Laman

Minggu, 07 Oktober 2018

BERTAUBATLAH SETIAP SAAT

Bertaubatlah  Setiap Saat

Ya Ahbabal Kirom,
Setiap manusia memang tidak luput dari perbuatan dosa.
Sementara dalam istilah Arab manusia disebut sebagai al-Insan, mahallul khoto’ wan nisyan, "manusia adalah tempat melakukan kesalahan dan lupa."

Maka tugas manusia sebagai seorang hamba tidak lain adalah menyembah dan beribadah kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُون

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat : 56).
Selain itu, yang tidak kalah penting dari tugas manusia adalah bertaubat. Allah berfirman :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung”. (QS. An-Nur : 31).
Juga Firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sungguh, Allah menyukai orang taubat dan menyukai orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah : 222)
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT. menekankan begitu pentingnya taubat bagi manusia. Bagaimana manusia ingin dicintai Allah sementara sifat yang dicintai-Nya tidak dijalankan.
Bagaimana manusia ingin beruntung dunia dan akhirat jika perintah taubat-Nya juga tidak dilakukan.
Pentingnya bertaubat di antaranya didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah :

عَنْ أَبُي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : وَاللَّهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata ‘aku mendengar Rasulullah saw. bersabda “Demi Allah, sungguh aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”’ (HR. Bukhari).

Dalam kesempatan lain Abu Hurairah menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat seoarang pun yang paling banyak beristighfar melainkan Rasulullah saw.
Padahal, semua orang tahu bahwa beliau sudah dijamin masuk surga dan diampuni dosa-dosa yang telah lampau maupun dosa yang akan datang.
Sehingga Aisyah, istri Rasulullah memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, “Wahai rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang”.
Rasul bersabda: “Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur”.
Sungguh mulia tiada tara akhlak rasul. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan tersebut hanya dimiliki oleh makhluk terbaik dan terpilih, nabi Muhammad saw.

Ya Ahbabal Kirom,
Bahaya Maksiat
Beberapa kajian tasawuf menjelaskan bahwa maksiat merupakan perkara yang harus dihindari dan dijauhi.
Karena kemaksiatan akan mengganggu dan menghalang-halangi seseorang untuk ber-taqorrub, mendekatkan diri pada Allah SWT.

Kemaksiatan pula lah yang menjadikan hati seseorang akan semakin gersang dan gelap.
Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberi permisalan bahwa seseorang yang berbuat dosa akan jatuh pada kegelapan. Kemaksiatan diibaratkan sebagai api, sementara kegelapan adalah asapnya.
Sehingga diibaratan jika seseorang membakar rumah selama 70 tahun, yang terjadi adalah rumah menjadi hangus dan gosong sangat hitam. Begitulah kira-kira hati seseorang yang senantiasa jatuh pada lubang kemaksiatan.
Selain itu, para ulama sufi juga menggambarkan bahwa perbuatan maksiat ibarat kendil; ketel baru yang di bawahnya dinyalakan api.
Maka yang terjadi adalah kendil akan berubah warna menjadi hitam walaupun proses menyalakannya cuma sebentar.
Jika dengan segera kendil tersebut dibersihkan, maka hilang lah noda hitam. Namun jika kendil tidak segera dibersihkan dan kemudian digunakan untuk memasak berkali-kali, maka yang terjadi adalah warna hitam semakin pekat dan sulit utk dibersihkan.

Begitulah perbuatan maksiat. Tidak ada cara lain untuk menghapus noda-noda dosa dan kemaksiatan kecuali dengan bertaubat. Karena dengan bertaubat hati menjadi bersih, muncul amal-amal kebaikan, dan aroma diterimanya sebuah amal.
Wallahu a’lam.

ETIKA / ADAB BERTETANGGA

Etika/Adab Bertetangga


Ya Ahbanul Kirom,
Tetangga adalah orang yang paling dekat rumahnya dengan kita. Dalam Islam, tetangga memiliki hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis Rasulullah SAW, seperti hak untuk mendapatkan rasa aman dari gangguan dan sebagainya.
Selain itu, ada sejumlah adab bagi tetangga sebagaimana disebutkan Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Dîn dalam Majmû’ah Rasâil al-Imam al-Ghazâli, sebagai berikut:

آداب الجار: ابتداؤه بالسلام، ولا يطيل معه الكلام، ولا يكثر عليه السؤال، ويعوده في مرضه، ويعزيه في مصيبته، ويهنيه في فرحه، ويتلطف لولده و عبده في الكلام، ويصفح عن زلته، ومعاتبته برفق عند هفوته، ويغض عن حرمته، ويعينه عند صرخته، ولا يديم النظر إلى خادمته

“Adab bertetangga, yakni mendahului berucap salam, tidak lama-lama berbicara, tidak banyak bertanya, menjenguk yang sakit, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah, ikut bergembira atas kegembiraannya, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya, memaafkan kesalahan ucap, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan, menundukkan mata dari memandang istrinya, memberikan pertolongan ketika diperlukan, tidak terus-menerus memandang pembantu perempuannya.”

Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua belas adab bertetangga sebagai berikut:
Pertama, mendahului menyampaikan salam. Orang-orang yang bertetangga dianjurkan saling menyapa ketika bertemu dengan mengucapkan salam.
Tentu saja pihak yang mendahului mengucapkan salam secara akhlak lebih baik dan karenanya mendapatkan kebaikan yang lebih banyak.

Kedua, tidak lama-lama berbicara. Hidup bertetangga tidak bisa lepas dari berbicara satu sama lain. Namun pembicaraan itu sebaiknya tidak kelewat lama.
Hal ini demi kebaikan seperti menghindari ghibah atau menggunjing pihak lain yang bisa menimbulkan fitnah dan sebagainya.

Ketiga, tidak banyak bertanya. Mengajukan pertanyaan seperti, “Mau kemana?” merupakan salah satu cara menyapa yang sudah umum.
Jika pertanyaan tersebut dijawab, ” Mau ke pasar”, maka tidak harus diajukan lagi pertanyaan yang lebih detail seperti, “Mau beli apa?”, sebab hal ini bisa berarti terlalu ingin mengetahui urusan orang lain.
Cukuplah diikuti dengan ungkapan,  ”Silakan” atau dalam bahasa Jawa, “Monggo, nderekaken.”

Keempat, menjenguk yang sakit. Ketika tetangga ada yang sakit, ia berhak dikunjungi. Artinya, tetangga yang tidak sakit berkewajiban mengunjunginya tanpa memandang status sosial pihak yang sakit.
Bertetangga pada dasarnya adalah berteman sehingga kesetaraan di antara mereka harus dijaga dengan baik.

Kelima, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah. Seorang tetangga juga berhak dikunjungi ketika sedang tertimpa musibah terutama kematian anggota keluarganya.
Hal yang sebaiknya dilakukan dalam kujungan takziah adalah ikut berbela sungkawa dengan menunjukkan rasa duka dan mendoakan kebaikan terutama bagi si mayit dan keluarga yang ditinggalkan.

Keenam, ikut bergembira atas kegembiraannya. Tidak sebaiknya seseorang merasa tidak senang atas keberhasilan tetangganya disebabkan iri.
Hal yang justru dianjurkan adalah saling mengucapkan selamat atas keberhasilan sesama tangga.
Dengan cara ini perasaan iri atas keberhasilan tetangga bisa dihindarkan dan pertemanan sesama tentangga dapat terjaga.

Ketujuh, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya. Anak-anak tetangga dan pembantunya merupakan kelompok orang-orang lemah secara sosial sehingga harus dibesarkan hatinya.
Salah satu caranya adalah dengan menghindari cara bicara yang bisa membuat mereka merasa takut.

Kedelapan, memaafkan kesalahan ucap. Memberikan maaf kepada tetangga yang terselip lidah sangat dianjurkan sebab bisa jadi suatu ketika seseorang juga berbuat hal yang sama.
Dengan kata lain saling memaafkan di antara orang-orang yang bertetangga sangat dianjurkan.

Kesembilan, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan. Menegur tetangga yang berbuat salah adalah baik terutama jika kesalahan itu menyangkut kepentingan orang banyak.
Namun demikian teguran itu harus dilakukan dengan cara yang baik sehingga diterima dengan baik. .

Kesepuluh,menundukkan mata dari memandang istrinya. Memandang istri orang lain, terutama tetangga, harus dengan pandangan yang minimalis, yakni misalnya dengan menundukkan kepala.
Hal ini untuk menghindari fitnah, atau timbulnya godaan-godaan yang bersumber dari setan.

Kesebelas, memberikan pertolongan ketika diperlukan. Jika terjadi apa-apa pada seseorang seperti sakit, tertimpa musibah, dan sebagainya, tetanggalah yang lebih dulu mengatahui.
Oleh karena itu, menjadi penting memberikan pertolongan segera atas kesulitan yang dialami tetangga.

