Laman

Kamis, 18 Januari 2018

REVITALISASI SUSCATIN SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN ANGKA PERCERAIAN
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)



Menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Aqad nikah merupakan sebuah komitmen yang dipandang sakral oleh masyarakat. Melalui lembaga pernikahan ini sepasang lelaki dan perempuan mengingkatkan janji untuk sehidup semati, dengan mempergunakan nama Allah SWT.  Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah SWT. dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah SWT. juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho".
Konsekuensi dari ‘aqad nikah  ini adalah munculnya hak dan kewajiban suami isteri. Pada hakikatnya, kewajiban seseorang  merupakan hak yang harus diterima oleh pasangannya. Kewajiban Suami menjadi hak bagi istri untuk menerimanya dan sebaliknya kewajiban seorang istri menjadi hak suami untuk menerimanya. Kewajiban dan hak dari suami istri itu dapat terjadi jika kedua belah pihak melakukan interaksi dan simbiosis yang berimbang dan bersifat saling memberi dan saling menerima (mutualisma).
Namun sayang, pada kenyataannya tak jarang suami-isteri tidak memahami hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk membangun relasi yang setara, saling membantu, saling berkasih sayang dengan pasangannya. Realitanya banyak diantara pasangan suami istri yang hanya menuntut “hak”nya tanpa mau memberikan kewajibannya. Sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut berimplikasi terjadinya disharmonis antara keduanya dan akumulasi dari permasalahan itu tidak sedikit mengakibatkan hancurnya ikatan sakral pernikahan dan diakhiri oleh perceraian.
Berbicara mengenai perceraian, ternyata Indonesia merupakan negara yang tingkat perceraian penduduknya cukup tinggi dan senantiasa meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, yang mengatakan bahwa tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya.  Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara. Angka yang cukup fantastis dan sangat besar.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian tadi, dapat diketahui bahwa terjadinya disharmoni dan kurangnya tanggungjawab adalah didasarkan karena banyak para calon pengantin yang tidak memahami apa sebenarnya pernikahan itu. Banyak calon pengantin ketika menjelang waktu pernikahannya sibuk hanya mempersiapkan hal-hal yang bersifat materi untuk berlangsungnya perayaan pernikahan yang meriah. Mereka tidak menyadari dan terkadang melupakan bahwa yang dimaksud rumah tangga itu bukan hanya dihari pernikahannya saja. Rumah tangga yang sebenarnya adalah ribuan hari setelah hari pernikahan tersebut yang harus diarungi bagaikan lautan luas yang riak ombaknya tidak selamanya tenang dan beraturan, karena bisa saja tiba-tiba datang badai menghadang, tsunami dan rintangan-rintangan yang lainnya. Oleh karena itu, seyogyanya para calon pengantin mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan demikian.
Persiapan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh setiap calon pengantin adalah mencari pengetahuan dan pemahaman mengenai pernikahan dan rumah tangga, dari mulai pengertian, hukum dan permasalahannya. Sebab jika seseorang melakukan sesuatu tanpa didasari pengetahuan (ilmu) maka pekerjaan tersebut akan sia-sia dan cenderung menghasilkan permasalahan tanpa mengetahui solusi dari permasalahan tersebut.
Salah satu upaya untuk memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai rumah tangga kepada calon pengantin yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah dengan menyelenggarakan Suscatin (Kursus Calon Pengantin). Dasar dilaksanakannya Suscatin adalah Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam tentang Kursus Calon Pengantin nomor : DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009.
Pengertian Kursus Calon Pengantin (Suscatin) menurut Peraturan Dirjen tersebut adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam waktu singkat kepada catin tentang kehidupan rumah tangga/keluarga. Maksud diterbitkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Penyelengara yang berwenang terhadap pelaksanaan Kursus Catin adalah Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) atau badan dan lembaga lain yang telah mendapat  Akreditasi dari Kementerian Agama. Materi Kursus Catin diberikan sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran yang disampaikan oleh nara sumber terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga sesuai keahlian yang dimiliki dengan metode ceramah, dialog, simulasi dan studi kasus. Materi tersebut meliputi tatacara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami isteri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Sarana penyelenggaraan Kursus Catin seperti silabus, modul, sertifikat tanda lulus peserta dan sarana prasarana lainnya disediakan oleh Kementerian  Agama. Sertifikat tanda lulus bukti kelulusan mengikuti Suscatin merupakan persyaratan pendafataran perkawinan.
Dari Peraturan Dirjen Bimas Islam tersebut kita dapat memahami bahwa pelaksanaan Suscatin merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan.  Dengan harapan dapat memberikan sedikit bekal bagi setiap calon pengantin dan menekan angka perceraian. Karenanya, setiap KUA yang didalamnya terdapat BP-4 diharapkan senantiasa melaksanakan Suscatin ini kepada setiap calon pengantin yang mendaftar.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat kendala, yang penyelesaiannya melibatkan berbagai pihak. Seperti tidak adanya anggaran yang dialokasikan untuk para narasumber dan pengadaan serta penggandaan materi, juga waktu pelaksanaan yang belum sesuai dengan Peraturan Dirjen di atas, karena pada prakteknya masih banyak yang melaksanakan suscatin hanya sebagai formalitas dilaksanakan dengan beberapa jam saja.  Padahal disadari bahwa penyampaian materi kursus tersebut tidak dapat selesai sehari seperti layaknya seminar, tapi semestinya harus lebih intensif,  konprehensip dan terukur. Dengan demikian calon pengantin dapat  benar-benar merasakan manfaatnya.  Kemudian peran “Lebe” untuk memberitahukan kepada setiap calon pengantin pun menjadi hal yang penting agar suscatin dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, alangkah baiknya bila pemerintah pusat merumuskan suatu sistem pembinaan calon pengantin yang lebih representatif dan berdaya guna. Semoga. Wallahu a’lam bish Showwab.

