Laman

Selasa, 03 Mei 2011

AL QUR’AN DAN KESEHATAN


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*

Al-Qur’an adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. yang membacanya adalah salah satu bentuk ibadah. Di dalamnya tidak hanya mengandung hal yang bersifat ukhrowi tetapi juga memuat hal yang bersifat duniawi. Al-Qur’an berbicara tentang unsur ketuhanan sampai kemanusiaan, tentang kehidupan sampai kematian, dari keimanan sampai kepada ilmu pengetahuan, tidak ketinggalan juga Al-Qur’an berbicara mengenai kesehatan dan pengobatan.
Banyak ayat Al Qur’an yang mengisyaratkan tentang kesehatan dan pengobatan karena Al Qur’an itu sendiri diturunkan sebagai penawar dan Rahmat bagi orang-orang yang mukmin. Diantaranya ; “Dan kami menurunkan Al Qur’an sebagai penawar dan Rahmat untuk orang-orang yang mu’min.” (QS. Al Isra, 17: 82)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar Ra’d, 13: 28)
Menurut para ahli tafsir bahwa nama lain dari Al Qur’an yaitu “Asysyifâ” yang artinya secara Terminologi adalah Obat Penyembuh, yang diambil dari beberapa ayat dalam Al Qur’an. “Hai manusia, telah datang kepadamu kitab yang berisi pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai obat penyembuh jiwa, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus, 10: 57)
Berdasarkan ayat-ayat tadi, dapat dipastikan bahwa orang yang membaca, mendengar dan mempelajari Al Qur’an secara dawam (kontinyu dan teratur) akan merasakan ketenangan jiwa, sehat baik jasmani maupun rohani. Penulis mencoba memaparkan bukti-bukti penelitian ilmiah yang pernah dilakukan yang membuktikan kebenaran ayat-ayat di atas.
DR. Ahmad Al-Qodi', direktur utama Islamic Medicine For Education And Research yang berpusat di amerika sekaligus konsultasi ahli sebuah klinik di Panama City, Florida Amerika Serikat telah melakukan penelitian tentang pengaruh Al Qur’an pada manusia dalam perspektif fisiologis dan psikologis yang terbagi dalam 2 tahapan. Tahap pertama bertujuan untuk menentukan kemungkinan adanya pengaruh Al Qur’an pada fungsi organ tubuh sekaligus mengukur intensitas pengaruhnya jika ada. Hasil eksperimen pertama ini membuktikan bahwa 97% responden, baik muslim maupun non-muslim, baik yang mengerti bahasa Arab maupun tidak, setelah diperdengarkan Al Qur’an mengalami beberapa perubahan fisiologis yang menunjukkan tingkat ketegangan urat syaraf reflektif. Hasilnya membuktikan bahwa Al Qur’an memiliki pengaruh yang mampu merelaksasi ketegangan urat syaraf tersebut. Fakta ini secara tepat terekam dalam sistem detektor elektronik yang didukung komputer guna mengukur perubahan apapun dalam fisiologi(organ) tubuh.
Sementara itu, eksperimen yang kedua diarahkan guna mengetahui apakah efek relaksasi yang di timbulkan Al Qur’an pada ketegangan syaraf beserta perubahan-perubahan fisiologis yang mengiringinya benar-benar disebabkan oleh kalimat-kalimat Al Qur’an sendiri secara definitif, tanpa memandang apakah kalimat-kalimat itu dapat dipahami oleh pendengaran atau tidak.  Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Alqur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al Qur’an.  (Ahsin W. Al Hafidz, Fiqh Kesehatan, 2008)
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat  penelitian lain yang dilakukan oleh dokter Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Dan hebatnya lagi, ternyata Al Qur’an memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Oleh karena itu bisa diambil hipotesa bahwa efek relaksasi Al Qur’an bagi orang yang stres dan depresi  dapat berpotensi mengaktifkan fungsi daya tahan tubuh yang berperan besar dalam melawan penyakit atau membantu proses penyembuhan.  Hal itu, dapat  terjadi pada penyakit-penyakit gangguan pencernaan, infeksi, kanker dan lain sebagainya. Hal demikian menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Al Qur’an sendiri memiliki pengaruh fisiologis yang bisa meredakan ketegangan otot pada tubuh,  tanpa harus mengetahui makna kata-kata itu sendiri.

