Oleh : Saeful Malik,
S.Ag, MBA*)
Setiap tanggal 1 Muharram ummat Islam senantiasa memperingati Tahun Baru
Islam, yang merujuk pada suatu sistem penanggalan yang disebut penanggalan
hijriyah, yang berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. dari Makkah ke
Madinah. 1 Muharram dijadikan sebagai awal penanggalan hijriyah setelah ditetapkan
oleh Khalifah Umar bin Khattab RA. atas usulan dari sahabat Ali bin Abi Thalib
KW, yang menyisihkan usulan-usulan dari sahabat-sahabat yang lain yang
diantaranya mengusulkan dimulai dari waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW.
atau peristiwa Nuzulul Quran.
Sistem penanggalan
hijriyah ini bukanlah sistem penanggalan yang baru, tetapi merupakan pengganti
dari sistem yang ada yang biasa digunakan oleh bangsa Arab pra-Islam.
Sebagaimana termaktub dalam sejarah, bahwa
bangsa Arab
di zaman pra-Islam memakai patokan tahun bukan berupa bilangan, melainkan topic
of the year. Seperti hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. disebut tahun gajah, karena yang menjadi topic
of the year pada waktu itu adalah peristiwa hancurnya tentara bergajah
Abrahah.
Terpilihnya Hijrah sebagai patokan permulaan
tahun menunjukkan bahwa peristiwa Hijrah sangat penting dalam sejarah Islam.
Hijrah merupakan titik balik keadaan ummat Islam dari maf'ulun bih
(obyek) di Makkah menjadi fa'il (subyek) di Madinah. Hijrah merupakan
peralihan dari usaha pembinaan sumber daya manusia di Makkah melanjut kepada
pembinaan masyarakat Islam melalui pembentukan Negara Islam dengan proklamasi
yang dikenal dengan Piagam Madinah (H.M.N. Abdurrahman, 1997). Dalam bahasa ilmiahnya Hijrah merupakan proses transformasi progresif dari kegelapan (darkness)
menuju peradaban yang sepenuhnya tercerahkan (lightness). Professor Fazlur Rahman menyebut Hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calendar
and the founding of Islamic community.
Hijrah dalam bahasa Arab berasal dari kata yang akarnya
dibentuk oleh huruf: ha, jim dan ra yang berarti meninggalkan
seseorang atau migrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam makna ini, hijrah memiliki dua bentuk makna. Hijrah
Makaniyah dan Hijrah Ma’nawiyah. Hijrah makaniyah adalah
berpindah secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain. Seperti
digambarkan pada kebanyakan ayat-ayat tentang hijrah. Diantaranya, “Dan
siapa yang berhijrah di jalan Allah (untuk membela dan menegakkan Islam),
niscaya ia akan dapati di muka bumi ini tempat berhijrah yang banyak dan rezki
yang makmur. Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia mati (dalam perjalanan), maka sesungguhnya
telah tetap pahala hijrahnya di sisi Allah. Dan
(ingatlah) Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.”(Q.S. An-Nisa : 100).
Sedangkan
hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan dalam firman Allah SWT. “Dan berkatalah Ibrahim:
“Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Ankabut:26). “Dan perbuatan dosa meninggalkanlah.”
(Q.S. Al-Muddatsir : 5).
Dari beberapa ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa
hijrah merupakan suatu proses transformasi progresif. Artinya sebuah
proses perubahan kepada sesuatu yang lebih baik. Baik berupa perubahan secara
fisik makaniyah, maupun perubahan secara spirit atau ma’nawiyah.
Pada tataran praktisnya, hijrah makaniyah dapat
berupa perpindahan seseorang dari lingkungan yang buruk yang jauh dari ridha
dan rahmat Allah SWT ke lingkungan yang lebih baik. Bisa juga bermakna
seseorang meninggalkan kebiasaan berada di tempat maksiat, seperti tempat judi,
tempat zina, tempat ghibah dan tempat-tempat maksiat lain ke tempat yang
diridhai Allah SWT. seperti majelis taklim, masjid, majelis dzikir dan
lain-lain.
Sedangkan bentuk-bentuk hijrah ma’nawiyah
di antaranya meninggalkan kekufuran menuju keimanan. Meninggalkan
syirik menuju tauhid (hanya mengesakan Allah). Meninggalkan kebiasaan
mengingkari nikmat-nikmat Allah menjadi pandai bersyukur. Berpindah dari
kehidupan jahiliyah kearah kehidupan Islami. Berpindah dari sifat-sifat
munafik, plin-plan, menjadi istiqamah. Hijrah juga berarti berkomitmen kuat
pada nilai kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Meninggalkan perbuatan,
makanan dan pakaian yang haram menjadi hidup halalan thayyiba.
Meninggalkan maksiat menuju taat hanya kepada Allah SWT. Meninggalkan kedengkian, meninggalkan
korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, meninggalkan kebohongan, dan lain sebagainya.
Intinya adalah hijrah merupakan transformasi progresif,
yaitu sebuah proses perubahan menuju kepada segala sesuatu yang lebih baik.
Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita sebagai umat muslim, setiap kali
kita memperingati tahun baru hijriyah, kita bertekad dan bertindak menjadikan
hati dan kehidupan kita dari waktu ke waktu selalu berubah menjadi lebih baik.
Karena hal itu yang akan membawa kita kepada keberuntungan baik di dunia maupun
di akhirat. Bukankah orang bijak pernah mengatakan, “Orang yang beruntung
adalah orang yang keadaannya hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang
rugi adalah orang yang keadaan hari ini sama dengan kemarin dan orang yang
celaka adalah orang yang hari ini keadaannya lebih buruk dari kemarin.”?
Sekali lagi, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Wallahu
A’lam.
*) Penulis adalah Sekretaris Umum Pokjaluh Kab. Cirebon