Laman

Minggu, 25 April 2010

Hidup Manusia = Sebuah Perjalanan

Allah SWT menciptakan manusia untuk dapat hidup di muka bumi. Berbeda dengan makhluk yang lain, manusia di beri dua potensi dalam dirinya, sehingga ia dapat memilih dan menentukan jalan hidupnya. Potensi tersebut adalah akal (nafsu) dan hati (rasa dan keimanan). Beda dengan Malaikat yang hanya diberi potensi iman dan syetan yang hanya mempuyai potensi nafsu. Sehingga mereka tidak diberikan pilihan halan kehidupannya.
Kehidupan manusia di dunia merupakan proses perjalanan menuju Allah. Seluruh manusia mesti melakukan perjalanan ini. Perjalanan itu diringi oleh waktu, semenjak manusia dilahirkan sebagai bayi, kemudian beranjak menjadi balita, kemudian menjadi anak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya meninggalkan dunia ini. Ketika meninggal dunia, manusia sebenarnya kembali kepada Allah, itulah perjalanan yang mesti dilalui manusia. Oleh karena itu segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia merupakan sarana untuk menyampaikannya kepada Allah SWT.
Setiap orang dalam melakukan perjalanannya sangat berbeda-beda, baik cara, persiapan, waktu atau yang lainnya, sehingga akhirnya, bisa jadi seorang selamat sampai kepada Allah itu, atau sebaliknya bisa juga malah celaka, tergantung kepada persiapan, cara .
Sebagai ilustrasi, ketika kita akan pergi ke suatu tempat yang jauh, untuk bertemu dengan seseorang yang sangat kita hormati atau agungkan, tentunya ada sarana-sarana yang harus terpenuhi agar kita bisa sampai ke tempat itu di antaranya, baju, celana, sendal/sepatu, kendaraan, dana, dll. Yang kesemua sarana itu menjadi suatu kebutuhan agar kita bisa sampai ke tujuan tersebut, karena tidak mungkin kita bisa sampai ke tujuan kita tanpa terpenuhinya sarana-sarana tersebut. Dengan kata lain kita tak mungkin dapat sampai ke tempat itu jika tidak mempergunakan sarana-sarana tersebut. Jelas kita tidak mungkin sampai ke tempat tanpa mengenakan busana/baju misalnya, begitupun kita tak akan pernah sampai ke tempat yang dituju tanpa menggunakan kendaraan, atau yang lainnya.
Di samping persiapan “sarana” yang harus terpenuhi itu, juga ada sesuatu yang harus diperhatikan ketika kita sedang melakukan perjalanan, agar setelah kita melakukan perjalanan itu kita dapat sampai kepada tujuan dengan selamat. Semenjak berada di tempat asal, kita mempunyai keinginan dan harapan agar kita dapat sampai kepada tempat yang akan kita tuju itu dalam keadaan selamat dan mungkin bahagia. Tentunya, agar dapat sampai dengan selamat kita tidak bisa begitu saja melakukan suatu perjalanan, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, di antaranya dalam perjalanan tentunya kita diharuskan mengikuti peraturan yang ada di jalan. Ketika kita jadi supir misalkan, tentu kita diharuskan konsentrasi melihat keadaan jalan, baik depan, samping maupun belakang, sehingga kita dapat membawa kendaraan kita dengan baik. Kita pun dapat mengendalikannya ke arah yang benar sehingga kita tidak belok ke kiri padahal seharusnya ke kanan, atau sebaliknya. Begitupun ketika kita jadi penumpang, kita dituntut agar senantiasa waspada dan siap, tidak terlalu terlena oleh keindahan alam di jalan yang kita lalui, sehingga suatu saat ketika supir lengah, kita dapat memberitahunya. Kita juga dituntut untuk senantiasa memperhatikan rambu-rambu, agar tidak terjadi “chaos” dan kecelakaan. Sehingga kita dapat sampai pada tujuan itu dengan selamat dan bahagia. Kita juga harus dapat menentukan jalan, jalan mana yang kira-kira bagus tidak rusak, lancar tidak macet dan sedapat meungkin mencari jalan yang lebih banyak lurusnya di banding yang berkelok-kelok.
Mungkin banyak juga orang yang dapat sampai tanpa mengindahkan berbagai macam rambu, peraturan dan pemenuhan sarana. Akan tetapi, sampainya tentu tidak dengan membawa suatu kebahagiaan, karena di dalam perjalanannya menghadapi berbagai ‘kengerian-kengerian’ yang banyak, atau bahkan berbagai kecelakaan.
Di sini tentunya kita dapat membedakan antara orang yang “asal sampai” dengan orang yang “benar-benar sampai”. Kita tarik ke tataran yang lebih kongkrit, tentunya kita dapat merasakan ketika kita pergi ke suatu tempat dan diperjalanannya aman serta lancar karena senantiasa memperhatikan rambu-rambu, peraturan dan semua sarananya terpenuhi, kita akan sampai dengan suatu perasaan yang enak, segar, tentram dan mungkin tidak capek. Tentunya akan berbeda jika dalam perjalannya kita menghadapi berbagai rintangan, tidak lancar, mogok, macet dan lain sebagainya. Apalagi jika tujuan kita untuk bertemu dengan seseorang yang sangat kita hormati atau agungkan, tentunya kita akan lebih siap jika kondisi kita segar, hati tenang, tentram dan tidak kotor. Dan pastinya “tuan rumah” pun akan jauh lebih menghargai dalam penerimaan kita jika kondisinya seperti itu. Berbeda jika kondisi kita sebaliknya, mungkin bukanlah penghormatan yang kita dapatkan dalam penerimaannya, akan tetapi ke tak acuhan atau bahkan bisa jadi tidak diterima sama sekali.