Senin, 13 November 2017

BANGUNAN ISLAM YANG LUAS




Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*


Islam sebagai suatu agama dapat dipandang luas ataupun sempit. Orang akan memiliki pandangan yang luas atau sempit tentang Islam tergantung dari pengetahuan dan persfektif yang digunakannya. Prof. Dr. H. Adang Jumhur, M.Ag, pernah menganalogikan bahwa Islam bagaikan sebuah bangunan atau sebuah rumah. Dimana rata-rata rumah memiliki beberapa ruang ; ada ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang kamar tidur, ruang dapur serta ruang kamar mandi dan WC.  Bila ada rumah yang tidak ada ruang tamunya, atau tidak ada kamar mandi dan WC-nya, tentu akan dianggap tidak lengkap dan dirasakan tidak nyaman.
Bangunan Islam juga terdiri atas beberapa ruang. Ada ruang aqidah atau kalam, ruang muamalat, ruang akhlak, ruang tashawuf, dan ada ruang fiqh atau hukum. Di dalamnya, juga ada ruang NU, ruang Muhammadiyah, Persis, PUI, MUI, FPI, dan lain-lain. Sebagaimana layaknya sebuah rumah, bangunan Islam dapat dianggap tidak Iengkap bila tidak ada ajaran aqidah atau akhlaknya; dan akan dirasakan tidak menarik bila rumah Islam tidak ada NU atau Muhammadiyahnya.
Ketika seseorang memasuki sebuah rumah, ia akan melihat banyak hal dalam bangunan itu, tergantung ruang mana yang dimasukinya. Ketika berada di ruang tamu, maka yang akan terlihat adalah fasilitas yang ada di ruang itu, seperti kursi dan meja tamu serta beberapa hiasan aksesoris yang ada di sana. Ketika di ruang tengah pasti yang terlihat akan Iebih banyak lagi, demikian seterusnya ketika memasuki ruang-ruang lain yang ada dalam bangunan itu, maka yang terlihat adalah benda-benda yang ada pada masing-masing ruang tersebut. Sangatlah beruntung bila ada orang berkesempatan melihat seluruh ruangannya, dan bisa tinggal lama di setiap ruangannya, sebab ia akan melihat dan memahami hampir seluruh benda yang ada dalam bangunan itu. Orang itu boleh jadi akan menyatakan bahwa bangunan itu sangat luas, dan banyak hal di dalamnya. Tentu akan berbeda kesan dan komentarnya, dengan orang yang hanya masuk dan berada di ruang tamu saja, atau yang masuk kamar tidur saja. Orang ini hanya bisa menyebut beberapa benda yang ada di dua ruang itu, yang luas pandangan dan jumlah benda yang dilihatnya terbatas beberapa jenis saja.
Orang bisa berbicara tentang Islam seluas atau sesempit pengetahuannya, tergantung seberapa banyak ruang Islam yang dimasukinya, bidang  keislaman  yang dipelajarinya, dan seberapa lama berada di masing-masing  ruang  dan  bidang kajiannya itu. Ketika orang masuk wilayah kajian fiqh, maka yang nampak itu adalah kitab-kitab dan masalah­-masalah fiqh. Sehingga, apa pun akan dilihat dari perspektif fiqh. Akhirnya, mungkin saja orang itu akan berkata bahwa Islam itu tak lain adalah fiqh. Substansi Islam yang paling penting adalah fiqh. Maka, pelajarilah fiqh, sebab fiqhlah yang akan menjadi jalan keselamatan manusia di dunia dan di akhirat. Orang yang masuk bidang aqidah dan tashawuf, tentu akan Iebih banyak bertemu dengan kitab-kitab dan guru-guru tashawuf. la pun akan menyatakan bahwa subtansi Islam itu adalah tashawuf. Tashawuflah yang akan mengantarkan manusia pada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, bahkan mengantarkan pada puncak kebahagiaan yang sejati. Begitulah seterusnya dengan orang yang masuk pada bidang-bidang Islam lainnya.
Orang yang sejak lahir hidup dan dibesarkan di lingkungan NU misalnya, tentu yang terlihat adalah Islam NU. Kitab dan buku-buku yang dibacanya hanyalah kitab dan buku-buku NU. la pun memperoleh pelajaran dari guru-guru dan para kiayi NU. Maka, tata cara beribadah, ritual dan aktivitas keagamaannya sesuai dengan tradisi yang hidup dan berkembang di lingkungan jamaah NU. Wajarlah bila kemudian orang itu berpandangan bahwa NU adalah Islam, dan Islam adalah NU. Wajar pula jika kemudian ia berkeyakinan bahwa Islam yang benar adalah Islam NU, bahwa NU-Iah satu-satunya jalan keselamatan, maka ia pun berani mati untuk membelanya_
