-Ulummuddin dan Al-Muqadimah menyepakati bahwa syarat-syarat pokok seorang pemimpin adalah Basthotan Fil-Ilmi Wal- Jismi memiliki keunggulan dalam keilmuan dan kesehatan. Keunggulan dalam bidang ilmu karena pemimpin dituntut untuk terus berfikir kreatif- inovatif, melahirkan solusi-solusi cerdas (Mujtahid), membuat perubahan dan mampu berfikir Out of the Box. Sedangkan keunggulan fisik sangat dibutruhkan karena seorang pemimpin harus bekerja siang dan malam, pada saat hujan maupun panas dan harus selalu tampil fit ditengah-tengah masyarakat. Penekanan ini lebih difokuskan pada tujuan kepemimpinan (leadership) yaitu untuk : a). membangun keadsaan sehingga masa depan selalu lebih baik dari masa lalu (QS, 10 : 13-14). b). Menciptakan keteraturan hidup,memberi rasa aman dan merembeskan optimisme ( QS, 2 :30). c) menegakkan hukum (QS, 38 : 26) dan d). menciptakan kemakmuran dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat QS, 11: 61).
Untuk membangun kembali Cirebon seperti saat dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah yaitu Cirebon yang disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik nasional dan global, tentu saja membutuhkan waktu dan upaya. Salah satunya adalah membina sikap dan kesadaran kolektif masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah (PILKADA) tahun 2008 bukan hanya merupakan urusan individu-individu tertentu yang tercerminkan dalam sikap “siapa saja boleh mencalonkan” tapi mampu memandang PILKADA sebagai urusan bersama dalam bingkai kemaslahatan umum. Sikap dan kesadaran kolektif ini pada gilirannya harus terejawantahkan dalam bentuk tekad yang kuat, terus membara dan tidak bisa dipadamkan oleh uang (Money Politic) berapaun jumlahnya. Sikap dan kesadaran kolektif harus pula bermuara pada kesamaan faham bahwa kepemimpinan bukan untuk menguasai tapi untuk melayani masyarakat seperti diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika bersabda “Sayyidul qaumi Khodimuhum” ( HR. Imam Bukhori dari Ibnu Abbas Ra).
Saat ini reformasi bidang politik sedang mengarah pada pemberian kedaulatan kepada rakyat secara murni dan konsekwen sesuai bunyi UUD 1945 yang ditandai dengan adnaya perubahan–perubahan pada proses pemilihan kepala daerah/negara yang semula berada ditangan segelintir orang (Anggota Dewan) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, serta adanya diskusi-diskusi yang sangat intens dalam rangka memberi peluang bagi kemungkinan munculnya calon-calon independent. Suasana dan iklim politik yang relatif bagus ini harus disiasati untuk meningkatkan kedewasaan sikap politik seluruh warga masyarakat Kabupaten/ Kota Cirebon sehingga mereka mampu memilih pemimpinnya secara sadar benar dan rasional yaitu bahwa Cirebon sangat membutuhkan figur pemimpin yang memiliki kualifikasi ULAMA serta komitmen pada kesejahteraan masyarakat.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
Langganan:
Postingan (Atom)