Uraian di atas, hanyalah sebagian kecil dari “mukjizat Al Qur’an” yang berhubungan dengan kesehatan, jika kita mencari lebih jauh  masih banyak lagi bukti-bukti yang memaparkan kebenaran Al Qur’an yang berhubungan dengan kesehatan. Rasulullah SAW. Bersabda,  “Hendaklah kamu menggunakan kedua obat-obat: madu dan Al Qur’an” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Mas’ud). Oleh karena itu, marilah kita jadikan diri kita sebagai sahabat Al Qur’an, yang senantiasa mendawamkan membaca, mendengar dan mempelajari Al Qur’an. Karena jika kita mampu demikian Al Qur’an pun akan menjadi pengobat dan penolong di yaumil akhir nanti,  Rasul bersabda, “Bacalah  Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada pembacanya.” (HR Muslim). Subhanallah, Maha benar  Allah dengan segala firman-Nya

KEMENTERIAN AGAMA DAN REFORMASI BIROKRASI


(Sebuah renungan pada Peringatan Hari Amal Bakti ke 65)
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*


Copy of S2020770.JPGPada tanggal 3 Januari 2011, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati Hari Amal Bakti ke 65. Banyak harapan yang menggantung pada setiap peringatan Hari Amal Bakti ini. Peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama diharapkan tidak hanya sekedar upacara dan rutinitas tahunan saja, akan tetapi menjadi momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri) dalam upaya peningkatan pelayanan terbaik kepada ummat dan masyarakat. Karena dari istilah “Hari Amal Bakti” sendiri dapat menjadi indikasi bahwa amal adalah perbuatan yang bernuansa positif, sedangkan bakti merupakan bentuk pengabdian pelayanan seseorang pada orang lain dalam komunitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara ikhlash.
Kementerian Agama (Kemenag) yang dahulu bernama Departemen Agama (Depag) adalah kementerian yang sangat disorot masyarakat, karena kementerian ini membawa nama agama. Dalam benak masyarakat, karena instansi ini membawa agama tentu mereka menilai birokrasi Kemenag adalah birokrasi yang memiliki akhlak dan moral yang lebih tinggi di bandingkan dengan birokrasi-birokrasi di kementerian-kementerian yang lain.
Nilai-nilai yang terkandung pada kata agama menjadi harapan yang besar bagi masyarakat, untuk terwujudnya birokrasi yang bersih, transparan, mudah dan tertib. Sehingga jika ditemukan hal-hal yang menyimpang dalam birokrasi Kemenag, seperti melanggar aturan, melanggar hukum dan lain sebagainya, maka hukuman masyarakat kepada kemenag akan  jauh lebih besar dibandingkan terhadap instansi lain. Dan ironisnya, karena Kementerian Agama ini memiliki slogan “Ikhlash Beramal” seringkali hasil kerja atau prestasi yang pernah diraih oleh kementerian ini tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari masyarakat.
Tentunya hal ini tidak boleh ditafsirkan oleh aparatur Kementerian Agama sebagai ketidakadilan sikap dari masyarakat. Akan tetapi harus menjadi sebuah tantangan untuk merubah “paradigma” tersebut dengan membuktikan bahwa birokrasi di Kementerian Agama memang merupakan birokrasi teladan bagi instansi lain dalam hal ketertiban hukum, transparansi, kemudahan dan lainnya. Sehingga masyarakat dapat menilai sesuai dengan seharusnya.
Menjadi teladan tentunya bukanlah hal yang mudah. Apalagi Kementerian Agama pernah menorehkan sejarah birokrasi yang kurang baik, sehingga di beberapa waktu silam, Departemen Agama pernah menyandang gelar sebagai salah satu Depertemen terkorup yang ada di negeri ini. Kenyataan tersebut menjadi catatan kelabu yang masih terdokumentasikan pada sebagian besar hati masyarakat. Hal ini menjadi tekad dari Menteri Agama Republik Indonesia Bapak Suryadharma Ali untuk melakukan Reformasi Birokrasi. Dengan berkomitmen menjadikan Kementerian Agama sebagai lembaga penyandang nilai-nilai agama, untuk berada paling depan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, bebas KKN dan perbuatan melanggar hukum lainnya.

