Laman

Senin, 09 Januari 2017

MENDING NIKAH RESMI BAE JEH !!

(Tanggapan terhadap tulisan Nikah Siri atau Nikah Sirih?)
Oleh : Saeful Malik, S.Ag., MBA
“Mending Nikah Resmi Bae Jeh !!!”, Mungkin kata itu yang akan saya kirim lewat SMS seandainya saya tahu nomor handphonenya Lamsijan. Membaca kegalauan hati Lamsijan yang mempunyai hasrat yang mulia untuk mempersunting siti Markonah yang pernah dimuat diharian tercinta ini beberapa edisi yang lalu, membuat terketuk hati untuk ikut nimbrung ngobrol walaupun hanya sekedar sharing memberikan gambaran kepada Lamsijan dengan harapan dapat meringankan ‘beban pikiran’nya. Kegalauan hati Lamsijan setelah membaca pesan singkat dari Dul Kempot yang menyarankannya untuk melakukan nikah siri cukup beralasan, karena pelaku nikah siri sekarang ini bisa dipidanakan alias bisa mendapat hukuman penjara dan atau denda uang yang tidak sedikit. Walaupun ada sedikit ketidaksetujuan dengan usul dari Dul Kempot tersebut yang memberikan kesan bahwa nikah siri itu sebagai satu-satunya alternatif dari kekurangmampuan Lamsijan dari sisi finansial.
Saat ini Pernikahan siri merupakan topik yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Hampir disetiap pertemuan baik itu tahlilan, marhabanan, arisan atau ketika sekedar kumpul-kumpul dihalaman rumah, pernikahan siri menjadi topik yang jarang terlupakan, tentu saja dengan pro dan kontranya sesuai dengan kadar pengetahuan dan pemahaman masing-masing. Tidak terkecuali Lamsijan yang sampai menanyakan kepada Pak Guru mang Bukori yang memberitahu Lamsijan bahwa pelaku pernikahan siri itu bisa dibui 6 bulan dan di denda jutaan rupiah. Hal yang sangat ditakutkan tidak hanya oleh Lamsijan tetapi juga oleh kita semua.
Sebagaimana yang kita ketahui yang dimaksud dengan nikah siri yang sedang banyak dibicarakan saat ini adalah nikah siri yang cenderung bermakna administratif. Kata nikah siri sendiri berasal dari bahasa Arab al-Nikah al-Sirru artinya nikah yang dilakukan secara rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Yang pada tatanan praktisnya kata nikah siri menjadi idiom yang dimaknakan pernikahan yang tidak tercatat di Lembaga Pencatatan Pernikahan dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil yang akibatnya pengantin tidak memiliki akta nikah. Di dalam fiqh memang tidak dikenal istilah nikah siri, yang ada adalah nikah yang sah dan nikah yang batal atau tidak sah, tergantung dari terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun pernikahan. Jadi walaupun pernikahannya dilakukan –dengan saksi -- para kyai, jika terdaftar di KUA maka pernikahan tersebut bukanlah pernikahan siri, tapi sebaliknya jika ada pernikahan yang disaksikan oleh Pejabat tinggi negara sekalipun jika tidak tercatat atau tidak didaftarkan di KUA bisa dikategorikan nikah siri.
Lalu apa sih untung dan ruginya nikah siri ? kenapa orang banyak melakukan nikah siri ? Ketika bicara tentang untung ruginya nikah siri mungkin akan lebih terlihat jelas ketika menggunakan sudut pandang hukum positif atau tatanan aturan negara, sesuai dengan definisi tadi yang cenderung bersifat administratif. Secara administratif orang yang nikah siri tidak akan mendapatkan akta nikah. Jelas ketika seseorang yang berkeluarga tetapi tidak memiliki akta nikah berarti pernikahannya belum diakui oleh negara, kerugiannya akan dirasakan tidak hanya oleh orang yang bersangkutan akan tetapi juga keturunannya kelak. Bayangkan andai saja Lamsijan jadi nikah siri, dia tidak akan dapat memperpanjang KTP, karena syarat membuat KTP harus adanya surat nikah. Jika Lamsijan tidak mempunyai KTP, maka dia tidak dapat membuat SIM, PASPOR, Kartu Kredit dan lain semisalnya. Lamsijan juga tidak dapat membuat Akta Kelahiran anaknya, karena syaratnya harus ada surat nikah. Dan masih banyak lagi kerugian-kerugian lain yang akan dirasakannya. Sehingga jelas pengakuan pernikahan yang tercatat di KUA akan memberikan keuntungan yang tidak hanya dirasakan oleh pelaku sendiri akan tetapi mungkin sampai “tujuh turunan”nya.
Lalu kenapa banyak orang melakukan nikah siri ? kenapa orang yang nota bene memiliki pengetahuan agama yang lebih banyak melakukan nikah siri ? banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan hal demikian. Yang jelas kita mungkin tidak setuju atas usul dari Dul Kempot yang memberi kesan bahwa satu-satunya alasan nikah siri adalah karena biaya pencatatan nikah yang sangat mahal dan suudzonnya Lamsijan kepada para petugas atau para pemuka agama didaerahnya yang dianggap olehnya lebih memahami agama.
Memang benar ketika Lamsijan mempunyai keinginan untuk menikah ia bertanya ke sana ke sini agar tahu bagaimana dan apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan olehnya. Akan tetapi ketika Lamsijan bertanya mengenai biaya pernikahan yang jawabannya ratusan ribu rupiah, harus dipertegas lagi. Apakah yang dipertanyakan oleh Lamsijan itu “biaya pernikahan” atau biaya pencatatan nikah ? Sebab tentunya berbeda sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkan pernikahan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mencatatkan pelaksanaan pernikahan di KUA. Biaya yang harus dikeluarkan untuk pernikahan bisa jadi tidak cukup dengan ratusan ribu rupiah saja, bahkan seringkali kita mendengar jika selebriti atau orang-orang kaya menghabiskan biaya pernikahannya sampai miliaran rupiah seperti pernikahannya Ardi dan Nia Ramadani. Sedangkan biaya pencatatan nikah berdasarkan PP No. 47 Tahun 2004 adalah tiga puluh ribu rupiah seperti yang dikatakan pak Kuwu.
Yang kedua yang perlu dipertegas lagi adalah Lamsijan bertanyanya kepada siapa? Petugas KUA atau “petugas-petugasan” ? atau jangan-jangan Lamsijan bertanya kepada petugas instansi lain yang tidak tahu tentang masalah pernikahan. Maklumlah seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini hampir di setiap instansi masih saja ada “makelar-makelar “ kasus yang berkeliaran. Coba kalau saja Lamsijan datang ke KUA bertemu dengan pak Naib dan membicarakan masalahnya, tentu jawabannya akan lain. Memang jika Lamsijan akan melaksanakan pernikahan di rumahnya, pada hari libur dan ingin enaknya (tahu beres) atau dengan alasan tidak ada waktu karena harus mempersiapkan walimatul ‘ursy sehingga menitipkan segala prosedur administrasi pencatatan pernikahan kepada orang lain, tentunya sebagai orang timur Lamsijan harus mempertimbangkan transportasi dan akomodasi serta biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh orang tersebut dalam pengurusan prosedur dan persyaratannya. Apalagi tempat tinggal Lamsijan yang jauh baik dari kantor kelurahan, kecamatan ataupun KUA.
Akan tetapi jika Lamsijan sudah memenuhi semua prosedur dan persyaratan pendaftaran pernikahan seperti mengisi formulir pendaftaran di KUA, membawa Surat Keterangan untuk Nikah dan surat keterangan lain (Surat model N1 - N7) dari Kantor Desa/Kelurahan setempat, membawa bukti imunisasi TT bagi calon mempelai Wanita dan pelaksanaan pernikahannya dilakukan di KUA pada hari kerja, mungkin Lamsijan bakal mendapatkan Akta Nikah yang berlaku seumur hidup dan bermanfaat bagi seluruh keluarga serta maslahat dunia akhirat dengan biaya yang jauh lebih rendah dari pembuatan KTP & KK, SIM atau PASPOR yang berlaku hanya 5 tahun dan harus diperpanjang. Bahkan bisa jadi Lamsijan tidak dikenakan biaya sama sekali alias gratis, jika Lamsijan mampu menunjukkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari Desa dan atau Kecamatan setempat. Substansinya adalah bahwa pernikahan itu adalah ibadah maka tidak ada pembebanan dalam ibadah apalagi mempersulitnya.
Sehingga alangkah tidak adilnya jika biaya pencatatan nikah dijadikan kambing hitam untuk melegitimasi atau sekedar alasan melakukan nikah siri. Sebab pada kenyataannya yang melakukan nikah siri lebih banyak dari orang yang mempunyai kelebihan dalam finansial. Kebanyakan nikah siri terjadi karena terbentur masalah. Bisa akibat ketidaktahuan terhadap aturan negara dan atau keinginpraktisan pelaku yang tidak mau melakukan pengurusan administrasi yang biasanya bersifat birokratif. Atau ada juga yang terpaksa melakukan nikah siri karena terbentur Undang-undang tentang poligami atau semisalnya. Sekali lagi janganlah kita memojokkan satu pihak yang padahal telah melakukan tugas mulia yang berimplikasi dunia akhirat. Jika toh kita melihat kekurangannya dan mempunyai saran untuk memperbaikinya, berikanlah masukan dan kritikan dengan cara yang baik dan berimbang. Janganlah kita men-genelarisir satu titik masalah menjadi sebuah kesalahan general. Apalagi sampai kita bersuudzon seperti yang dilakukan Lamsijan, karena khawatirnya suudzon itu dapat menimbulkan fitnah, padahal fitnah merupakan perbuatan yang keji yang implikasinya bisa lebih keji dari pembunuhan. Alangkah mulianya jika Lamsijan dapat berhusnudzon kepada tetua kampung atau orang-orang yang melakukan poligami dan nikah siri, bahwa mereka melakukan hal-hal demikian didasari oleh ilat-ilat yang dibenarkan oleh syara’ tidak bertentangan dengan agama. Toh pada akhirnya kerugian akan dirasakan oleh mereka sendiri, apalagi jika diberlakukannya RUU nikah siri tentunya menjadi jelas aturan hukumnya. Yang perlu Lamsijan lakukan adalah terus menerus mendalami dan memahami Agama Islam secara Kaffah dan jika ada yang tidak tahu atau kurang faham tanyalah pada ahlinya.
Kembali kepada niatan Lamsijan mempersunting Siti Markonah, sekali lagi saya katakan, “mending nikah resmi bae jeh !!!” Karena Lamsijan bisa melakukannya. Lamsijan tinggal datang ke KUA bicara kepada pak Naib, tentunya pak Naib akan bijaksana memberikan solusi yang terbaik. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar