Laman

Selasa, 07 November 2023

Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram

 

Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram

Seorang bersedekah dengan harta hasil riba, korupsi, curian, judi, menipu, dan dengan cara haram lainya. Pada esensinya ia tidak bisa disebut dengan sedekah, karena itu perbuatan yang batil. Allah tidak menerima suatu amalan dari yang haram. Ia sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik).” (HR. Muslim No. 1015).

Hadis lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim No. 1014).

Dari hadis ini menjelaskan, Allah akan memberi ganjaran pahala kepada anak Adam yang menginfakkan harta thayyib (yang baik) di jalan Allah. Walaupun ia bersedekah dengan nilai yang kecil, sebutir kurma, seteguk air minum, yang terpenting ia berasal dari hasil jerih payahnya sendiri. Maka tidaklah Allah melihat sedekahnya, kecuali Allah melipatgandakan pahala kepadanya.

Salah Kaprah Muslim tentang Sedekah

Banyak dari kalangan umat muslim menganggap bahwa bersedekah dapat mensucikan harta haram. Sejatinya tidak, hal ini merupakan salah kaprah, sebab harta haram tetaplah haram, sebagaimana kaidah fikih “Segala sesuatu yang diawali dengan perbuatan haram, maka itu juga haram”.

Walaupun disedekahkan, ia tidak dapat mengubah esensi nilai dari harta tersebut. Justru hal ini bukan malah membaik, tapi membuat harta itu semakin kotor di hadapan Allah. Dan Allah tidak mungkin menerima pemberiannya sebagai sedekah, sebagaimana Rasulullah bersabda “Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim No. 224).  

Bersedekah dengan harta haram ulama mengibaratkan seseorang menaruh satu tetes kapur ke dalam sebotol air minum. Menurut hukum akal, kapur sedikit itu tidak akan tercemar. Akan tetapi kalau dilihat secara makna gaibnya, kapur itu ibarat najis walaupun satu tetes, pasti air tersebut tercemari oleh najis dan tidak mungkin digunakan.

Kedua, sedekah dengan harta haram ibaratnya seorang mencuci pakaiannya dengan air kencing. Bukannya bersih, justru semakin kotor. Maka segala sesuatu yang haram jika tercampur dengan yang halal, maka yang haram pasti menang.

Pendapat Para Ulama

Terkait hukum harta haram, beberapa ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harta haram tidak boleh disedekahkan dan ada juga yang mengatakan harta haram tidak boleh disimpan, harus diberikan kepada yang membutuhkan.

Dalam sumber harta haram, para ulama membaginya dalam hukum menjadi dua. Pertama, harta haram yang didapatkan dengan cara menzolimi seperti menipu, korupsi, mencuri, merampok, dan lainnya. Kedua, harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho antar kedua pihak, seperti riba, jual beli barang haram, judi, dan sebagainya.

Dari kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa jika harta didapat dari mencuri, menipu, dan korupsi, maka harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Ia tidak boleh digunakan secara pribadi. Jika pemilik asalnya tidak ditemukan atau sudah meninggal maka harus dikembalikan kepada ahli warisnya.

Akan tetapi, di sini ulama berbeda pendapat. Seadainya ahli warisnya tidak ada dan pemilik asalnya sudah meninggal, maka pelaku dianjurkan untuk bertaubat dan berbuat baik sebanyak-banyaknya agar pahalanya dapat menutupi dosa-dosanya ketika diadili oleh Allah kelak di akhirat.

Pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama. Bagi yang membawa harta hasil curian, menipu, dan korupsi, pelaku boleh menyedekahkannya dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik harta tersebut. Allah SWT Maha Mengetahui ke mana pahala itu akan disalurkan. Seandainya pemilik sahnya diketahui, hendaknya pelaku pilihan padanya: antara merelakan uangnya yang telah disedekahkan, atau pelaku harus menggantinya.

Adapun harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho seperti riba dan judi, ada dua pendapat hukum. Pertama, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta tersebut tidak boleh disedekahkan, karena harta kotor lebih baik disimpan. Kedua, Dr. Muhammad Ali Fardus berpendapat, harta riba sebaiknya disedekahkan atas nama shohibulhaqi majhul, atau pemilik harta yang tidak diketahui.

Ketiga, harta haram tidak boleh disimpan. Ia sebaiknya diberikan kepada fakir miskin, kaum dhuafa, pembangunan fasilitas umum, kegiatan sosial keagamaan, pembangunan masjid, dan orang-orang yang membutuhkannya. Tapi ia tidak boleh diniatkan untuk sedekah, karena harta kotor tidak boleh disedekahkan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik.” (Syarah al-Muhadzdzab, IX/351).

Senin, 27 Februari 2023

ISLAM AGAMA YANG PRAKTIS, FLEKSIBEL DAN MENYENANGKAN

 H. SAEFUL MALIK, S.Ag, M.Pd.I

Suatu hari, saya ditanya tentang konsep agama Islam yang praktis dan mudah. Penanya punya anggapan, bahwa agama Islam merupakan agama yang kaku, yang tidak toleran dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Ia juga beranggapan bahwa Islam agama yang berat, penuh dengan peraturan dan hukuman. Mendapat pertanyaan itu saya berfikir, benarkah Islam demikian ? rasa-rasanya tidak. Islam bukanlah agama yang kaku, ia sangat fleksibel. Islam juga sangat toleran dan menghargai hak asasi manusia karena Islam agama moral, karenanya hukum di dalam Islam pun sangat menghargai hak asasi manusia. Islam pun agama yang sangat aktual dan sama sekali tidak ortodoks. Tapi benarkah demikian ? atau hanya argumen apologia yang diutarakan untuk menutupi kelemahan Islam ? ah, rasanya tidak demikian, karena banyak argumen filosofis, empiris dan rasional yang dapat dikemukakan.

Namun sebelum mengemukakan argumen-argumen tersebut, kita samakan dulu asumsi dasar dan persepsi tentang manusia menurut Islam, diantaranya :

1. Manusia menurut pandangan Islam merupakan makhluk yang paling sempurna. Ia diberi kelebihan berupa akal fikiran, sehingga manusia diberi potensi untuk berkreasi.

2. Dalam Islam, manusia sangat dihormati, asasi manusia sangat diagungkan dan dijunjung tinggi. Sehingga Islam sangat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, binatang misalnya.

3. Islam menyebutkan bahwa manusia dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan suci (fitrah), tidak terkotori oleh berbagai kotoran, baik dzahir maupun batin.

4. Kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan menuju Tuhannya. Oleh karena itu, jika manusia ingin selamat 92 Percikan Hikmah (Referensi Dakwah para Da’i) sampai kepada Tuhannya, maka manusia membutuhkan berbagai aturan. Aturan itu adalah agama dalam hal ini agama Islam.

5. Karena Islam mengakui semua itu, aturan-aturan dalam Islam tentunya merupakan aturan yang sesuai dengan kebutuhan manusia dan tidak menyimpang dari semua asumsi dasar itu.

Semua asumsi dasar di atas, mungkin hanya sebagian dari sekian banyak asumsi-asumsi yang lain yang harus kita pegang dalam memahami Islam. Walaupun hanya sebagian, mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai pijakan untuk menjawab berbagai permasalahan yang selalu timbul dalam kehidupan kita.

Kembali kepada cerita di atas, setelah berfikir saya bertanya kepada penanya tadi, “mengapa anda mempunyai persepsi demikian tentang Islam ?” . kemudian ia menjawab, “Iya, Islam sangat kejam, hukumnya terlalu keras. Buktinya di Islam ada hukum jilid (pukul) dan rajam (lempar batu sampai meninggal) bagi orang-orang yang berzina, ada pula hukum Qisas.” Lalu saya jawab, “Anda jangan melihat, hanya dari kerasnya batu untuk melempar orang atau membayangkan nyerinya ketika kena pukulan. Hukuman itu ada dalam Islam justru karena Islam sangat menghargai asasi manusia dan kemanusiaan.

Sebagaimana kita maklumi, bahwa di dalam Islam kedudukan manusia sangat terhormat dan berharga, manusia sangat agung. Sehingga dalam Islam sangat dibedakan hak-hak dan peraturan bagi asasi manusia di banding binatang. Kita dapat melihat dalam kasus orang yang berzina. Orang yang melakukan zina adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang biasanya dilakukan oleh binatang, melakukan suatu perbuatan yang tidak lumrah dan tidak mesti dilakukan oleh seorang manusia, walaupun hal itu dilakukan suka sama suka. Orang yang berzina berarti telah melanggar hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan. Karena ia sudah melakukan perbuatan yang di luar asasi (dasar) manusia dan kemanusiaan, berarti ia sudah menghilangkan “unsur-unsur kemanusiaan” pada dirinya, berarti ia sudah seperti binatang.

