Laman

Rabu, 14 Maret 2018

HATI-HATI DENGAN ANCAMAN ADZAB ALLAH SWT



Jika kita memperhatikan keadaan saat ini, kita pasti merasakan bahwa kita sedang diliputi keprihatinan yang mendalam. Awan kelabu bergelayut di langit negeri ini. Musibah dan bencana alam datang silih berganti, seakan tak mau berhenti. Beberapa waktu terakhir ini, saudara-saudara kita dibeberapa daerah terkena musibah banjir sehingga ribuan orang kehilangan harta benda dan terancam tidak memiliki air bersih. Di beberapa daerah lain terjadi longsor, angin puting beliung yang memporak porandakan banyak tempat tinggal, perkebunan dan memusnahkan binatang ternak. Kabut tebal pun merambah ke banyak tempat, sehingga mengganggu sarana transportasi dan mematikan perekonomian. Sehingga nyaris tiap waktu kita mendapat informasi bahwa puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Puluhan juta orang kebingungan bagaimana mencari makan dan penghidupan. Puluhan orang meninggal mengenaskan karena penyakit dan kesengsaraan. Tidak terhitung jumlahnya anak-anak yang sel-sel otaknya rusak, matanya sayu, perutnya kembung, karena kekurangan gizi dan kelaparan. Kepala kita pusing, perut kita lapar,  hati kita penuh dengan ketakutan. Hukum tidak lagi memberikan jaminan keamanan. Tiba-tiba negeri kita menjadi rimba belantara, kita terhimpit sekaligus oleh bahaya maut di sekitar kita dan beban kemiskinan.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kita mendengar ancaman Allah SWT. Dalam firman-Nya :
قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابٗا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعٗا وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ ٦٥
“Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)" (Q.S. Al An’am : 65)

Dari ayat tersebut, kita mendapatkan bahwa Allah SWT. tengah mengancam kita dengan tiga macam azab; azab dari atas, azab dari bawah dan azab dari antara kita karena perpecahan.
Azab dari atas dapat berupa angin taufan yang ganas yang menyebabkan kebakaran hutan, atau badai yang membawa hujan deras dan mengakibatkan petaka, atau kehancuran lapisan ozon akibat dari efek rumah kaca, atau virus dan berbagai macam penyakit yang disebarkan melalui udara yang senantiasa mengancam kehidupan kita, avian influenza, flu burung, bahkan terakhir ada penyakit yang dinamakan flu Singapura yang telah merambah beberapa daerah di tanah air ini dan penyakit-penyakit lain sebagainya. Pada umat terdahulu, azab berupa halilintar yang ditibakan pada umat yang menentang Nabi Luth as, atau batu-batu api yang memporakpoarandakan tentara gajah, ashabil fiil.
Azab dari bawah bisa muncul berupa banjir baik banjir  air seperti yang terjadi di berbagai daerah di negeri kita, ataupun banjir lumpur panas seperti yang terjadi di Lapindo yang sudah bertahun-tahun mengeluarkan lumpur panas tanpa henti.  Atau terjadi gempa bumi dan Tsunami seperti terjadi di  beberapa daerah akhir-akhir ini. (Tafsir Fakhrurazi, 7 : 24).
Lalu kenapa Allah memberikan ancaman yang begitu mengerikannya? Apakah Allah begitu kejam dan tidak menyayangi umat manusia? Ternyata tidak !!! karena semua adzab tersebut tidak mungkin diturunkan oleh Allah tanpa sebab. Karena Allah berfirman :
ذَٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَيۡسَ بِظَلَّامٖ لِّلۡعَبِيدِ ١٨٢
“… (Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Ali Imron : 182)

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar Rum : 41)

Ayat tersebut mengajak kepada kita semua untuk bermuhasabah, berintrospeksi diri, jangan-jangan kita memiliki andil datangnya musibah dan bencana tersebut. Andil yang menyebabkan musibah tersebut diturunkan oleh Allah SWT sangat banyak. Bisa jadi perilaku kita yang tidak sayang dan menjaga kelestarian alam, seperti menebang pohon sembarangan, membuang sampah di sungai atau ditempat-tempat yang bukan seharusnya, atau perilaku-perilaku lain yang menyebabkan terganggunya kelestarian ekosistem alam. Atau juga perilaku maksiat dan dosa yang kita lakukan dengan mengingkari perintah Allah SWT serta menyenangi dan melakukan apa yang dilarang oleh Allah SWT, sehingga menyebabkan Allah SWT murka kepada kita.
Tentunya, sebagai orang yang beriman dan berfikir logis, kita tidak berharap segala kesengsaraan dan azab tersebut menimpa kita, keluarga kita dan masyarakat kita. Lalu bagaimana kita dapat menghindari ancaman azab Allah tersebut ? Al Quran memberikan keterangan bahwa Allah SWT tidak akan pernah menurunkan azab setidaknya kepada empat kelompok manusia, yaitu :
1.   Kelompok manusia yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dengan selalu merasa diawasi Allah SWT sehingga setiap ucapan, langkah dan tindakkannya selalu didasarkan kepada Al Qur’an, sebagaimana firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat- ayat Kami itu, maka Kami akan siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al-A’raf : 96).
2.   Kelompok manusia yang selalu bersyukur atas berbagai limpahan nikmat dan karunia yang telah Allah SWT.berikan, dengan cara banyak mengingat dan menyebut asma Allah dan memuji-Nya, menyalurkan dan mempergunakan karunia tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Allah SWT. berfirman, “Mengapa Allah menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (Q.S. An-Nisaa : 147)
3.   Kelompok manusia yang selalu bertaubat dan banyak beristighfar, dengan cara banyak membaca istighfar, menjauhi dan tidak melakukan perbuatan dosa dan maksiat, tidak mengulangi perbuatan dosa dan salah yang pernah dilakukan. Allah SWT. berfirman, “Dan Allah sekali-sekali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka beristighfar (meminta ampun)” (Q.S. Al-Anfal: 33)
4.   Kelompok manusia yang senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan dzalim kepada orang lain. Implementasinya adalah dengan menjaga kelestarian ekosistem alam dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Serta belaki adil dan ihsan dalam melakukan muamalah sesama manusia. Sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat baik” (QS. Huud: 117), “…Dan tidak pernah pula Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman” (QS. Al-Qashas: 59).
Tentunya kita sangat yakin, bahwa semua yang termaktub dalam firman-firman-Nya itu merupakan janji Allah SWT, yang tidak akan pernah diingkari-Nya. Oleh karena itu, mulai saay ini marilah kita jadikan diri kita untuk menjadi bagian dari keempat golongan tersebut, kita tingkatkan keimanan dan ketaqwaan kita bertaqarrub dengan amal shalih kita kepada Allah SWT. beristighfar dan ber-istighatsah, memohon ampunan dan pertolongan-Nya, serta senantiasa bersyukur dan berbuat kebaikan. Marilah kita hadapkan hati kita kepada Allah Yang Maha Kuasa. Marilah kita tundukkan kepala kita, kita sujudkan hati kita, kita ulurkan tangan kita. Mari kita bersimpuh menghadapkan seluruh wajah kita kepada Dia Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan. Agar kita dijauhkan dan dihindarkan dari segala bencana, musibah dan adzab yang tentunya kita tidak ingin menerimanya. Aamiin Yaa Mujiibassaailiin. Wallahu’alam bishshowwab.

Kamis, 18 Januari 2018

REVITALISASI SUSCATIN SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN ANGKA PERCERAIAN
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)



Menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Aqad nikah merupakan sebuah komitmen yang dipandang sakral oleh masyarakat. Melalui lembaga pernikahan ini sepasang lelaki dan perempuan mengingkatkan janji untuk sehidup semati, dengan mempergunakan nama Allah SWT.  Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah SWT. dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah SWT. juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho".
Konsekuensi dari ‘aqad nikah  ini adalah munculnya hak dan kewajiban suami isteri. Pada hakikatnya, kewajiban seseorang  merupakan hak yang harus diterima oleh pasangannya. Kewajiban Suami menjadi hak bagi istri untuk menerimanya dan sebaliknya kewajiban seorang istri menjadi hak suami untuk menerimanya. Kewajiban dan hak dari suami istri itu dapat terjadi jika kedua belah pihak melakukan interaksi dan simbiosis yang berimbang dan bersifat saling memberi dan saling menerima (mutualisma).
Namun sayang, pada kenyataannya tak jarang suami-isteri tidak memahami hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membangun relasi yang setara, saling membantu, saling berkasih sayang dengan pasangannya. Realitanya banyak diantara pasangan suami istri yang hanya menuntut “hak”nya tanpa mau memberikan kewajibannya. Sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut berimplikasi terjadinya disharmonis antara keduanya dan akumulasi dari permasalahan itu tidak sedikit mengakibatkan hancurnya ikatan sakral pernikahan dan diakhiri oleh perceraian.
Berbicara mengenai perceraian, ternyata Indonesia merupakan negara yang tingkat perceraian penduduknya cukup tinggi dan senantiasa meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, yang mengatakan bahwa tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya.  Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara. Angka yang cukup fantastis dan sangat besar.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian tadi, dapat diketahui bahwa terjadinya disharmoni dan kurangnya tanggungjawab adalah didasarkan karena banyak para calon pengantin yang tidak memahami apa sebenarnya pernikahan itu. Banyak calon pengantin ketika menjelang waktu pernikahannya sibuk hanya mempersiapkan hal-hal yang bersifat materi untuk berlangsungnya perayaan pernikahan yang meriah. Mereka tidak menyadari dan terkadang melupakan bahwa yang dimaksud rumah tangga itu bukan hanya dihari pernikahannya saja. Rumah tangga yang sebenarnya adalah ribuan hari setelah hari pernikahan tersebut yang harus diarungi bagaikan lautan luas yang riak ombaknya tidak selamanya tenang dan beraturan, karena bisa saja tiba-tiba datang badai menghadang, tsunami dan rintangan-rintangan yang lainnya. Oleh karena itu, seyogyanya para calon pengantin mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan demikian.
Persiapan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh setiap calon pengantin adalah mencari pengetahuan dan pemahaman mengenai pernikahan dan rumah tangga, dari mulai pengertian, hukum dan permasalahannya. Sebab jika seseorang melakukan sesuatu tanpa didasari pengetahuan (ilmu) maka pekerjaan tersebut akan sia-sia dan cenderung menghasilkan permasalahan tanpa mengetahui solusi dari permasalahan tersebut.
Salah satu upaya untuk memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai rumah tangga kepada calon pengantin yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah dengan menyelenggarakan Suscatin (Kursus Calon Pengantin). Dasar dilaksanakannya Suscatin adalah Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam tentang Kursus Calon Pengantin nomor : DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009.
Pengertian Kursus Calon Pengantin (Suscatin) menurut Peraturan Dirjen tersebut adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam waktu singkat kepada catin tentang kehidupan rumah tangga/keluarga. Maksud diterbitkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Penyelengara yang berwenang terhadap pelaksanaan Kursus Catin adalah Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) atau badan dan lembaga lain yang telah mendapat  Akreditasi dari Kementerian Agama. Materi Kursus Catin diberikan sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran yang disampaikan oleh nara sumber terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga sesuai keahlian yang dimiliki dengan metode ceramah, dialog, simulasi dan studi kasus. Materi tersebut meliputi tatacara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami isteri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Sarana penyelenggaraan Kursus Catin seperti silabus, modul, sertifikat tanda lulus peserta dan sarana prasarana lainnya disediakan oleh Kementerian  Agama. Sertifikat tanda lulus bukti kelulusan mengikuti Suscatin merupakan persyaratan pendafataran perkawinan.
Dari Peraturan Dirjen Bimas Islam tersebut kita dapat memahami bahwa pelaksanaan Suscatin merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan.  Dengan harapan dapat memberikan sedikit bekal bagi setiap calon pengantin dan menekan angka perceraian. Karenanya, setiap KUA yang didalamnya terdapat BP-4 diharapkan senantiasa melaksanakan Suscatin ini kepada setiap calon pengantin yang mendaftar.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat kendala, yang penyelesaiannya melibatkan berbagai pihak. Seperti tidak adanya anggaran yang dialokasikan untuk para narasumber dan pengadaan serta penggandaan materi, juga waktu pelaksanaan yang belum sesuai dengan Peraturan Dirjen di atas, karena pada prakteknya masih banyak yang melaksanakan suscatin hanya sebagai formalitas dilaksanakan dengan beberapa jam saja.  Padahal disadari bahwa penyampaian materi kursus tersebut tidak dapat selesai sehari seperti layaknya seminar, tapi semestinya harus lebih intensif,  konprehensip dan terukur. Dengan demikian calon pengantin dapat  benar-benar merasakan manfaatnya.  Kemudian peran “Lebe” untuk memberitahukan kepada setiap calon pengantin pun menjadi hal yang penting agar suscatin dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, alangkah baiknya bila pemerintah pusat merumuskan suatu sistem pembinaan calon pengantin yang lebih representatif dan berdaya guna. Semoga. Wallahu a’lam bish Showwab.

Senin, 13 November 2017

BANGUNAN ISLAM YANG LUAS




Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*


Islam sebagai suatu agama dapat dipandang luas ataupun sempit. Orang akan memiliki pandangan yang luas atau sempit tentang Islam tergantung dari pengetahuan dan persfektif yang digunakannya. Prof. Dr. H. Adang Jumhur, M.Ag, pernah menganalogikan bahwa Islam bagaikan sebuah bangunan atau sebuah rumah. Dimana rata-rata rumah memiliki beberapa ruang ; ada ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang kamar tidur, ruang dapur serta ruang kamar mandi dan WC.  Bila ada rumah yang tidak ada ruang tamunya, atau tidak ada kamar mandi dan WC-nya, tentu akan dianggap tidak lengkap dan dirasakan tidak nyaman.
Bangunan Islam juga terdiri atas beberapa ruang. Ada ruang aqidah atau kalam, ruang muamalat, ruang akhlak, ruang tashawuf, dan ada ruang fiqh atau hukum. Di dalamnya, juga ada ruang NU, ruang Muhammadiyah, Persis, PUI, MUI, FPI, dan lain-lain. Sebagaimana layaknya sebuah rumah, bangunan Islam dapat dianggap tidak Iengkap bila tidak ada ajaran aqidah atau akhlaknya; dan akan dirasakan tidak menarik bila rumah Islam tidak ada NU atau Muhammadiyahnya.
Ketika seseorang memasuki sebuah rumah, ia akan melihat banyak hal dalam bangunan itu, tergantung ruang mana yang dimasukinya. Ketika berada di ruang tamu, maka yang akan terlihat adalah fasilitas yang ada di ruang itu, seperti kursi dan meja tamu serta beberapa hiasan aksesoris yang ada di sana. Ketika di ruang tengah pasti yang terlihat akan Iebih banyak lagi, demikian seterusnya ketika memasuki ruang-ruang lain yang ada dalam bangunan itu, maka yang terlihat adalah benda-benda yang ada pada masing-masing ruang tersebut. Sangatlah beruntung bila ada orang berkesempatan melihat seluruh ruangannya, dan bisa tinggal lama di setiap ruangannya, sebab ia akan melihat dan memahami hampir seluruh benda yang ada dalam bangunan itu. Orang itu boleh jadi akan menyatakan bahwa bangunan itu sangat luas, dan banyak hal di dalamnya. Tentu akan berbeda kesan dan komentarnya, dengan orang yang hanya masuk dan berada di ruang tamu saja, atau yang masuk kamar tidur saja. Orang ini hanya bisa menyebut beberapa benda yang ada di dua ruang itu, yang luas pandangan dan jumlah benda yang dilihatnya terbatas beberapa jenis saja.
Orang bisa berbicara tentang Islam seluas atau sesempit pengetahuannya, tergantung seberapa banyak ruang Islam yang dimasukinya, bidang  keislaman  yang dipelajarinya, dan seberapa lama berada di masing-masing  ruang  dan  bidang kajiannya itu. Ketika orang masuk wilayah kajian fiqh, maka yang nampak itu adalah kitab-kitab dan masalah­-masalah fiqh. Sehingga, apa pun akan dilihat dari perspektif fiqh. Akhirnya, mungkin saja orang itu akan berkata bahwa Islam itu tak lain adalah fiqh. Substansi Islam yang paling penting adalah fiqh. Maka, pelajarilah fiqh, sebab fiqhlah yang akan menjadi jalan keselamatan manusia di dunia dan di akhirat. Orang yang masuk bidang aqidah dan tashawuf, tentu akan Iebih banyak bertemu dengan kitab-kitab dan guru-guru tashawuf. la pun akan menyatakan bahwa subtansi Islam itu adalah tashawuf. Tashawuflah yang akan mengantarkan manusia pada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, bahkan mengantarkan pada puncak kebahagiaan yang sejati. Begitulah seterusnya dengan orang yang masuk pada bidang-bidang Islam lainnya.
Orang yang sejak lahir hidup dan dibesarkan di lingkungan NU misalnya, tentu yang terlihat adalah Islam NU. Kitab dan buku-buku yang dibacanya hanyalah kitab dan buku-buku NU. la pun memperoleh pelajaran dari guru-guru dan para kiayi NU. Maka, tata cara beribadah, ritual dan aktivitas keagamaannya sesuai dengan tradisi yang hidup dan berkembang di lingkungan jamaah NU. Wajarlah bila kemudian orang itu berpandangan bahwa NU adalah Islam, dan Islam adalah NU. Wajar pula jika kemudian ia berkeyakinan bahwa Islam yang benar adalah Islam NU, bahwa NU-Iah satu-satunya jalan keselamatan, maka ia pun berani mati untuk membelanya_
Demikian pulalah sikap orang yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah dan Persis. Islam menurut mereka adalah Muhammadiyah dan Persis. ltulah lslam yang benar, dan itulah satu-satunya jalan keselamatan. Maka, pantaslah bila mereka berseru: "masuklah Muhammadiyah", kata si Muhammadiyah; dan kata si Persis, "masuklah Persis. Janganlah keluar darinya. Maka, pantas pula bila kemudian mereka pun melakukan sosialisasi, merekrut anggota dan melakukan pembinaan, bahkan rela berkorban untuk membela dan mempertahankan aqidah dan eksistensi organisasinya itu. Demikian seterusnya dengan orang yang ada pada organisasi keagamaan Islam lainnya.
Persoalannya sekarang, betulkah bahwa Islam itu adalah fiqh? Islam itu adalah akhlak dan tashawuf? Benarkah bahwa Islam itu adalah NU. Islam itu adalah Muhammadiyah dan Persis, atau ormas keagamaan lainnya? Tentu Anda akan menjawab, bahwa Islam tidaklah identik atau sama sebangun dengan fiqh dan akhlak tashawuf, atau bidang kajian Islam lainnya. Islam pasti diyakini lebih luas dari sekedar masing-masing bidang itu. Islam terdiri atas berbagai­ aspek, di antaranya adalah fiqh dan akhlak tashawuf.
Pertanyaan berikutnya, benarkah Islam itu sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis atau ormas islam lainnya? Tentu Anda pun akan menjawab, bahwa Islam tidak identik dengan NU atau Muhammadiyah. Islam lebih luas dari sekedar NU, Muhammadiyah, dan Persis. Islam terdiri atas NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla'ul Anwar, MUI, FUI dan sebagainya. Betul, bahwa semua ormas itu adalah Islam, tapi bukan sebaliknya. Islam tidaklah identik dengan ormas. Islam bukanlah hanya NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya itu. Maka, seseorang tetap disebut Islam atau Muslim ketika ia masuk atau tidak masuk NU, Muhammadiyah dan Persis, atau yang lainnya. Orang pun bisa masuk Islam melalui atau tidak melalui pintu NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Orang pun boleh berada atau tidak berada di dalamnya, baik sebentar atau berlama-lama, boleh masuk dan boleh keluar, tanpa harus merasa berdosa atau bersalah, apalagi menyalahkan orang lain.
Yang ingin dikatakan dalam tulisan ini adalah bahwa Islam itu sangatlah luas. Jangan direduksi menjadi bidang-bidang kajian tertentu saja. Islam itu luas, maka janganlah dipersempit menjadi organisasi keagamaan tertentu saja. Tulisan ini juga ingin mengatakan bahwa, tidak ada yang mutlak “benar” sesuatu yang difahami seseorang, karena bisa jadi seseorang tersebut baru memahami hanya satu bidang atau satu ruangan dari bangunan Islam yang luas, sehingga masih ada “kemungkinan benar” tentang Islam jika dilihat pada persfektif ruang yang lain.
Islam itu luas, janganlah dipersempit dengan pamahaman Islam seseorang atau sejumlah orang saja. Janganlah pemahaman seseorang atau sejumlah orang tentang Islam divonis sama sebangun dengan Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Sekali lagi, bahwa pemahaman orang atau sejumlah orang tentang Islam hanyalah salah satu kemungkinan benar tentang Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.
Islam yang luas adalah Islam yang meliputi bidang ibadah dan muamalah, bidang aqidah dan syariah, bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi ajarannya, sumber-sumber ajarannya, penganutnya, organisasinya, sejarahnya, pemahaman umatnya, dan seterusnya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla'ul Anwar, dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang pelangi dan warna warni, yang mengakomodasi semua nilai benar, segala kebajikan, keadilan, kemaslahatan, kebersamaan, keselamatan, kedamaian, kepatuhan dan ketundukkan pada Ilahy. Wallahu a'lam.