Laman

Senin, 12 Desember 2011

MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN ULAMA DI CARUBAN

Menurut sebuah literatur nama asli Cirebon adalah Caruban yang berarti campuran. Nama yang mencerminkan adanya proses asimilasi, sifat inklusif, dan simbol pluralisme. Caruban adalah nama pemukiman disekitar lemah wungkuk yang dihuni oleh sekian banyak etnis, bahasa dan agama seperti pedagang/saudagar dari Arab, Cina, India, Eropa dan tentu saja kaum pribumi asli Cirebon sendiri. Dari sini kita faham bahwa Cirebon telah menjadi daerah pelabuhan dan perdagangan besar sejak ratusan tahun silam. Kebesaran Cirebon tidak hanya ditentukan oleh keberadaan pelabuhan dan pusat perdagangan. Cirebon menjadi besar dan terkenal kemancanegara tidak bisa dilepaskan dari kehadiran tokoh pemimpin yang sangat mumpuni yaiti Syekh Syarif Hidayatullah atau sunan Gunung Djati ( Wafat tahun 1568 M) . Beliaulah yang meproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan islam pertama di Jawa Barat (1479 M) dan beliau pula yang mengislamkan kerajaan Banten (1253 M) dan kerajaan Padjajaran Bogor (1569 M) . Syekh Syarif Hidayatullah disebut sebagai pemimpin yang mumpuni karena pada pribadi beliau berkumpul tiga kekuatan utama yaitu kecakapan memimpin (Leader) , Pengajar dan penyebar agama islam ( ulama) dan kekayaan harta (saudagar) Salah satu wasiat yang sangat monumental dari syehk Syarif Hidayatullah adalah “Igsun titip tajug lan fakir miskin” . Keabadian sebuah wasiat terkait erat dengan nilai-nilai filosopi yang terkandung didalamnya, antara lain ; Pertama, orang yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap tajug dan kaum fakir miskin pasti datang dari kalangan penganut/pemeluk agama yang taat, memiliki komitmen keagamaan yang kuat dan mengetahui secara mendalam ajaran-ajaran agama islam (ulama). Kedua, Orang yang mampu membaca adanya korelasi signifikan antara tajug dan fakir miskin adalah sosok cerdas yang piawai menghubungkan ketaatan beragama (keshalehan individu) dengan kesejahteraan masyarakat ( keshalehan sosial). Sedangkan yang ketiga, Pemimpin yang menitipkan tajug dan fakir miskin mengindikasikan bahwa pemimpin tersebut memiliki pandangan jauh kedepan (Visioner). Yakni tidak hanya sebatas ingin mensejahterakan rakyatnya didunia tapi merindukan pula agar masyarakat Cirebon bahagia diakhirat karena mendapat ridlo Allah SWT. Ringkasnya , Syekh Syarif Hidayatullah sangat concern menciptakan wilayah Cirebon sebagai Baldatun toyibatun warobun ghofur , negeri idaman yang digambarkan oleh Allah dalam QS, 34: 15. Islam, agama mayoritas bangsa indonesia memiliki ajaran yang sangat komprehensif tentang kepemimpinan (leadership). Literaur-literatur islam (Qur’an, hadist dan buku-buku karangan ulama/ilmuan kaliber dunia) sangat kaya dengan kosa kata tentang kepemimpinan seperti kholifah, imam, amir, sayid, sultan dan lain-lain. Disinggung pula mengenai siapa yang berhak menjadi pemimpin, tugas-tugas seorang pemimpin dan tata cara memilih pemimpin. Islam, selain telah berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin handal sekelas Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Abu Dzar Alghifari, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid dst pun telah berhasil melahirkan ilmuan-ilmuan terkemuka bidang politik dan kepemimpinan. Mereka adalah Al-Mawardi (w.1058 M), Ibnu Hazm (w. 1064 M ), Al-Ghozali (w. 1111 M. ) dan Ibnu Khaldun (w. 1406 M) . Ilmuan-ilmuan muslim bidang politik dan kepemimpinan melalui kitab-kitab karangan mereka yang masih beredar hingga hari ini yaitu Al-Ahkam Assulthoniyah, Ihya-Ulummuddin dan Al-Muqadimah menyepakati bahwa syarat-syarat pokok seorang pemimpin adalah Basthotan Fil-Ilmi Wal- Jismi memiliki keunggulan dalam keilmuan dan kesehatan. Keunggulan dalam bidang ilmu karena pemimpin dituntut untuk terus berfikir kreatif- inovatif, melahirkan solusi-solusi cerdas (Mujtahid), membuat perubahan dan mampu berfikir Out of the Box. Sedangkan keunggulan fisik sangat dibutruhkan karena seorang pemimpin harus bekerja siang dan malam, pada saat hujan maupun panas dan harus selalu tampil fit ditengah-tengah masyarakat. Penekanan ini lebih difokuskan pada tujuan kepemimpinan (leadership) yaitu untuk : a). membangun keadsaan sehingga masa depan selalu lebih baik dari masa lalu (QS, 10 : 13-14). b). Menciptakan keteraturan hidup,memberi rasa aman dan merembeskan optimisme ( QS, 2 :30). c) menegakkan hukum (QS, 38 : 26) dan d). menciptakan kemakmuran dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat QS, 11: 61). Untuk membangun kembali Cirebon seperti saat dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah yaitu Cirebon yang disegani dan diperhitungkan dalam percaturan politik nasional dan global, tentu saja membutuhkan waktu dan upaya. Salah satunya adalah membina sikap dan kesadaran kolektif masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah (PILKADA) tahun 2008 bukan hanya merupakan urusan individu-individu tertentu yang tercerminkan dalam sikap “siapa saja boleh mencalonkan” tapi mampu memandang PILKADA sebagai urusan bersama dalam bingkai kemaslahatan umum. Sikap dan kesadaran kolektif ini pada gilirannya harus terejawantahkan dalam bentuk tekad yang kuat, terus membara dan tidak bisa dipadamkan oleh uang (Money Politic) berapaun jumlahnya. Sikap dan kesadaran kolektif harus pula bermuara pada kesamaan faham bahwa kepemimpinan bukan untuk menguasai tapi untuk melayani masyarakat seperti diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika bersabda “Sayyidul qaumi Khodimuhum” ( HR. Imam Bukhori dari Ibnu Abbas Ra). Saat ini reformasi bidang politik sedang mengarah pada pemberian kedaulatan kepada rakyat secara murni dan konsekwen sesuai bunyi UUD 1945 yang ditandai dengan adnaya perubahan–perubahan pada proses pemilihan kepala daerah/negara yang semula berada ditangan segelintir orang (Anggota Dewan) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, serta adanya diskusi-diskusi yang sangat intens dalam rangka memberi peluang bagi kemungkinan munculnya calon-calon independent. Suasana dan iklim politik yang relatif bagus ini harus disiasati untuk meningkatkan kedewasaan sikap politik seluruh warga masyarakat Kabupaten/ Kota Cirebon sehingga mereka mampu memilih pemimpinnya secara sadar benar dan rasional yaitu bahwa Cirebon sangat membutuhkan figur pemimpin yang memiliki kualifikasi ULAMA serta komitmen pada kesejahteraan masyarakat.