Demikian pulalah sikap orang yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah dan Persis. Islam menurut mereka adalah Muhammadiyah dan Persis. ltulah lslam yang benar, dan itulah satu-satunya jalan keselamatan. Maka, pantaslah bila mereka berseru: "masuklah Muhammadiyah", kata si Muhammadiyah; dan kata si Persis, "masuklah Persis. Janganlah keluar darinya. Maka, pantas pula bila kemudian mereka pun melakukan sosialisasi, merekrut anggota dan melakukan pembinaan, bahkan rela berkorban untuk membela dan mempertahankan aqidah dan eksistensi organisasinya itu. Demikian seterusnya dengan orang yang ada pada organisasi keagamaan Islam lainnya.
Persoalannya sekarang, betulkah bahwa Islam itu adalah fiqh? Islam itu adalah akhlak dan tashawuf? Benarkah bahwa Islam itu adalah NU. Islam itu adalah Muhammadiyah dan Persis, atau ormas keagamaan lainnya? Tentu Anda akan menjawab, bahwa Islam tidaklah identik atau sama sebangun dengan fiqh dan akhlak tashawuf, atau bidang kajian Islam lainnya. Islam pasti diyakini lebih luas dari sekedar masing-masing bidang itu. Islam terdiri atas berbagai­ aspek, di antaranya adalah fiqh dan akhlak tashawuf.
Pertanyaan berikutnya, benarkah Islam itu sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis atau ormas islam lainnya? Tentu Anda pun akan menjawab, bahwa Islam tidak identik dengan NU atau Muhammadiyah. Islam lebih luas dari sekedar NU, Muhammadiyah, dan Persis. Islam terdiri atas NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla'ul Anwar, MUI, FUI dan sebagainya. Betul, bahwa semua ormas itu adalah Islam, tapi bukan sebaliknya. Islam tidaklah identik dengan ormas. Islam bukanlah hanya NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya itu. Maka, seseorang tetap disebut Islam atau Muslim ketika ia masuk atau tidak masuk NU, Muhammadiyah dan Persis, atau yang lainnya. Orang pun bisa masuk Islam melalui atau tidak melalui pintu NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Orang pun boleh berada atau tidak berada di dalamnya, baik sebentar atau berlama-lama, boleh masuk dan boleh keluar, tanpa harus merasa berdosa atau bersalah, apalagi menyalahkan orang lain.
Yang ingin dikatakan dalam tulisan ini adalah bahwa Islam itu sangatlah luas. Jangan direduksi menjadi bidang-bidang kajian tertentu saja. Islam itu luas, maka janganlah dipersempit menjadi organisasi keagamaan tertentu saja. Tulisan ini juga ingin mengatakan bahwa, tidak ada yang mutlak “benar” sesuatu yang difahami seseorang, karena bisa jadi seseorang tersebut baru memahami hanya satu bidang atau satu ruangan dari bangunan Islam yang luas, sehingga masih ada “kemungkinan benar” tentang Islam jika dilihat pada persfektif ruang yang lain.
Islam itu luas, janganlah dipersempit dengan pamahaman Islam seseorang atau sejumlah orang saja. Janganlah pemahaman seseorang atau sejumlah orang tentang Islam divonis sama sebangun dengan Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Sekali lagi, bahwa pemahaman orang atau sejumlah orang tentang Islam hanyalah salah satu kemungkinan benar tentang Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.
Islam yang luas adalah Islam yang meliputi bidang ibadah dan muamalah, bidang aqidah dan syariah, bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi ajarannya, sumber-sumber ajarannya, penganutnya, organisasinya, sejarahnya, pemahaman umatnya, dan seterusnya. Islam yang luas adalah Islam yang meliputi NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matla'ul Anwar, dan sebagainya. Islam yang luas adalah Islam yang pelangi dan warna warni, yang mengakomodasi semua nilai benar, segala kebajikan, keadilan, kemaslahatan, kebersamaan, keselamatan, kedamaian, kepatuhan dan ketundukkan pada Ilahy. Wallahu a'lam.