Reformasi Birokrasi Kementerian Agama
Reformasi birokrasi merupakan upaya menata ulang, mengubah, menyempurnakan, dan memperbaiki birokrasi agar menjadi lebih bersih, efisien, efektif, dan produktif.Secara ringkas, visi reformasi birokrasi adalah menjadikan tata kepemerintahan yang baik (good governance), dengan misi membangun, menyempurnakan, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan
Kementerian Agama sebagai lembaga pembantu Presiden memiliki tugas menjalankan sebagian tugas pemerintahan di bidang agama. Tugas tersebut merupakan tugas yang berat dan diharapkan mampu memberikan dorongan dan teladan bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Apalagi, Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad melaksanakan reformasi birokrasi secara menyeluruh pada tahun 2011 untuk menciptakan aparatur yang bersih dan berwibawa. Reformasi birokirasi ini penting karena akan mengoptimalkan seluruh elemen birokrasi pemerintahan baik untuk memperbaiki pelayanan publik maupun meningkatkan tata kerja yang efektif, efisien, profesional, transparan,dan akuntabel.
Dalam pandangan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Bapak Dr. Bahrul Hayat, inti reformasi birokrasi itu mencakup dua aspek. Pertama, mengubah seluruh mekanisme kerja agar menjadi lebih efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel. Kedua, melakukan reformasi seluruh sumber daya yang dimilikinya, terutama sumber daya manusia (SDM). Yang pada praktiknya reformasi birokrasi di Kementerian Agama adalah dengan melakukan beberapa hal berikut :
Pertama, setiap insan di bawah naungan Kementerian Agama senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., dengan selalu beribadah dan beramal dengan ikhlash dan bertanggungjawab, baik kepada aturan hukum yang berlaku di dunia maupun pertangganggjawaban kepada Allah SWT. kelak di akhirat.
Kedua, meningkatkan kualitas akhlak yang mulia dengan selalu mengedepankan kualitas dan profesionalitas dari aparatur pemerintahan melalui kreasi-kreasi yang inovatif dan positif dalam pelayanan kepada ummat dan masyarakat.
Ketiga, setiap aparatur pemerintahan di Kementerian Agama senantiasa meningkatkan kualitas intelektual dan emosional sehingga dapat bekerja secara profesional, cepat, transparan, akuntabel dan humanis seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat yang semakin kritis.
Keempat, menumbuhkembangkan semangat pembaharuan untuk merespon dinamika permasalahan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Kelima, setiap warga Kementerian Agama terus memperbaiki dan meningkatkan kemampuan diri dan keterampilan serta memacu kemajuan dari berbagai ketertinggalan sehingga mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam rangka pelayanan terhadap ummat dan masyarakat.
Di tambah dengan selalu mengaplikasikan kode etik Pegawai Kementerian Agama(KMA NO. 421 TH. 2001) yang lima yaitu 1.Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa;2.Mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepadamasyarakat;3.Bekerja dengan jujur, adil dan Amanah; 4.Melaksanakan tugas dengan didiplin dan inovatif;5.Setia kawan, bertanggung jawab atas kesejahteraan korps.
Tentunya jika hal di atas dapat dilaksanakan, maka tujuan reformasi birokrasi yaitu membangun aparatur negara yang efektif dan efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima, akan terwujud. Wallahu A’lam.

KONSEP TA’DIB : PARADIGMA BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*

Tentunya kita semua setuju, bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun akhlak dan moral bangsa. Fakta menyebutkan, bangsa yang baik dan maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang bermoral baik. Sebaliknya, jika masyarakat dalam suatu bangsa tidak memiliki akhlak yang baik, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran dan terpuruk.
Tetapi ketika kita membicarakan pendidikan, pendidikan seperti apa yang dapat membangun akhlak dan moral bangsa yang baik. Sebab, kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak negara senantiasa melaksanakan pendidikan bagi warganya, akan tetapi negara tersebut tetap terpuruk tidak pernah mengalami kemajuan bahkan cenderung dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Dan ironisnya, negara-negara tersebut nota bene kebanyakan adalah negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim mayoritas, padahal Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa berakhlak mulia. Apa yang salah dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut ?
Menjawab pertanyaan diatas, penulis tertarik pada satu konsep yang ditawarkan oleh salah seorang tokoh pendidikan dunia modern, Syed Naquib Al Attas. Bagi dunia akademisi pendidikan, nama Naquib Al Attas bukanlah sosok yang asing. Ia dikenal sebagai ilmuwan keturunan Indonesia yang sudah kaliber dunia, dengan tawaran konsep “Ta’dib” dan “Islamisasi Sains”-nya.
Menurut pandangan Naquib al Attas, masalah paling mendasar pada pendidikan umat Islam bukanlah karena umat Islam buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan dan diporakporandakan dengan konsep pendidikan barat. Ia melihat hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang  kurang tepat.
Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan Islam. Dalam pandangannya, saat ini pelaksanaan pendidikan banyak merujuk pada pendidikan barat yang berorientasi pada nilai-nilai materi dan ekonomi, sehingga seringkali pada prosesnya mengabaikan adabdan aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya, yang tentunya berimpact pada hasilnya yang cenderung materialisme dan hedonisme. Padahal menurutnya sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Sehingga ia sangat menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Ia membedakan makna substansi dari kata Tarbiyah dengan kata Ta’dib. Tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Ia pun berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik.” (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, “...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranyamenjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik dan universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW.
Melihat pandangan-pandangan yang ditawarkan oleh Naquib Al Attas di atas, tentunya kita dapat memahami bahwa dengan menggunakan konsep ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercover di dalam sistem pendidikan yang terpadu. Sehingga, dengan konsep ta’dib kita dapat merefleksikan bahwa pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan akanmenjadi jawaban yang baik atas tuntutan kemoderenan dan dapat menjadi alternatif pendidikan untuk membangun akhlak dan moral bangsa.Wallahu’alam Bish showwab.

Selasa, 01 Februari 2011

KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN RASULULLAH SAW.


Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*


Ada dua tema yang biasa dikemukakan dalam memperingati mawlid ataupun mawlud Nabi Muhammad SAW, pertama: Wa maa Arsalnaaka illa Rahmatan lil ‘alamiin (Q.S. Al Anbiya : 7), artinya: “tidaklah Kami mengutusmu (hai Muhammad) melainkan untuk rahmat semesta alam”. Kedua: Laqad Kaana Lakum fii Rasuulillaahi uswatun hasanah (Q.S. Al Ahzab : 21), artinya: “Sesungguhnya pada rasul Allah ada panutan yang baik bagimu”. Tema yang pertama biasanya menerangkan tentang tujuan Rasulullah SAW. diutus ke muka bumi ini dan menunjukkan bahwa Risalah yang diemban oleh Rasulullah SAW. merupakan risalah yang mutlak kebenarannya karena berasal dan selalu dibimbing oleh Allah SWT. yang tidak hanya berlaku bagi kehidupan manusia, akan tetapi untuk seluruh alam termasuk binatang, tumbuhan dan makhluk-makhluk lain yang ada di alam dunia ini. Sedangkan tema yang kedua biasanya untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan sample of the rule, merupakan contoh seharusnya hidup manusia.
Dalam tataran praktisnya jika kedua tema tersebut disatukan, maka kita akan mendapatkan bahwa sosok Rasulullah SAW. dan apa yang dilakukannya merupakan pengukuhan bahwa Rasulullah SAW. adalah seorang Insan Kamil, manusia paling sempurna. Hal ini dapat dibuktikan dari pengakuan-pengakuan para meneliti sejarah di dunia, seperti penyusun The Encyclopedia of Britanica menjelaskan tentang Rasulullah SAW. sebagai berikut, “Muhammad is the most successful of all Prophets and religious personalities”. The personality of Muhammad! It is most difficult to get into the truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes. There is Muhammad the Prophet, there is Muhammad the General; Muhammad the King; Muhammad the Warrior; Muhammad the Businessman; Muhammad the Preacher; Muhammad the Philosopher; Muhammad the Statesman; Muhammad the Orator; Muhammad the Reformer; Muhammad the Refuge of Orphans; Muhammad the Protector of Slaves; Muhammad the Emancipator of Woman; Muhammad the Law-Giver; Muhammad the Judge dan Muhammad the Saint.”
Diperkuat oleh pernyataan-pernyataan dari Muhammad Iqbal, Thomas Carley, Arnold Toynbee, Will Durant da Michael Hart yang menuliskan pujian yang sangat agung. Bahkan M. Hart meletakkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh nomor satu di antara seratus tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Will Durant menganggap Nabi Muhammad Saw sebagai pribadi yang lengkap, karena beliau adalah seorang sosiolog, psikolog, politisi, agamawan juga seorang pemimpin besar. Asghar Ali Enginger juga menegaskan bahwa Rasulullah SAW. merupakan sosok pemimpin yang sangat redah hati, tapi berhati luhur dan berotak luar biasa cerdas. Dan meminjam istilah Antonio Gramsci dan Ali Syari’ati beliau adalah sosok intelektual organic dan rausyan fikr yang ideal. Karena dalam perjalanan hidupnya, beliau berhasil menyatukan idealisme intelektual dan aktivisme sosial sebagai pemandu perjuangan dan visi gerakan langkahnya dalam menjalani kehidupan ini.
Sungguh sebuah apresiasi yang luar biasa, yang harus disyukuri dan diteladani oleh kita selaku ummatnya. Yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana kita meneladani kesempurnaan Rasulullah SAW. tersebut ? ingin rasanya penulis paparkan satu persatu keistimewaan Rasulullah SAW. yang harus menjadi teladan kita semua, hanya saja dengan berbagai keterbatasan yang ada, pada tulisan ini penulis mencoba memfokuskan hanya pada pola atau karakteristik kepemimpinan Rasulullah SAW. saja, dengan harapan dapat dijadikan tauladan yang baik oleh para pemimpin sekarang dan juga oleh kita para calon pemimpin masa datang.

1. Rasulullah SAW. Pemimpin Aspiratif dan Partisipatif
Termaktub dalam sejarah, setelah Rasulullah SAW. hijrah ke Madinah dibentuklah Negara Islam Madinah, yang rakyatnya terdiri atas orang-orang Islam, orang-orang Arab yang bukan Islam dan orang-orang Yahudi yang tinggal di benteng-benteng. Tatkala Rasulullah SAW. menerima informasi bahwa tentara Makkah sudah siap untuk menyerbu Madinah guna membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar, maka beliau sebagai Kepala Negara dan Panglima Perang mengumpulkan penduduk Madinah untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu Rasulullah SAW. mengeluarkan tawaran bagaimana kalau bertahan dalam kota saja. Sesudah itu beliau memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk lobying antara satu dengan yang lain.
Hasilnya ialah pada umumnya penduduk Madinah tidak sependapat dengan gagasan Rasulullah SAW. Dengan Hamzah sebagai juru bicara dikemukakanlah alasan mengapa mereka tidak sependapat. Kota Madinah tidak terlindung seluruhnya untuk menghadapi serangan frontal. Memang ada benteng Yahudi dan jajaran pohon-pohon kurma sebagai benteng alam terhadap pasukan berkuda, akan tetapi ada pula bagian/lini yang terbuka. Akhirnya diputuskanlah bahwa pasukan Quraisy dari Makkah harus dihadang di luar kota dengan posisi bukit Uhud sebagai benteng alam yang melindungi pasukan Madinah dari belakang.
Tawaran Rasulullah SAW. untuk bertahan dalam kota bersifat memancing. Rakyat Madinah yang dilibatkan dalam proses musyawarah pengambilan keputusan itu merasa bahwa keputusan bertahan di luar kota itu adalah dari gagasan mereka sendiri. Walhasil timbullah partisipasi mereka dalam pelaksanaan dan pengamanan keputusan yang telah diputuskan itu. Itulah corak kepemimpinan yang partisipatif dari Rasulullah SAW.

2. Rasulullah SAW. Pemimpin Yang Bijaksana dan Memiliki Visi
Perjanjian Hudaibiyah yang diadakan di antara umat Islam Madinah dengan kaum Quraisy Mekah merupakan satu lagi bukti yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin yang sangat bijaksana. Tak ada satupun yang menyangkalnya termasuk Sayyidina Umar sendiri bahwa perjanjian Hudaibiyah yang dianggap kontroversi itu telah memberikan ketegasan pada kaum Quraisy dalam semua bidang. Sebagai buktinya, setelah perjanjian Hudaibiyah, tiga pahlawan unggulan Quraisy yaitu Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Osman bin Talba memeluk Islam, umat Islam bertambah sebanyak lebih dari lima kali lipat hanya dalam kurun dua tahun saja. Serta runtuhnya kekuasaan Mekkah tanpa pertumpahan darah dua tahun kemudian. Jelaslah sudah bahwa Nabi Muhammad SAW. membuktikan kebijaksanaannya dan memiliki visi dan misi yang jauh ke depan dalam dunia percaturuan politik tanah Arab.

3. Rasulullah SAW. Pemimpin Yang Adil dan Amanah
Nabi Muhammad SAW. meletakkan aqidah, syariat dan akhlak yang mulia sebagai asas kepemimpinannya. Beliau dan sahabatnya menetapkan aturan tertentu semasa perang seperti: tidak memerangi orang lemah, orang tua dan anak-anak serta wanita, tidak memusnahkan harta benda. Beliau juga mengaplikasikan sifat amanah dalam melaksanakan perintah Allah dan juga seluruh umat Islam dalam memimpin. Nabi Muhammad Saw bersifat adil terhadap harta rampasan perang, yaitu dengan membaginya secara rata pada tentara yang turut dalam peperangan dan tidak mengejar musuh yag sudah lari dari medan peperangan. Nabi Muhammad Saw adalah panglima tentara dan ahli strategi. Dengan ilmu dan pengalaman yang luas, beliau berhasil membawa kejayaan kepada tentara Islam.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik kepemimpinan Nabi Muhammad Rasulillah SAW. yang telah terbukti dan diakui dunia sebagai pemimpin yang mampu menciptakan pemerintahan yang bersih yang berwujud negara Islamy yang ideal. Hikmahnya, jika semua pemimpin kita memiliki karakteristik seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. tersebut, tidak mustahil negara Indonesia yang kita cintai ini akan menjadi negara “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur”, gemah ripah repeh rapih yang menjadi harapan dari kita semua, semoga. Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah Sekretaris POKJALUH Kabupaten Cirebon