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Abu Bakar Assidik dan Umar Bin Khotob (Radiyallahu ‘anhuma) hanyalah sahabat Rasullah saw dan orang biasa. Keduanya bukan ahli fikir (filosof), bukan ilmuan, bukan negarawan dan tidak memiliki keterkaitan keturunan (silsilah) dengan pemimpin-pemimpin besar tingkat dunia. Namun keduanya sering menyita perhatian dan menjadi rujukan kepemimpinan kontemporer padahal masa kepemimpinan keduanya relatif singkat. Apakah rahasia yang dimiliki keduanya ?. Ucapan Abu Bakar RA saar dilantik menjadi kholifah sering dinukil oleh berbagai kalangan dari tingkat paling bawah yaitu kepemimpinan tingkat Desa sampai kepemimpinan tingkat Nasional, baik di Indonesia maupun di negara-negara luar. Ucapannya itu berbunyi ; “Saya telah mengemban tugas ke khalifahan padahal saya sendiri sangat tidak mau…..Perlu kalian ingat ! jika kalian membebani (memberi tugas) kepada saya seperti yang telah di emban oleh Nabi saw, saya tidak mungkin mampu mengembannya karena Nabi merupakan hamba Allah yang dimulyakan dan di jaga (ma’sum). Ingatlah ! saya manusia biasa dan saya bukan yang terbaik diantara kalian, maka jagalah saya. Selama kalian melihat saya masih istiqomah/lurus, ikuti dan patuhi saya. Dan jika kalian melihat saya menyimpang maka luruskanlah…..”. Pidato spontan dan tanpa teks ini memancarkan beberapa dimensi kepemimpinan, sebagian dari padanya insya Allah akan dibahas dalam uraian selanjutnya. Adapun Umar Bin Khotob RA mencuat dalam jajaran kepemimpinan tingkat dunia karena ketegasan sikap, kecerdasan spritual, seringnya menyamar menjadi rakyat biasa untuk mendengar langsung suara/jeritan asli masyarakat, serta tingginya komitmen beliau untuk mensejahtrakan rakyat. Arahan Al-Qur’an Al-Quran adalah kitab petunjuk kehidupan manusia. Di dalamnya terkandung arahan-arahan untuk memperoleh kesuksesan, kebahagian dan kebaikan hidup di alam dunia dan akherat. Tidak terkecuali masalah kepemimpinan (leadership/khilafah). Kitab suci Al-Qur’an memuat sangat banyak ayat-ayat tentang kepemimpinan. Ada kisah Thalut dan Jalut (Qs. Al-Baqoroh : 246-252) ada kisah para Nabi Ulul Azmi, kisah kegagalan Firaun dan ada pula ayat-ayat yang berisi petunjuk mengenai siapa yang layak menjadi pemimpin, tata cara memilih pemimpin serta tugas-tugas seorang pemimpin yaitu harus merubah keadaan menjadi lebih baik (Qs. Yunus : 13-14) memberi rasa aman (Qs. Al-Baqoroh : 30) menegakkan hukum (Qs. Shood : 26), menciptakan kema’muran dan kesejahteraan (Qs. Huud : 61) dan lain-lain. Tulisan ini hanya ingin mengajak untuk mendalami satu ayat saja yaitu yang tercantum dalam surat Annisa (4) ayat ke 59 yang berbunyi : Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Ayat ini mengisyaratkan beberapa hal : pertama, struktur kepemimpinan di muka bumi (presiden, gubernur, bupati/wali kota) berada dibawah kepemimpinan Allah dan Rasul_Nya. Ini berarti seorang pemimpin (formal/informal) merupakan pelaksana harian/pelaksana tugas/pengganti/khalifah dari kepemimpinan di atasnya yaitu Allah dan Rasul. Pemimpin yang terpilih harus merasa sedang dan akan terus mengemban amanah Allah/Rasul dan harus mampu menjabarkan kehendak Allah/Rasul. Segala sesuatu yang menurut Allah /Rasul harus ada, mesti di adakan. Dan segala sesuatu yang tidak boleh ada (diharamkan) oleh Allah dan Rasul mesti dibuang jauh. Kedua, pemimpin yang terpilih wajib di ikuti dan dipatuhi oleh seluruh rakyat selama pemimpin tersebut masih taat kepada atasannya yaitu Allah dan Rasul serta menjalankan syariat_Nya. Ketika seorang pemimpin telah jauh menyimpang atau sering terjadi kontroversi dan beda persepsi dengan rakyat pemilih maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan Allah (Al-Qur’an) dan ketentuan Rasul (Hadist). Yakni bila maslahatnya harus diganti, silahkan diganti oleh orang yang lebih baik. Kemaslahatan umum harus di utamakan dari pada kepentingan pribadi. Ketiga, kalimat MINKUM (dari kamu/diantara kamu) mengisyaratkan bahwa mengangkat pemimpin sebaiknya/idealnya adalah dari kalangan sendiri yaitu internal umat atau internal partai sehingga yang terpilih benar-benar seagama, satu idiologi, sama visi dan misi serta diyakini mampu membimbing kehidupan masyarakat. Pemimpin harus tumbuh dari bawah, muncul keatas lebih karena kekuatan/kharisma pribadinya dan bukan karena kekuatan uang, kekuatan orang lain (pemimpin titipan) dan bukan pula karena tingginya jabatan. Pemimpin yang tumbuh dari bawah insya Allah akan lebih memperhatikan masyarakat bawah. Mengkaitkan kalimat MINKUM dengan atmosfir politik saat ini dimana pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat maka tidaklah berlebihan kalau tulisan ini mengharap munculnya solusi cerdas daripada pemimpin organisasi massa (ormas islam) serta tumbuhnya kesadaran baru pada tataran massa (jama’ah ormas) untuk memberdayakan mesjid menjadi institusi penggerak terbinanya koalisi ummat. Yaitu koalisi yang menggabungkan kepemimpinan ormas islam (NU, Muhammadiyah, PUI, PERSIS dll). Koalisi parpol, sejatinya hanya ada pada benak individu/kelompok yang berfikiran pragmatis dan lebih berorientasi pada kekuasaan. Arahan Hadist Tidak berbeda jauh dengan Al-Qur’an, hadist-hadist Rasulullah pun banyak yang bersinggungan dengan masalah kepemimpinan. Satu diantaranya adalah berbunyi : IDZA KANU TSALASATAN FALYUAMMIHIM AHADUHUM……..”apabila kamu bepergian bertiga maka angkatlah/jadikanlah salah seorang sebagai pemimpin”.( HR Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Nasa’I dari sahabat Abi Said). Hadist di atas menegaskan sikap dan pandangan Rasul yang mewajibkan mengangkat seorang pemimpin walaupun dalam sebuah jamaah/komunitas kecil dan bersifat sementara apalagi dalam suatu komunitas yang lebih besar. Kemudian, kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan yaitu untuk menjamin kesuksesan bersama. Kepemimpinan harus dipandang sebagai masalah bersama dalam bingkai/koridor kemaslahatan umum. Pemimpin dan yang dipimpin harus berangkat dari titik start yang sama dan akan menuju pada satu titik finish yang sama pula. Dengan ungkapan lain, pemimpin dan yang dipimpin harus senantiasa menjaga irama kebersamaan. Shalat Berjamaah Shalat berjamaah adalah ibadah yang memformulasikan dan memanifestasikan irama kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimpin. Didalamnya terdapat aturan untuk imam (pemimpin) dan makmum (yang dipimpin) seperti: imam harus memperhatikan kondisi makmum, sedangkan makmum harus mengikuti dan tidak boleh mendahului imam. Shalat berjamaah mengandung pelajaran bahwa pemimpin harus memberi ruang kepada yang dipimpin untuk mengoreksi dan memperbaiki. Dalam kaitan ini maka pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menyikapi koreksi/kritik dari rakyat sebagai energi tambahan atau penyeimbang untuk meraih kebaikan dan kesempurnaan kepemimpinannya. Shalat berjamaah menghadirkan nuansa kebersamaan dan mempertegas bahwa persoalan kepemimpinan merupakan masalah bersama dan untuk kebaikan bersama pula. Keberadaan pemimpin semata-mata dan hanya untuk lebih menyempurnakan kehidupan. Maka sungguh keliru kalau ada pemimpin yang merasa diri lebih tinggi dari yang dipimpinnya dan menuntut hak-hak istimewa. Akhir kalam dari tulisan ini ingin mengajak semua pihak memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya sikap dan gerakan kolektif untuk mencermati kontrak politik para pemimpin, fluktuasi harta kekayaan mereka dan proses pengambilan keputusan apakah melalui musyawarah atau pemaksaan kehendak. Nabi saw mengingatkan : IDZA KANAT UMARO-UKUM KHIYAROKUM WAAGNIYA-UKUM SAMHA-AKUM WA UMUROKUM SYUROO BAINAKUM FADZOHRUL ARDI KHOERUN LAKUM MIN BATNIHA WAIDZA KANAT UMARO-UKUM ASYROROKUM WA AGNIYA-UKUM BUKHOLA-AKUM WA UMUROKUM ILA NISA IKUM FABATNUL ARDI KHOERUN LAKUM MIN DZOHRIHA (HR. Thurmudzi dari Abi Huraeroh).

MUALILAH DARI DIRIMU

1). Hai orang yang berkemul (berselimut), 2). Bangunlah, lalu berilah peringatan! 3). Dan Tuhanmu agungkanlah! 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5). Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6). Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. 7). Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah .(QS.Al-Mudatsir-1-7) Inilah wahyu yang keempat, Surah Al-Mudatsir 1-7. Di dalamnya terdapat penekannan pada personal strength pribadi Nabi Muhammad SAW. meliputi, antara lain (1) Pentingnya Mission Statement, (2) dimulainya Character Building, dan (3) tentang Self Controlling. Untuk lebih jelasnya mari kita dalami ayat demi ayat. 1). Hai orang yang berkemul (berselimut Al-Mudatsir memiliki arti yang sama dengan Al-Muzzamil. Yakni orang yang menutupi tubuhnya dengan kain. Sebuah ungkapan kiasan (metamorfoses) untuk menggambarkan seseorang yang dalam suasana fisik/suasana hati yang belum normal. Yang di panggil oleh ayat ini tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. 2). Bangunlah, lalu berilah peringatan Ini adalah perintah kedua kali kepada sosok yang sama untuk bangun/berjaga ditengah malam. Kalau dalam rentang waktu yang relatif pendek sebuah perintah sudah di ulang dua kali, itu berarti mengandung isi pesan yang ekstra penting atau top secret. Bangun malam bagi seorang Nabi atau orang yang sedang di persiapkan dapat melakukan tugas besar, atau mereka yang sedang dikarantina di PELATNAS mengandung arti yang sangat strategis dan bernilai tinggi. Tugas berikutnya yang di embankan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah memberi peringatan (Nadzir). Yaitu menyampaikan efek negatif dari suatu pekerjaan yang telah mentradisi, padahal pekerjaan tersebut tergolong sasaran pemberantasan. Akronim kata Nadzir adalah Basyir, yaitu upaya menyampaikan dampak positif dari pekerjaan-pekerjaan (tradisi) yang benar dan sesuai dengan risalah kenabian. Upaya pencitraan positif dan pencitraan negatif terhadap prilaku masyarakat akan lancar dan sukses bila didahului langkah mission statement dan pembangunan visi. Ditempat lain Allah berfirman: 45). “ Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, 46). Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. 47). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa Sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah. 48). Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung”. (QS. Al-Ahzab-45-48) 3). Dan Tuhanmu agungkanlah Nabi Muhammad dan ummatnya di perintahkan untuk membesarkan tuhan Allah SWT . Artinya: Allah semestinya mendapat tempat utama didalam kalbu setiap insan, kedudukan Allah harus paling tinggi dan diatas segalanya , perintah Allah hendaknya dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Membesarkan tuhan, implisit di dalamnya; Allah adalah pusat pengahdapan/perhatian, Allah adalah sumber inspirasi, Allah adalah pusat orbit, dan Allah adalah sumber kekuatan. Seorang ulama berpendapat bahwa kalimat WAROBBAKA FAKABBIR cukup menjadi indikasi bahwa Islam menganut paham teosentrik dalam segala aspek kehidupan. Empat ayat selanjutnya , yaitu ayat 4,5,6 dan 7 menekankan pada pentingnya character building dan self controlling. Pembangunan karakter yang Allah lakukan pada pribadi Nabi Muhammad SAW. antara lain; Nabi Muhammad SAW. mesti mencintai kebersihan dalam segala hal (pakaian, makanan/rizki, keinginan dan ucapan), Nabi Muhammad bersifat selektif, mengutamakan proses dan selalu mampu menjaga suasana hati. Jika character building