Senin, 09 Januari 2017

KARAKTERISTIK GENERASI RABBI RADHIYYA

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*


Keberadaan pemuda pada suatu bangsa memegang peranan yang sangat penting. Pemuda adalah suatu generasi yang memiliki peranan luar biasa sebagai “avant garde” (ujung tombak) perubahan dan menjadi tonggak kebangkitan lahirnya kesadaran “berbangsa”. Yang pada sejarah bangsa Indonesia, peran tersebut dapat dilihat sejak para pemuda membuat “komunike politik kebangsaan” 28 Oktober 1928, dengan sumpahnya yang menekadkan “Satu tumpah darah (tanah air), satu bangsa, dan satu bahasa”.
Pemuda juga dianggap sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol sosial (Agent of Social Control). Sehingga berbagai hal menyangkut perubahan dan pembangunan, selalu dikaitkan dengan adanya campur tangan pemuda. Hal ini dapat dibuktikan ketika kita membuka lembaran sejarah dunia, di berbagai belahan dunia perubahan sosial politik menempatkan pemuda di garda depan. Peranannya menyeluruh, tak hanya menjadi seperti mata air, tapi juga hulu, hilir sampai muara.
Pemuda diakui memiliki kekuatan atau energi, serta semangat dan kemampuan untuk mengerahkan segala potensi dan juga siap berkorban, yang kesemuanya merupakan kunci kebangkitan suatu bangsa, karena tidak akan ada kebangkitan tanpa dengannya, dan tidak akan merentas berbagai kendala dan hambatan kecuali dengan memiliki potensi yang dimilikinya. Sekali lagi sejarah membuktikan itu, sampai-sampai Bung Karno (Presiden Pertama RI) dalam salah satu pidatonya mengungkapkan kata-kata pengobar semangat “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia.” (Nabil Abdurrahman, 2009, hal. 4).
Keberadaan pemuda juga menempati posisi yang strategis, karena pemuda merupakan suatu generasi yang menjembatani antara generasi kanak-kanak dan generasi orang tua. Yang secara fisik masih prima, secara emosional memiliki keberanian yang tinggi dan secara intelektual memiliki idealisme yang masih murni, kreatif, dinamis dan inovatif bagi perubahan sosial politik suatu bangsa. Sehingga pemuda dianggap sebagai calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan menjadi tumpuan harapan dalam mengurus dan memecahkan permasalahan bangsa. Inna fii yadis subbaan amral ummah wa fii aqdamihaa hayaatahaa, sesungguhnya urusan ummat terletak di tangan para pemuda dan kehidupan umat (juga) terletak pada keberanian para pemuda.
Lalu pemuda seperti apa yang dapat menjadi tumpuan harapan dalam mengatur dan memecahkan permasalahan bangsa sehingga mampu mewujudkan suatu bangsa yang ideal yang menjadi cita-cita dari setiap hati manusia ? tentunya kita sebagai bagian dari masyarakat memiliki keinginan agar rakyat bangsa ini, selamat dunia dan akhirat, menjadi masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, diberkahi dan diridloi Allah (baldatun thayyibatun warabbun ghafur). Hal ini disebabkan karena baldatun thayyibatun warabbun ghafur adalah merupakan cita-cita tertinggi masyarakat.
Al Quran menginformasikan bahwa generasi muda yang dapat mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur adalah generasi yang senantiasa mencari keridhoan Allah SWT. sehingga Allah pun mencurahkan keridhoanNya kepada mereka. Al Quran mengistilahkannya dengan generasi Rabbi Radhiyya, generasi yang diridhai Tuhannya. Seperti termaktub dalam QS. Maryam ayat 6, ketika Allah SWT. Menceritakan harapan Nabi Zakaria AS. Yang ingin diberikan keturunan sebagai generasi yang mewarisi kenabiannya dan generasi yang diridhai Allah SWT. Yaritsunii wa yaritsu aali Ya’quub waj’alhu Rabbi Radhiyya.
Siapakah generasi Rabbi Radhiyya itu? Al Quran kemudian memaparkan karakteristik dari generasi Rabbi Radhiyya ini ketika menceritakan keadaan Nabi Yahya AS. yang menjadi Ikon dari generasi ini, diantaranya ;
Pertama, Khudil Kitaaba bi quwwah (QS. Maryam : 12), yaitu generasi muda yang senantiasa memegang erat kitab Allah. Artinya segala pemikiran, sikap dan tindakannya senantiasa berdasarkan kepada aturan-aturan Allah SWT.
Kedua, Wa ataynaahul hukma shabiyya (QS. Maryam : 12) “Kami berikan kepadanya kebijaksanaan saat masih belia" ayat ini menceritakan keadaan Nabi Yahya AS. ketika beliau masih kanak-kanak memiliki fikiran dan kebijaksanaan yang sudah matang. Sehingga pada suatu riwayat yang disampaikan Ma’mar suatu hari teman-temannya mengajaknya bermain-main, Nabi Yahya AS. Menolak dengan mengatakan, “saya dijadikan Tuhan bukan untuk bermain-main." Artinya generasi yang senantiasa mempergunakan masa mudanya tidak hanya untuk mencari kesenangan duniawi akan tetapi dipergunakan untuk memahami hikmah dan menuntut ilmu pengetahuan.
Ketiga, Wa hanaanan min Ladunna wa zakah, wa kaana taqiyya (QS. Maryam : 13) generasi yang diberi rahmat dan rasa belas kasihan yang mendalam dari Tuhannya dan kesucian (dan dosa) dan ia adalah seorang yang bertaqwa. Artinya generasi yang selalu menjaga dirinya untuk senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah SWT. dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Keempat, Wa barran bi waalidayhi wa lam yakun jabbaran ‘ashiyya (QS. Maryam : 14) yaitu generasi yang senantiasa berbakti kepada orang tua dan memiliki sifat yang mulia yang jauh dari kesombongan dan perilaku durhaka (senantiasa menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan maksiat).
Kemudian Allah SWT. menutup paparan mengenai karakteristik Nabi Yahya AS. sebagai simbol dari generasi Rabbi Radhiyya ini, dengan ungkapan yang begitu indah, wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun, kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali. Artinya, jika generasi muda mampu memiliki karakteristik di atas maka Allah SWT. menjanjikan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Kesejahteraan di dunia berupa terwujudnya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur, kesejahteraan di akhirat berupa wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaban naar. Semoga kita termasuk didalamnya. Wallahu A’lam.

MENGEMBALIKAN FUNGSI MASJID SEBAGAI JANTUNG KEHIDUPAN

Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*


Para ulama banyak memberikan perumpamaan kedudukan masjid disuatu kampung bagaikan jantung di dalam tubuh manusia. Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada yang keberadaannya paling vital dan berfungsi terus menerus selama manusia itu hidup. Semua organ tubuh dalam satu hari ada istirahanya kecuali jantung. Dia mulai berdetak 24 jam sehari sejak seseorang berusia 4 bulan di dalam rahim ibunya, tidak berhenti sekejap pun sampai dia meninggal. Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru ditambah nutrisi dan zat-zat penting lainnya yang bersumber dari makanan dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh .
Saking pentingnya, banyak ahli medis sepakat bahwa kesehatan seseorang dapat dideteksi dari kesehatan jantung dan darah yang dipompakannya. Jika jantung mengalami gangguan baik itu karena mengalami mal fungsi Jantung (heart failure) ataupun karena adanya penyumbatan pembuluh darah koroner (atherosclerosis) maka darah tidak akan lancar mengalir didalam tubuh. Sehingga akibatnya adalah tubuh akan kekurangan oksigen dan zat-zat nutrisi yang sangat dibutuhkannya. Banyak penyakit yang timbul dari implikasi ini, seperti myocard impact, darah tinggi, sampai stroke. Begitupun darah yang tidak seimbang kandungan zatnya, seperti kebanyakan kadar gula akan menyebabkan diabetes mellitus, kekurangan zat besi menyebabkan darah rendah dan lain sebagainya. Bahkan menurut NCEP ATP III (National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Program) Amerika Serikat menyebutkan bahwa penyakit yang timbul dari gangguan jantung koroner merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia melebihi kanker.
Islam pun berpandangan demikian, sampai-sampai Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging; jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya; bongkahan daging itu adalah QALBU (jantung)”. (diriwayatkan dari Abu Nu’aym).
Begitu pula jika kita menganalogikan bahwa kampung itu sebagai tubuh, masjid sebagai jantungnya dan penduduknya bagaikan darah yang mengalir, maka keberadaan masjid menjadi sangat vital. Masjid merupakan suatu tempat yang berfungsi sebagai sarana penyucian diri dan pembekalan hikmah (nutrisi) bagi orang-orang yang senantiasa memakmurkannya. Rasulullah bersabda, "Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri" (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdillah).
Bagaikan jantung yang menjadi pangkal beredarnya darah segar dan mengembalikan darah kotor, fungsi masjid juga seharusnya menjadi pangkal tempat Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh. Kita bisa melihat sejarah di zaman Rasulullah SAW., bahwa Rasulullah senantiasa mengawali aktifitas hariannya dari masjid, diawali dengan tahajjud, I'tikaf, tadarrus, sholat berjamaah, dan lain sebagainya dan setelah itu kembali lagi ke masjid. Terlebih dari itu, Rasulullah juga memfungsikan masjid untuk tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya), tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa serta pusat penerangan atau pembelaan agama, sehingga jelas para sahabat selalu bersilkulasi mengalir dari dan ke masjid, sehingga masjid senantiasa "berdegup" 24 jam sehari, 7 hari seminggu tiada henti.
Seringkali para sahabat datang ke masjid membawa berbagai permasalahan kemudian di masjid "disegarkan" oleh Rasulullah SAW. dengan taushiyah yang berlandaskan wahyu, sehingga keluar dari masjid membawa penyegaran yang kemudian disebarkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang sedang ada di "organ-organ" kampung yang lainnya. Mirip darah kotor yang datang ke jantung kemudian di jantung disegarkan dan disisipi oksigen dan nutrisi yang kemudian diedarkan ke organ-organ tubuh yang lainnya.
Begitupun sebaliknya, sebagaimana jantung yang bermasalah yang berimplikasi kepada berbagai penyakit yang mematikan. Masjid juga demikian, jika detak masjid hanya 5 kali atau 2 kali sehari atau bahkan hanya seminggu sekali atau penduduk kampung (yang berfungsi sebagai darah) tersendat datang ke masjid tentunya akan berimplikasi timbulnya penyakit-penyakit di kampung tersebut. Banyaknya pencurian, pembunuhan, KDRT, percekcokan antar tetangga, kejahatan di pasar, korupsi di kantor-kantor, nepotisme dan lain sebagianya, bisa jadi timbul diawali karena tidak berfungsinya masjid seperti seharusnya dan orang-orang sudah tidak mau bersilkulasi mengalir dari dan ke masjid.
Karenanya, untuk meminimalisir kerusakan dan penyakit-penyakit tersebut, marilah kita fungsikan masjid bagaikan jantung yang ada pada tubuh kita, dengan membuatnya dapat berdegup 24 jam sehari. Kemudian kita juga fungsikan diri kita bagaikan darah yang senantiasa mengalir dari dan ke masjid, dengan melakukan berbagai aktifitas yang bermanfaat seperti sholat berjamaah, tadarrus Al Quran, menghadiri majelis ta'lim, bahtsul masail, i'tikaf dan lain sebagainya, yang setelah mendapat "penyegaran" dari masjid kita sebarkan ke organ-organ kampung yang lain seperti rumah, pasar, kantor dan lainnya sebagai tawashau bil haq wa tawashau bish shobr. Tentunya jika Masjid sehat, kampung pun akan menjadi sehat. Insya Allah.