Laman

Sabtu, 18 Juni 2011

Metamorfosis

Ada seorang anak bertanya kepada ibunya, “Mama, mau jadi apa kalau Mama sudah besar?”. Sang ibu kaget mendengar pertanyaan yang cukup polos namun cukup menyentuh itu. Apalagi pertanyaan itu keluar dari seorang anak yang masih belum tahu arti sebuah cita-cita. “Mama katakan saja, lanjut anak tadi, “bahwa Mama bisa menjadi apa saja yang Mama inginkan” Katanya, karena melihat kebingungan ibunya.

Petikan dialog di atas berasal dari salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Woman’s Soul.

Unik, memang. Pertanyaan di atas ditanyakan kepada orang yang sudah dewasa: ibu. Sebab mayoritas pendapat mengatakan pertanyaan semacam itu hanya pantas ditanyakan kepada anak yang masih polos atau beranjak dewasa. Masa dewasa adalah terminal terakhir dan sudah bukan masanya untuk bercita-cita; orang dewasa hanya menekuni aktifitasnya sehari-hari, tanpa bercita-cita.

Ada kata bijak “manusia terbang dengan cita-citanya seperti burung terbang dengan sayapnya”; cita-cita adalah motifator seseorang untuk berjuang dalam hidup. Alih-alih jangan memahami cita-cita sebagai jabatan strategis atau profesi bergengsi.

Manusia bukanlah ulat yang sudah tentu akan berubah menjadi kepompong yang pada gilirannya berubah menjadi kupu-kupu, meski ia tidak pernah mencita-citakan hal itu. Sedangkan metamorfosis manusia tergantung pada manusia sendiri. Alangkah naif bila manusia berhenti bercita-cita, sedangkan hidup terlalu kaku untuk dihadapi dengan santai; tanpa semangat cita-cita.

Organisasi semacam Hizbut Tahrir, mungkin, tidak terlalu idealis bila mereka mencita-citakan Negara Islam, disamping sebuah tuntutan untuk merealisasikan sebuah doktrinitas. Karena cita-cita menurut mereka (dan sebetulnya juga menurut kita) tak ubahnya niat; maksud suci berupa upaya realitatif dari sebuah ajaran.

Adalah Theodore Herzl –the father of modern Zionism-, seorang Zionis yang begitu gigih memperjuangkan berdirinya Negara Nasional Yahudi, walaupun para rabi Yahudi saat itu membantahnya hingga mengeluarkan pernyataan “usaha yang dilakukan oleh orang-orang Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina adalah menyalahi janji-janji Messianik dan Yudaisme”. Kenyataannya, keinginan Herzl “Sang Penjagal Tuhan” itu tercapai dengan diselenggarakannya Kongres Zionis pertama di Basel Swiss dan dilaksanakannya Deklarasi Balfour yang pertama pada 11 Desember tahun 1917, sebagai buah pemikiran kontroversinya beberapa abad setelah dia meninggal dunia.

Begitupun dengan romantisme kepemimpinan. Mendambakan pemimpin yang dapat melaksanakan amanat rakyat dengan jujur dan adil adalah sebuah cita-cita.

Walaupun hidup ini tak selalu menang, berusaha adalah sebuah keniscayaan untuk tidak menarik cita-cita ke dalam kantong sampah idealisme yang selanjutnya akan beralih profesi sebagai “purnawirawan” atau “mantan” cita-cita yang terlupakan.

Beberapa kali Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum. “Media obral janji” atau (lebih halusnya) kampanye telah dilakukan. Namun, di mana keadilan berada? Kemiskinan ada di kanan-kiri kita, tindak kriminal –walau hal itu adalah hukum alam- semakin merajalela. Banyak kasus yang tidak diketahui jutrungnya. Apa ini moralitas Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim?

Yakinkah kita bahwa ketidakberesan pada multilini saat ini telah mencapai klimaksnya, sebagaimana yang telah menjadi sunnatullah bahwa setiap sesuatu akan mengalami masa klimaks dari dua sisi: kehancuran dan kemajuan? Jawabannya adalah kita sendiri, masihkah kita punya cita-cita untuk memperbaiki moralitas sosial atau kita akan patuh seperti Saturnalia yang digambarkan oleh Fredrich W. Netzsche dalam pengantarnya di The Gay Science-nya; selalu sabar dengan penindasan, manut dengan segala kediktatoran. Dengan kata lain pasrah tanpa cita-cita. Pada situasi inilah kita tak lebih dari seekor ulat.

Keterkejutan kita pada pertanyaan seorang bocah di atas adalah gladi resik dari ketidakpunyaan kita terhadap cita-cita ketika sudah dewasa dan keyakinan kita pada ‘ajaran’ yang mengatakan bahwa cita-cita hanya dimiliki oleh anak polos. Akankah keyakinan itu akan kita pelihara sehingga beranak-pinak. Kalau memang tidak, mengapa kita –yang telah dewasa- akan berhenti untuk bercita-cita? (Fafa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar