Kemerdekaan dan Perbudakan Ruhani
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)
Setiap bulan Agustus kita senantiasa
memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal
17 Agustus 1945. Titik waktu di mana bangsa Indonesia merdeka dan mulai dapat
menentukan nasibnya sendiri terbebas dari intervensi dan penjajahan bangsa
asing. Akan tetapi hampir pada setiap peringatan, kita seringkali lupa
bermuhasabah mengenai apa sebenarnya kemerdekaan dan bagaimana Islam atau Al
Qur’an menerangkan hakikat kemerdekaan tersebut.
Jika
kita mencoba menelisik Al Qur’an, kita tidak akan menemukan di dalamnya uraian
tentang kemerdekaan satu bangsa secara spesifik, karena ide kebangsaan baru
dikenal masyarakat Islam jauh setelah turunnya Al-Qur’an, yakni saat Napoleon
datang ke Mesir (1798-1801 M). Tetapi perlu diingat bahwa, kemerdekaan
suatu bangsa atau masyarakat, tidak
dapat terpenuhi tanpa kemerdekaan setiap individu yang hidup dalam masyarakat
dan/atau negara itu. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa anugerah
kemerdekaan yang dinikmati oleh setiap individu dalam suatu masyarakat
merupakan anugerah kemerdekaan untuk bangsa dan masyarakatnya. Sebaliknya,
tidak dinikmatinya kemerdekaan dan kebebasan oleh anggota-anggota masyarakat,
juga berarti bahwa masyarakat dan bangsa itu belum dapat dinamakan merdeka.
Tidak ada artinya proklamasi kemerdekaan suatu bangsa, jika anggota
masyarakatnya masih terbelenggu oleh berbagai belenggu yang merenggut
kemerdekaan dan kebebasannya, baik yang
merenggut itu bangsa lain maupun sebagian dari anggota masyarakatnya sendiri.
Al-Qur’an
Al-Karim, seperti dikemukakan di atas, tidak menguraikan kemerdekaan bangsa-bangsa. Namun demikian,
tidak sedikit ayat yang berbicara
tentang orang-orang merdeka dan para budak yang hendaknya dimerdekakan,
sehingga bila tuntunan ini diperhatikan akan bangkit manusia-manusia merdeka
yang pada gilirannya menghasilkan masyarakat dan bangsa yang merdeka dalam arti
yang sebenarnya.
Salah
satu ayat yang berbicara tentang anugerah kemerdekaan terhadap satu masyarakat
adalah firman-Nya, “Dan (ingatlah),
ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, ingat-ingatlah nikmat Allah
atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan Dia menjadikan kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya
kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara
umat-umat yang lain (yang semasa dengamu)"
(Q.S. Al-Ma’idah, 5:20).
Pakar
tafsir Muhammad Rasyid Ridha, ketika menafsirkan ayat ini menulis bahwa, yang
dimaksud dengan ja’alakum mulukan yang diterjemahkan di atas dengan “Dia menjadikan kamu orang-orang merdeka,” adalah bahwa
mereka dijadikan Allah “menguasai diri mereka masing-masing, bebas mengatur
diri dan keluarga mereka, serta menikmati kesejahteraan, setelah sebelumnya
ditindas oleh Fir’aun yang membunuh anak- anak lelaki mereka serta membiarkan
hidup tertindas wanita-wanita mereka.”
Jadi
makna dari kata merdeka dalam pandangan Al Quran lebih cenderung menegaskan
kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau individu. Akan tetapi kebebasan pribadi
dalam pandangan Al-Qur’an dibatasi oleh norma dan aturan, sehingga tidak
dibenarkan mengakibatkan mudharat bagi pihak lain dan tidak pula orang lain dibenarkan
mengakibatkan mudharat terhadap diri yang bersangkutan. Demikian makna rumus
interaksi yang diajarkan Rasul SAW. “La
Dharara Wa La Dhirar. Ia dibatasi oleh keharusan menyeimbangkan antara
kepentingan pribadi dan kemaslahatan
umum. Karena, setiap pribadi mewakili dirinya sekali, dan pada saat yang sama
pribadi itu adalah bahagian dari masyarakatnya. Pada pada saat ia memperhatikan
kepentingan masyarakat, maka pada saat
yang sama kepentingannya pun secara otomatis telah mendapat perhatian.
Kebebasan pribadi dalam padangan Islam, jika diterapkan sesuai dengan tuntunan
Al-Qur’an dan Sunnah, tidak mungkin akan melahirkan penindasan terhadap manusia
lain, baik karena harta, kekuasaan atau apapun. Sebab, sang Muslim yang
menerapkannya selalu diawasi oleh nuraninya yang yang telah diwarnai oleh
ketetapan-ketetapan wahyu Ilahi, apalagi dia merasa bahwa hail usahanya adalah
berkat bantuan Allah yang memiliki segala sesuatu dalam wujud ini, termasuk
jiwa raga sang Muslim.
Dengan
demikian, kalau paham materialisme menuntut negara agar memelihara hak-hak
pribadi, menjamin demokrasi, serta kelancaran investasi, maka dalam pandangan
Islam, di samping hal-hal tersebut, juga dan amat penting adalah memelihara
hak-hak mereka yang tidak berkecukupan
dan yang dititipkan Allah kepada para pemilik. Di sini, kalau para pemilik yang berkelebihan itu
tidak memberikan hak-hak tersebut, maka negara diharapkan, bahkan seharusnya,
turun tangan. Wa Allah A’lam.
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kabupaten Cirebon