Kedua belas, tidak terus menerus memandang pembantu perempuannya. Banyak hal negatif bermula dari pandangan mata.
Maka penting untuk meminimalisir pandangan terhadap pembantu perempuan. Posisinya yang lemah rentan terhadap kekerasan oleh orang-orang di sekitarnya.
Demikianlah kedua belas adab bertetangga sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali. Jika disarikan, maka kedua belas adab tersebut pada intinya menekankan bahwa hidup bertetangga harus saling menghargai, tolong-menolong dan menjaga keharmonisan.
Namun demikian diperlukan sikap hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis agar terhindar dari fitnah.
Wallahu'alam

Rabu, 14 Maret 2018

HATI-HATI DENGAN ANCAMAN ADZAB ALLAH SWT



Jika kita memperhatikan keadaan saat ini, kita pasti merasakan bahwa kita sedang diliputi keprihatinan yang mendalam. Awan kelabu bergelayut di langit negeri ini. Musibah dan bencana alam datang silih berganti, seakan tak mau berhenti. Beberapa waktu terakhir ini, saudara-saudara kita dibeberapa daerah terkena musibah banjir sehingga ribuan orang kehilangan harta benda dan terancam tidak memiliki air bersih. Di beberapa daerah lain terjadi longsor, angin puting beliung yang memporak porandakan banyak tempat tinggal, perkebunan dan memusnahkan binatang ternak. Kabut tebal pun merambah ke banyak tempat, sehingga mengganggu sarana transportasi dan mematikan perekonomian. Sehingga nyaris tiap waktu kita mendapat informasi bahwa puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Puluhan juta orang kebingungan bagaimana mencari makan dan penghidupan. Puluhan orang meninggal mengenaskan karena penyakit dan kesengsaraan. Tidak terhitung jumlahnya anak-anak yang sel-sel otaknya rusak, matanya sayu, perutnya kembung, karena kekurangan gizi dan kelaparan. Kepala kita pusing, perut kita lapar,  hati kita penuh dengan ketakutan. Hukum tidak lagi memberikan jaminan keamanan. Tiba-tiba negeri kita menjadi rimba belantara, kita terhimpit sekaligus oleh bahaya maut di sekitar kita dan beban kemiskinan.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kita mendengar ancaman Allah SWT. Dalam firman-Nya :
قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابٗا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعٗا وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ ٦٥
“Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)" (Q.S. Al An’am : 65)

Dari ayat tersebut, kita mendapatkan bahwa Allah SWT. tengah mengancam kita dengan tiga macam azab; azab dari atas, azab dari bawah dan azab dari antara kita karena perpecahan.
Azab dari atas dapat berupa angin taufan yang ganas yang menyebabkan kebakaran hutan, atau badai yang membawa hujan deras dan mengakibatkan petaka, atau kehancuran lapisan ozon akibat dari efek rumah kaca, atau virus dan berbagai macam penyakit yang disebarkan melalui udara yang senantiasa mengancam kehidupan kita, avian influenza, flu burung, bahkan terakhir ada penyakit yang dinamakan flu Singapura yang telah merambah beberapa daerah di tanah air ini dan penyakit-penyakit lain sebagainya. Pada umat terdahulu, azab berupa halilintar yang ditibakan pada umat yang menentang Nabi Luth as, atau batu-batu api yang memporakpoarandakan tentara gajah, ashabil fiil.
Azab dari bawah bisa muncul berupa banjir baik banjir  air seperti yang terjadi di berbagai daerah di negeri kita, ataupun banjir lumpur panas seperti yang terjadi di Lapindo yang sudah bertahun-tahun mengeluarkan lumpur panas tanpa henti.  Atau terjadi gempa bumi dan Tsunami seperti terjadi di  beberapa daerah akhir-akhir ini. (Tafsir Fakhrurazi, 7 : 24).
Lalu kenapa Allah memberikan ancaman yang begitu mengerikannya? Apakah Allah begitu kejam dan tidak menyayangi umat manusia? Ternyata tidak !!! karena semua adzab tersebut tidak mungkin diturunkan oleh Allah tanpa sebab. Karena Allah berfirman :
ذَٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَيۡسَ بِظَلَّامٖ لِّلۡعَبِيدِ ١٨٢
“… (Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Ali Imron : 182)

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar Rum : 41)

Ayat tersebut mengajak kepada kita semua untuk bermuhasabah, berintrospeksi diri, jangan-jangan kita memiliki andil datangnya musibah dan bencana tersebut. Andil yang menyebabkan musibah tersebut diturunkan oleh Allah SWT sangat banyak. Bisa jadi perilaku kita yang tidak sayang dan menjaga kelestarian alam, seperti menebang pohon sembarangan, membuang sampah di sungai atau ditempat-tempat yang bukan seharusnya, atau perilaku-perilaku lain yang menyebabkan terganggunya kelestarian ekosistem alam. Atau juga perilaku maksiat dan dosa yang kita lakukan dengan mengingkari perintah Allah SWT serta menyenangi dan melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT, sehingga menyebabkan Allah SWT murka kepada kita.
Tentunya, sebagai orang yang beriman dan berfikir logis, kita tidak berharap segala kesengsaraan dan azab tersebut menimpa kita, keluarga kita dan masyarakat kita. Lalu bagaimana kita dapat menghindari ancaman azab Allah tersebut ? Al Quran memberikan keterangan bahwa Allah SWT tidak akan pernah menurunkan azab setidaknya kepada empat kelompok manusia, yaitu :
1.   Kelompok manusia yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dengan selalu merasa diawasi Allah SWT sehingga setiap ucapan, langkah dan tindakkannya selalu didasarkan kepada Al Qur’an, sebagaimana firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat- ayat Kami itu, maka Kami akan siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al-A’raf : 96).
2.   Kelompok manusia yang selalu bersyukur atas berbagai limpahan nikmat dan karunia yang telah Allah SWT.berikan, dengan cara banyak mengingat dan menyebut asma Allah dan memuji-Nya, menyalurkan dan mempergunakan karunia tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Allah SWT. berfirman, “Mengapa Allah menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (Q.S. An-Nisaa : 147)
3.   Kelompok manusia yang selalu bertaubat dan banyak beristighfar, dengan cara banyak membaca istighfar, menjauhi dan tidak melakukan perbuatan dosa dan maksiat, tidak mengulangi perbuatan dosa dan salah yang pernah dilakukan. Allah SWT. berfirman, “Dan Allah sekali-sekali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka beristighfar (meminta ampun)” (Q.S. Al-Anfal: 33)
4.   Kelompok manusia yang senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan dzalim kepada orang lain. Implementasinya adalah dengan menjaga kelestarian ekosistem alam dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Serta belaki adil dan ihsan dalam melakukan muamalah sesama manusia. Sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat baik” (QS. Huud: 117), “…Dan tidak pernah pula Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman” (QS. Al-Qashas: 59).
Tentunya kita sangat yakin, bahwa semua yang termaktub dalam firman-firman-Nya itu merupakan janji Allah SWT, yang tidak akan pernah diingkari-Nya. Oleh karena itu, mulai saay ini marilah kita jadikan diri kita untuk menjadi bagian dari keempat golongan tersebut, kita tingkatkan keimanan dan ketaqwaan kita bertaqarrub dengan amal shalih kita kepada Allah SWT. beristighfar dan ber-istighatsah, memohon ampunan dan pertolongan-Nya, serta senantiasa bersyukur dan berbuat kebaikan. Marilah kita hadapkan hati kita kepada Allah Yang Maha Kuasa. Marilah kita tundukkan kepala kita, kita sujudkan hati kita, kita ulurkan tangan kita. Mari kita bersimpuh menghadapkan seluruh wajah kita kepada Dia Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan. Agar kita dijauhkan dan dihindarkan dari segala bencana, musibah dan adzab yang tentunya kita tidak ingin menerimanya. Aamiin Yaa Mujiibassaailiin. Wallahu’alam bishshowwab.

Kamis, 18 Januari 2018

REVITALISASI SUSCATIN SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN ANGKA PERCERAIAN
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)



Menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Aqad nikah merupakan sebuah komitmen yang dipandang sakral oleh masyarakat. Melalui lembaga pernikahan ini sepasang lelaki dan perempuan mengingkatkan janji untuk sehidup semati, dengan mempergunakan nama Allah SWT.  Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah SWT. dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah SWT. juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho".
Konsekuensi dari ‘aqad nikah  ini adalah munculnya hak dan kewajiban suami isteri. Pada hakikatnya, kewajiban seseorang  merupakan hak yang harus diterima oleh pasangannya. Kewajiban Suami menjadi hak bagi istri untuk menerimanya dan sebaliknya kewajiban seorang istri menjadi hak suami untuk menerimanya. Kewajiban dan hak dari suami istri itu dapat terjadi jika kedua belah pihak melakukan interaksi dan simbiosis yang berimbang dan bersifat saling memberi dan saling menerima (mutualisma).
Namun sayang, pada kenyataannya tak jarang suami-isteri tidak memahami hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membangun relasi yang setara, saling membantu, saling berkasih sayang dengan pasangannya. Realitanya banyak diantara pasangan suami istri yang hanya menuntut “hak”nya tanpa mau memberikan kewajibannya. Sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut berimplikasi terjadinya disharmonis antara keduanya dan akumulasi dari permasalahan itu tidak sedikit mengakibatkan hancurnya ikatan sakral pernikahan dan diakhiri oleh perceraian.
Berbicara mengenai perceraian, ternyata Indonesia merupakan negara yang tingkat perceraian penduduknya cukup tinggi dan senantiasa meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, yang mengatakan bahwa tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya.  Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara. Angka yang cukup fantastis dan sangat besar.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian tadi, dapat diketahui bahwa terjadinya disharmoni dan kurangnya tanggungjawab adalah didasarkan karena banyak para calon pengantin yang tidak memahami apa sebenarnya pernikahan itu. Banyak calon pengantin ketika menjelang waktu pernikahannya sibuk hanya mempersiapkan hal-hal yang bersifat materi untuk berlangsungnya perayaan pernikahan yang meriah. Mereka tidak menyadari dan terkadang melupakan bahwa yang dimaksud rumah tangga itu bukan hanya dihari pernikahannya saja. Rumah tangga yang sebenarnya adalah ribuan hari setelah hari pernikahan tersebut yang harus diarungi bagaikan lautan luas yang riak ombaknya tidak selamanya tenang dan beraturan, karena bisa saja tiba-tiba datang badai menghadang, tsunami dan rintangan-rintangan yang lainnya. Oleh karena itu, seyogyanya para calon pengantin mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan demikian.
Persiapan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh setiap calon pengantin adalah mencari pengetahuan dan pemahaman mengenai pernikahan dan rumah tangga, dari mulai pengertian, hukum dan permasalahannya. Sebab jika seseorang melakukan sesuatu tanpa didasari pengetahuan (ilmu) maka pekerjaan tersebut akan sia-sia dan cenderung menghasilkan permasalahan tanpa mengetahui solusi dari permasalahan tersebut.
Salah satu upaya untuk memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai rumah tangga kepada calon pengantin yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah dengan menyelenggarakan Suscatin (Kursus Calon Pengantin). Dasar dilaksanakannya Suscatin adalah Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam tentang Kursus Calon Pengantin nomor : DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009.
Pengertian Kursus Calon Pengantin (Suscatin) menurut Peraturan Dirjen tersebut adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam waktu singkat kepada catin tentang kehidupan rumah tangga/keluarga. Maksud diterbitkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Penyelengara yang berwenang terhadap pelaksanaan Kursus Catin adalah Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) atau badan dan lembaga lain yang telah mendapat  Akreditasi dari Kementerian Agama. Materi Kursus Catin diberikan sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran yang disampaikan oleh nara sumber terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga sesuai keahlian yang dimiliki dengan metode ceramah, dialog, simulasi dan studi kasus. Materi tersebut meliputi tatacara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami isteri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Sarana penyelenggaraan Kursus Catin seperti silabus, modul, sertifikat tanda lulus peserta dan sarana prasarana lainnya disediakan oleh Kementerian  Agama. Sertifikat tanda lulus bukti kelulusan mengikuti Suscatin merupakan persyaratan pendafataran perkawinan.
Dari Peraturan Dirjen Bimas Islam tersebut kita dapat memahami bahwa pelaksanaan Suscatin merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan.  Dengan harapan dapat memberikan sedikit bekal bagi setiap calon pengantin dan menekan angka perceraian. Karenanya, setiap KUA yang didalamnya terdapat BP-4 diharapkan senantiasa melaksanakan Suscatin ini kepada setiap calon pengantin yang mendaftar.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat kendala, yang penyelesaiannya melibatkan berbagai pihak. Seperti tidak adanya anggaran yang dialokasikan untuk para narasumber dan pengadaan serta penggandaan materi, juga waktu pelaksanaan yang belum sesuai dengan Peraturan Dirjen di atas, karena pada prakteknya masih banyak yang melaksanakan suscatin hanya sebagai formalitas dilaksanakan dengan beberapa jam saja.  Padahal disadari bahwa penyampaian materi kursus tersebut tidak dapat selesai sehari seperti layaknya seminar, tapi semestinya harus lebih intensif,  konprehensip dan terukur. Dengan demikian calon pengantin dapat  benar-benar merasakan manfaatnya.  Kemudian peran “Lebe” untuk memberitahukan kepada setiap calon pengantin pun menjadi hal yang penting agar suscatin dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, alangkah baiknya bila pemerintah pusat merumuskan suatu sistem pembinaan calon pengantin yang lebih representatif dan berdaya guna. Semoga. Wallahu a’lam bish Showwab.