berjalan secara semestinya, maka pelan tapi pasti pada gilirannya akan membekaskan pada pribadi Nabi Muhammad SAW. sebuah sikap dan sifat untuk terus menerus melakukan self controlling terhadap seluruh aktivitas yang telah dilakoni. Self controlling yang paling utama adalah dari belenggu ego duniawi atau nafsu batiniah yang tidak seimbang. Sementara, ego akan cenderung mengambil jalan pintas (mengabaikan proses) untuk mencapai suatu keberhasilan, dan hanya akan menciptakan suatu landasan yang rapuh dan berbahaya yang justru akan menghantam balik dirinya sendiri. Melalui Al-Mudatsir Allah SWT. ingin mengarahkan nabi Muhammad SAW. menjadi seorangg pemimpin yang benar-benar muncul karena pengaruh pribadinya, pemimpin yang dicintai karena integritas pribadinya dan pemimpin yang memahami ke mana diri dan ummatnya harus melangkah. Pemimpin yang mampu mengendalikan diri, bertindak rasional, sesuai kehendak suara hati yang fitrah adil dan bijaksana. Allah SWT. berfirman: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Qs.Az-Zummar -10)

ENERGI ISTIGHFAR

Rasulullah SAW. bersabda : Siapa yang memperbanyak membaca istighfar maka Allah SWT. akan menjadikan baginya segala kebingungannya sebuah solusi, segala kesempitannya ada jalan keluar dan Allah memberi Rizki kepadanya dari jalur-jalur yang tak terduga (HR.Imam AL-Qurtubi dari Jabir RA). Hadist ini memberi motivasi agar umat Islam gemar membaca istighfar (sering memohon ampun) kepada Allah SWT. seraya mengemukakan beberapa faidah Istighfar antara lain; tidak akan bingung / sedih berkepanjangan karena akan segera memperoleh solusi, tidak akan dihimpit dengan kesulitan-kesulitan karena akan menemukan alternatif-alternatif pemecahan, dan terbukanya pintu-pintu rizki yang relatif banyak yang membawa ketenangan dan keberkahan. Benrakah demikian ? Memohon ampun akan tulus diucapkan oleh orang yang rajin melakukan evaluasi; evaluasi diri, evaluasi hasil kerja dan evaluasi situasi. Setelah merasakan hasilnya tidak memuaskan dan masih jauh dari sempurna maka secara sepontan dia akan memohon ampun. Istighfar mendorong setiap pribadi untuk melakukan evaluasi rutin (harian, mingguan, bulanan dan tahunan). Memohon ampun hanya mungkin terucap dari pribadi yang rendah hati. Ia menyadari bahwa sumber masalah adalah dirinya sendidri dan menghindarkan untuk menuduh/ mengkambinghitamkan orang lain. Orang yang rendah hati cenderung bisa bekerjasama atau bersinergi dengan banyak orang (non sektarian). Sering membaca istighfar atau memohon ampun kepada Allah SWT. melalui lisan dan hati akan mampu mendorong jiwa seseorang untuk selalu dalam keadaan suci dan bersih serta menjauhkan prasangka negatif kepada siapapun. Dan orang yang memiliki hati yang bersih akan melahirkan fikiran-fikiran jernih dan positif untuk mendobrak segala kebekuan atau belenggu kehidupan. Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda“ Sesungguhnya bagi setiap hati manusia pasti memiliki karat seperti halnya besi, dan alat pembersihnya adalah Istighfar”( Al hadist). Setelah meliliki hati yang bersih maka istiqfar pada gilirannya akan membangun fikiran bawah sadar seseorang untuk kemudian memunculkan sebuah kekuatan (magic power) yang dapat mengusir/menghilangkan segala pengaruh jahat, fikiran kotor dan paradigma buruk. Orang-orang yang menyampaikan permohonan ampun secara berula-ulang ; pagi, siang dan malam, pada saat berdiri, duduk atau berbaring akan menumbuhkan satu kebiasaan positif, yaitu jujur pada diri sendiri, mudah meminta maaf dan mudah pula memaafkan orang lain.