Dirinya sendiri yang menghilangkan unsur-unsur kemanusiaan pada dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ia sudah tidak menghargai dan mengagungkan dirinya sendiri sebagai manusia. Karena ia sendiri sudah tidak menghargai dirinya, tentunya Islam juga tidak menghargai dirinya sebagai manusia, maka layaklah ia mendapat hukuman karena ia telah menghilangkan “kemanusiaannya” yang merupakan anugerah dari Allah yang tak ternilai harganya. Tapi, Islam sangatlah adil. Ia membedakan hukuman antara pezina yang menikah dengan yang tidak menikah.

Pezina yang tidak menikah hanya dihukum 100 deraan (pukulan/cambuk) dan tidak sampai meninggal. Ia masih diberi kesempatan bertobat dan menikah, karena mungkin ia hanya meninggalkan sebagian dari unsur-unsur kemanusiaanya dan juga mempertimbangkan faktor-faktor yang lain, seperti faktor sosial, faktor psikologis dan lain sebagainya. Ia belum merasakan suatu kenikmatan, sehingga ia mempunyai suatu naluri biologisnya (yang diperoleh dari berbagai faktor baik internal jiwanya maupun eksternal) untuk mendapatkan kenikmatan itu. Berbeda dengan pezina yang menikah, jelas ia mempunyai hak untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya.

Akan tetapi, ia masih mencari yang lain, jelas ini menunjukkan bahwa ia sudah benar-benar melepaskan unsur-unsur kemanusiaannya yang merupakan anugerah terbesar dari Tuhan dan menampakkan unsur-unsur kebinatangan. Berarti ia sudah bukan manusia. Wajarlah jika hukumannya lebih berat.” Ia juga menyebutkan bahwa Islam agama yang kaku, tidak trendy, buktinya di dalam Islam dilarang untuk pacaran. Lalu saya menjawab, kata siapa Islam melarang pacaran ? Islam tidak pernah melarang pacaran, sama halnya Islam juga tidak pernah menyuruh untuk pacaran, karena di dalam Islam tidak ada konsep pacaran. Yang dilarang oleh Islam adalah melakukan perbuatan yang mendekati zina, karena dikhawatirkan akan melakukan perbuatan zina dan berarti menghilangkan sisi kemanusiaan yang agung.

Lalu saya mempertanyakan tentang esensi dan urgensi dari pacaran itu. Jika esensi dan urgensi pacaran itu adalah untuk ta’aruf (pengenalan) terhadap lawan jenis yang akan kita nikahi, tentu saja Islam sangat mendukung hal itu. Islam sangat mendukung, ketika kita hendak menikah tentunya jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung, dan tentunya kita harus mengenal terlebih dahulu. Jadi sangat jelas, jika esensi pacaran itu adalah sebagai proses ta’aruf tentunya Islam sangat mendukung hal tersebut. Akan tetapi, tentunya ada beberapa aturan dalam pacaran itu agar nanti proses pacaran yang mempunyai nilai tinggi itu rusak karena salah dalam melakukannya. Ada aturanaturan yang harus dipenuhi agar pacaran itu tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina. Misalnya, kita mengobrol dengan lawan jenis dengan adanya mahram. Begitu juga ketika bepergian kita selalu mengikutsertakan mahram.

Islam tidak melarang mengobrolnya atau perginya, akan tetapi Islam mengatur agar bertemu (ngobrolnya) atau perginya tidak hanya berdua, sebab jika hanya berdua ada sebuah kekhawatiran hilang kontrol dan seterusnya melakukan sesuatu yang mengarah kepada zina. Kita juga dapat berfikir bahwa jika esensi dan urgensi dari pacaran itu adalah untuk ta’aruf, tentu saja kita tidak diharuskan melakukan hal-hal di luar esensi tersebut, atau hal-hal yang berlebihan. Tentu saja kita tidak diharuskan untuk menonton di bisokop berduaan misalkan, karena kita dapat mengenal “dia” juga dengan tanpa menonton ke bioskop berduaan. Atau kita juga tidak diharuskan untuk tidur berduaan (dengan alasan apapun), karena kita menikah itu tidak sama dengan membeli buah jeruk yang minta dulu untuk dirasakan, jika manis kita jadi membeli, dan jika masam kita tidak jadi. Berarti bolehkah kita berpacaran ? Akhirnya Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa Islam sangat praktis, dan fleksibel juga trendy, tidak kaku. Islam sangat menghargai kebebasan manusia. Islam sangat menghormati hak asasi manusia. Hanya saja Islam senantiasa mengingatkan kita agar senantiasa ingat akan “jati diri” kita selaku manusia, kita yang diberi anugerah oleh Allah unsur-unsur kemanusiaan yang sangat agung dan mulia. Agar jangan sampai kita melakukan perbuatan yang menghilangkan kemanusiaan kita sehingga menjadikan kita tiada bedanya dengan binatang. Jika kita hidup sesuai dengan seluruh peraturan Islam, tentunya kita akan merasakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat praktis, fleksibel dan menyenangkan. Wa Allahu A’lam

LIMA TYPE PEGAWAI

 H. SAEFUL MALIK, S.Ag, M.Pd.I

Suatu hari, sebagai seorang penyuluh Agama Islam penulis diundang untuk memberikan taushiyah pada acara pengajian rutin “Rabuan” di salah satu instansi pemerintah Propinsi. Tadinya penulis siapkan konsep ceramah dengan tema tentang peristiwa aktual yang sedang terjadi saat itu. Namun ketika menunggu, penulis didatangi oleh panitia pengajian dan meminta agar penulis menyampaikan tema-tema yang berhubungan dengan pegawai dan pekerjaan, “Setidaknya memberikan motivasi lah,” katanya. Seketika penulis memutar otak, apa kiranya yang dapat disampaikan, karena sudah tidak ada waktu lagi untuk membuat konsep. Tiba-tiba penulis teringat tulisan Emha Ainun Najib dalam sebuah bukunya mengenai pembagian manusia yang dianalogikan hukum Islam, yang juga pernah di adopsi oleh A Agym dalam sebuah tulisannya. Kayaknya kalau dikiaskan ke pegawai atau pejabat, penulis fikir mungkin juga ada relevansinya.

Emha Ainun Najib membagi manusia kedalam lima bagian, di analogikan pada hukum fiqh. Manusia itu ada yang wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Penulis coba kiaskan kepada pegawai atau pejabat dalam suatu instansi atau perusahaan. Hampir di tiap tempat ke lima tipe ini selalu ada. Apa yang dimaksud dengan tipikal pegawai atau pejabat tersebut ? Biasanya kita memahami pengertian wajib dalam hukum Islam adalah sesuatu pekerjaan ibadah yang jika dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.

Pengkiasan kepada pejabat atau pegawai yang wajib adalah pejabat atau pegawai yang kehadirannya dirasa harus ada oleh instansi atau perusahaanya dan ketiadaannya sangat dirindukan dan disayangkan. Pejabat atau pegawai yang wajib ini biasanya memiliki akhlak yang mulia, pribadinya sangat mengesankan sehingga sangat disukai baik oleh atasan, bawahan ataupun teman kerjanya. Perangainya baik, wajah dan pakaiannya senantiasa bersih, memancarkan cahaya keilkhlasan dalam hati. Ucapannya sejuk didengar, tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Perintahnya tidak terasa sebagai perintah, akan tetapi difahami oleh bawahan atau teman kerja sebagai ajakan untuk mengerjakan sesuatu dengan baik. Perilakunya sangat sopan dan senantiasa santun baik kepada yang lebih tua maupun yang lebih muda, ringan tangan dalam membantu pekerjaan untuk hasil yang lebih baik. Disamping memiliki talenta dan tanggung jawab terhadap pekerjaan yang sangat baik pula. Tentu saja keberadaannya sangat dinanti-nantikan, dan orang akan sangat merasa kehilangan jika ia tidak ada. Kesan yang diberikan oleh pagawai atau pejabat yang wajib ini membuat ketidakhadirannya sangat dirindukan oleh komunitas tempatnya bekerja. Keberadaannya benar-benar memberikan “pahala” bagi perusahaan atau instansi tempatnya bekerja dan ketiadaannya akan memberikan “kerugian” bagi tempatnya bekerja.

Yang kedua Pejabat atau pegawai yang sunnah. Dalam fiqih sunnah itu adalah perbuatan ibadah yang jika dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Pegawai atau pejabat yang sunnah pun demikian, ia akan memberikan “pahala” bagi perusahaan atau instansi tempatnya bekerja. Nyaris sama dengan tipe yang wajib, hanya saja ada beberapa kekurangan yang tidak dimiliki oleh tipe sunnah ini yang menyebabkan tidak adanya kesan yang mendalam pada hati rekan kerjanya, sehingga ketika pejabat atau pegawai sunnah ini tidak hadir, maka ketiadaannya tidak menyebabkan perusahaan dan rekan kerjanya tidak merasa kehilangan dan tidak merindukannya.

Ketiga, pejabat atau pegawai yang mubah. Mubah berarti boleh dikerjakan boleh pula ditinggalkan. Jika kita kiaskan, pejabat atau pegawai yang mubah adalah pejabat atau pegawai yang kehadiran atau ketiadaannya tidak mempengaruhi apapun, baik bagi tempatnya bekerja ataupun rekan kerjanya. Sayang sekali jika ditempat kita bekerja banyak sekali orang yang mubah ini, karena kalau kita meminjam istilah pepatah arab, “Wujuduhu ka adamihi”. Keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Mubadzir sekali pegawai yang seperti ini.

Tipe keempat, adalah pegawai atau pejabat yang makruh. Makruh merupakan lawan dari sunnat, pekerjaan yang jika ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa. Penganalogian pada pegawai dan pejabat adalah jika ada pegawai atau pejabat yang keberadannya menimbulkan masalah tiadanya tidak menjadi masalah. Biasanya bila ia ada di kantor akan mengganggu kinerja dan suasana walaupun tidak sampai menimbulkan kerugian besar, setidaknya membuat suasana tidak nyaman dan kenyamanan kerja serta kinerja yang baik dapat terwujud bila ia tidak ada. Banyak bicara yang sia-sia, tugas kantor jarang selesai tepat waktu dan terkadang mengganggu atau menghambat pekerjaan teman kerjanya.

Lebih ekstrim pejabat atau pegawai tipe ke lima, yaitu pejabat atau pegawai yang haram. Dimana dalam fiqh haram itu merupakan lawan dari wajib, yaitu jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Artinya jika ada pejabat atau pegawai haram, keberadaannya sangat tidak disukai oleh teman kerjanya dan mereka berharap agar ia tidak pernah ada di tempat kerjanya. Kehadirannya sangat merugikan dan ketiadaannya sangat diharapkan karena menguntungkan. Orang tipe ini adalah manusia termalang dan terhina karena sangat dirindukan "ketiadaannya". Tentu saja semua ini adalah karena buah perilakunya sendiri, tiada perbuatan yang tidak kembali kepada dirinya sendiri. Akhlaknya sangat buruk bagai penyakit kronis yang bisa menjalar. Sering memfinah, mengadu domba, suka membual, tidak amanah, serakah, tamak, sangat tidak disiplin, pekerjaannya tidak pernah jelas ujungnya, bukan menyelesaikan pekerjaan malah sebaliknya menjadi pembuat masalah. Pendek kata di adalah "trouble maker".

Selesai memaparkan tipe-tipe pegawai dan pejabat di atas, penulis mengajak audiens untuk merenung, kira-kira keberadaan kita di instansi ini termasuk tipe yang mana ? karena setiap tipe-tipe tersebut mempunyai konsekwensi sesuai dengan posisinya. Harapan penulis semua dari kita bisa menjadi pejabat atau pegawai yang wajib, yang keberadaan kita sangat diharapkan dan senantiasa memberikan “keuntungan” baik buat tempat maupun teman kerja kita dan ketidakhadiran kita akan dirasa sangat kehilangan dan sangat dirindukan. Semoga kita dapat demikian. Wallahu a’lam.

Selasa, 29 Oktober 2019

MANAJEMEN RUMAH TANGGA - ppt download

MANAJEMEN RUMAH TANGGA - ppt download: MUTIARA PENDAHULUAN Hikmah Renungan: -Sudah semestinya, setiap dari PASUTRI setelah aqad nikah bahwa mereka sekarang sudah menjadi pasangan yang saling memenuhi hak serta kewajiban dan senantiasa mengembalikan masalah apapun pada syariat Allah SWT, karena Allah SWT jauh lebih tahu kebutuhan serta solusi agar dapat hidup bahagia baik di dunia dan akhirat. -Setiap dari PASUTRI, hendaklah menjadikan masing-masing pasangan sebagai kunci pintu untuk masuk ke syurga sehingga senantiasa tidak pernah bosan dalam menjalankan kewajiban masing-masing.