Pun begitu dalam kehidupan kita sehari-hari “segala sesuatu” yang kita lakukan merupakan sarana agar kita dapat sampai kepada tujuan kita yaitu Allah SWT (yang dimaksud sarana adalah segala sesuatu yang kita lakukan tidak hanya berupa ibadah mahdhoh bisa juga sesuatu yang lain, misalkan makan, tidur, belajar,dls). Dan sarana tersebut menjadi suatu kebutuhan yang tidak mungkin kita dapat sampai kepada tujuan kita tanpa sarana tersebut, sehingga kita akan mempunyai sebuah kesadaran segala yang kita lakukan adalah sebuah kebutuhan dan bukan sebuah beban.
Jika kita ambil ilustrasi di atas, sebagai pendekatan dalam tataran kongkrit perjalanan kita menuju Allah, belajar kita ibaratkan sebagai baju, Sholat kita ibaratkan sebagai kendaraan, begitu juga makan, puasa, zakat, tidur dan segala aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, kita ibaratkan sebagai sarana-sarana yang menunjang kita untuk melakukan suatu perjalanan. Tentunya belajar akan menjadi sebuah kebutuhan kita bukan menjadi sebuah beban, karena belajar merupakan sarana untuk menyampaikan kita kepada tujuan kita yaitu Allah SWT. Tapi benarkah belajar dapat menjadi sarana menuju Tuhan ? tentu saja dapat dibuktikan secara empiris dan logis. Dengan belajar misalnya, kita menjadi punya pengetahuan dan keahlian. Karena kita mempunyai pengetahuan dan keahlian, kita dapat bekerja. Hasil dari bekerja kita mendapatkan materi (uang). Dengan materi kita dapat “mengadakan” (baca : membeli) sesuatu yang dapat menunjang ibadah kita kepada Allah. Jadi jelas belajar dapat menjadi sarana kita menuju Allah. Begitupun makan, minum, tidur, shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya, merupakan sarana perjalanan untuk menyampaikan kita kepada Allah SWT, dengan selamat.
Dari kalimat terakhir ada tambahan kalimat “dengan selamat”. Tentunya hal ini untuk membedakan cara sampai kita kepada Allah. Sebagaimana kita fahami di atas, seluruh manusia (baik mukmin maupun kafir) melakukan perjalanan menuju Allah. Akan tetapi “cara” sampainya kepada Allah berbeda. Orang muslim, akan sampai kepada Allah dengan selamat, “segar”, tentram, damai dan bahagia, karena orang muslim senantiasa memperhatikan sarana, cara, dan segala peraturan di dalam perjalanannya. Sedangkan orang kafir, akan sampai kepada Allah tidak dengan selamat, tidak segar, kuyu, dan tidak bahagia karena tidak pernah memperhatikan sarana, cara dan berbagai peraturan di dalam perjalannya. Tentunya, jika kita ambil ilustrasi di atas, jika seorang muslim sampai ke “hadapan” Allah dengan segar, bersih, tentram, tenang tentunya Allah “sebagai tuan rumah” akan menerimanya dengan penuh penghormatan, dan penghargaan, juga mempersilakan masuk keruangan yang bersih, indah, tentram yaitu surga-Nya. Dan akan berbeda dengan orang kafir yang datang ke hadapan Allah dengan lusuh, capek, kotor, baju compang-camping karena mendapatkan kecelakaan di jalan, sebab tidak mengindahkan berbagai peraturan, tentunya Allah “sebagai tuan rumah” tidak akan menghargainya dan menghormatinya, atau bahkan Allah akan menolaknya dan mengusirnya ke neraka.

Terakhir
Dari ilustrasi di atas, kita dapat mengambil sebuah makna bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan perjalanan panjang untuk bertemu dengan “seseorang yang kita agungkan dan kita hormati” yaitu Allah. Karenanya, kita membutuhkan berbagai sarana, cara dan peraturan dalam perjalanan itu, agar kita dapat sampai ke tujuan dengan selamat dan diterima oleh “tuan rumah”. Semua sarana, cara dan peraturan itu merupakan kebutuhan yang mesti terpenuhi. Karena sholat, zakat, belajar dan segala aktivitas merupakan sarana, maka semuanya menjadi suatu kebutuhan bagi kita. Tentunya jika semua menjadi kebutuhan, kita tidak akan pernah lagi merasa terbebani untuk melaksanakannya, juga kita tidak akan pernah meninggalkannya, karena kita membutuhkannya.
Jika kita sudah mempunyai kesadaran bahwa semuanya merupakan sarana (kebutuhan) kita akan dapat hidup dengan bebas tanpa terbebani. Dan segala apa yang kita lakukan tentunya akan dimaknai sebagai ibadah, karena semuanya merupakan sarana yang akan menyampaikan kita kepada Allah dengan selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar