Laman

Selasa, 18 Oktober 2011

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IVIMPR 1 1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik lndonesia. M E M U T U S K A N : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 3 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan. Pasal 4 1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalani Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib rnengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalani ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan Pasal 5 1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. 1. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 1. Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 1. Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka waktu tunggu. 2. Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut. Pasal 12 Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BA B III PENCEGARAN PERKAWINAN Pasal 13 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 1. Pejabatyangditunjukberkewajibanmencegahberlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. 2. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 17 1. Pencegahan perkawinari diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. 2. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenni permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. 2. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. 3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pancatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. 4. Pengadilanakanmemeriksaperkaranyadenganacara singkat dan akanmemberikanketetapan, apakahiaakanmenguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. 5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang- undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Pormohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. 2. Hak untuk membatalkan olch suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pdsal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isten, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29 1. Pada waktu atau sebelum pelrkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapatmengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjiantersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 1. Suami isteri harus mempunyai tempest kediaman yang tetap. 2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukurn mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. 2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. 2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali. 1. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaankepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 1. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. 2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari kcluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 3. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. 4. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. 5. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 1. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini. 2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Pertama Bagian Kesatu Pembuktian asal usul anak Pasal 55 1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. 2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (l) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Bagian Kedua Perkawinan di luar Indonesia. Pasal 56 1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut, hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. 2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran. Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusannya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. 2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Pasal 60 1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas perniintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika pengadilan memutuskan hahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3) 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang- undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (shtu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 1. Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah : a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi lainnya. (2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. Pasal 65 1. Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a. Suami wajib members jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. 1. Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.'1933 No. 4), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 1. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur libel lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.   PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENJELASAN UMUM: 1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut : a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat; b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74); d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka; f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang bersangkutan. 2. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut: : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri. 5. Untuk menjaminkepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

Sabtu, 18 Juni 2011

Kementerian Agama dan Reformasi Birokrasi

Pada tanggal 3 Januari 2011, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati Hari Amal Bakti ke 65. Banyak harapan yang menggantung pada setiap peringatan Hari Amal Bakti ini. Peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama diharapkan tidak hanya sekedar upacara dan rutinitas tahunan saja, akan tetapi menjadi momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri) dalam upaya peningkatan pelayanan terbaik kepada ummat dan masyarakat. Karena dari istilah “Hari Amal Bakti” sendiri dapat menjadi indikasi bahwa amal adalah perbuatan yang bernuansa positif, sedangkan bakti merupakan bentuk pengabdian pelayanan seseorang pada orang lain dalam komunitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara ikhlash.
Kementerian Agama (Kemenag) yang dahulu bernama Departemen Agama (Depag) adalah kementerian yang sangat disorot masyarakat, karena kementerian ini membawa nama agama. Dalam benak masyarakat, karena instansi ini membawa agama tentu mereka menilai birokrasi Kemenag adalah birokrasi yang memiliki akhlak dan moral yang lebih tinggi di bandingkan dengan birokrasi-birokrasi di kementerian-kementerian yang lain.
Nilai-nilai yang terkandung pada kata agama menjadi harapan yang besar bagi masyarakat, untuk terwujudnya birokrasi yang bersih, transparan, mudah dan tertib. Sehingga jika ditemukan hal-hal yang menyimpang dalam birokrasi Kemenag, seperti melanggar aturan, melanggar hukum dan lain sebagainya, maka hukuman masyarakat kepada kemenag akan jauh lebih besar dibandingkan terhadap instansi lain. Dan ironisnya, karena Kementerian Agama ini memiliki slogan “Ikhlash Beramal” seringkali hasil kerja atau prestasi yang pernah diraih oleh kementerian ini tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari masyarakat.
Tentunya hal ini tidak boleh ditafsirkan oleh aparatur Kementerian Agama sebagai ketidakadilan sikap dari masyarakat. Akan tetapi harus menjadi sebuah tantangan untuk merubah “paradigma” tersebut dengan membuktikan bahwa birokrasi di Kementerian Agama memang merupakan birokrasi teladan bagi instansi lain dalam hal ketertiban hukum, transparansi, kemudahan dan lainnya. Sehingga masyarakat dapat menilai sesuai dengan seharusnya.
Menjadi teladan tentunya bukanlah hal yang mudah. Apalagi Kementerian Agama pernah menorehkan sejarah birokrasi yang kurang baik, sehingga di beberapa waktu silam, Departemen Agama pernah menyandang gelar sebagai salah satu Depertemen terkorup yang ada di negeri ini. Kenyataan tersebut menjadi catatan kelabu yang masih terdokumentasikan pada sebagian besar hati masyarakat. Hal ini menjadi tekad dari Menteri Agama Republik Indonesia Bapak Suryadharma Ali untuk melakukan Reformasi Birokrasi. Dengan berkomitmen menjadikan Kementerian Agama sebagai lembaga penyandang nilai-nilai agama, untuk berada paling depan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, bebas KKN dan perbuatan melanggar hukum lainnya.

Reformasi Birokrasi Kementerian Agama
Reformasi birokrasi merupakan upaya menata ulang, mengubah, menyempurnakan, dan memperbaiki birokrasi agar menjadi lebih bersih, efisien, efektif, dan produktif. Secara ringkas, visi reformasi birokrasi adalah menjadikan tata kepemerintahan yang baik (good governance), dengan misi membangun, menyempurnakan, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan
Kementerian Agama sebagai lembaga pembantu Presiden memiliki tugas menjalankan sebagian tugas pemerintahan di bidang agama. Tugas tersebut merupakan tugas yang berat dan diharapkan mampu memberikan dorongan dan teladan bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Apalagi, Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad melaksanakan reformasi birokrasi secara menyeluruh pada tahun 2011 untuk menciptakan aparatur yang bersih dan berwibawa. Reformasi birokirasi ini penting karena akan mengoptimalkan seluruh elemen birokrasi pemerintahan baik untuk memperbaiki pelayanan publik maupun meningkatkan tata kerja yang efektif, efisien, profesional, transparan,dan akuntabel.
Dalam pandangan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Bapak Dr. Bahrul Hayat, inti reformasi birokrasi itu mencakup dua aspek. Pertama, mengubah seluruh mekanisme kerja agar menjadi lebih efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel. Kedua, melakukan reformasi seluruh sumber daya yang dimilikinya, terutama sumber daya manusia (SDM). Yang pada praktiknya reformasi birokrasi di Kementerian Agama adalah dengan melakukan beberapa hal berikut :
Pertama, setiap insan di bawah naungan Kementerian Agama senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., dengan selalu beribadah dan beramal dengan ikhlash dan bertanggungjawab, baik kepada aturan hukum yang berlaku di dunia maupun pertangganggjawaban kepada Allah SWT. kelak di akhirat.
Kedua, meningkatkan kualitas akhlak yang mulia dengan selalu mengedepankan kualitas dan profesionalitas dari aparatur pemerintahan melalui kreasi-kreasi yang inovatif dan positif dalam pelayanan kepada ummat dan masyarakat.
Ketiga, setiap aparatur pemerintahan di Kementerian Agama senantiasa meningkatkan kualitas intelektual dan emosional sehingga dapat bekerja secara profesional, cepat, transparan, akuntabel dan humanis seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat yang semakin kritis.
Keempat, menumbuhkembangkan semangat pembaharuan untuk merespon dinamika permasalahan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Kelima, setiap warga Kementerian Agama terus memperbaiki dan meningkatkan kemampuan diri dan keterampilan serta memacu kemajuan dari berbagai ketertinggalan sehingga mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam rangka pelayanan terhadap ummat dan masyarakat.
Di tambah dengan selalu mengaplikasikan kode etik Pegawai Kementerian Agama (KMA NO. 421 TH. 2001) yang lima yaitu 1. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa; 2. Mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat; 3. Bekerja dengan jujur, adil dan Amanah; 4. Melaksanakan tugas dengan didiplin dan inovatif; 5.Setia kawan, bertanggung jawab atas kesejahteraan korps.
Tentunya jika hal di atas dapat dilaksanakan, maka tujuan reformasi birokrasi yaitu membangun aparatur negara yang efektif dan efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima, akan terwujud. Wallahu A’lam.

Kementerian Agama dan Reformasi Birokrasi

Pada tanggal 3 Januari 2011, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati Hari Amal Bakti ke 65. Banyak harapan yang menggantung pada setiap peringatan Hari Amal Bakti ini. Peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama diharapkan tidak hanya sekedar upacara dan rutinitas tahunan saja, akan tetapi menjadi momentum untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri) dalam upaya peningkatan pelayanan terbaik kepada ummat dan masyarakat. Karena dari istilah “Hari Amal Bakti” sendiri dapat menjadi indikasi bahwa amal adalah perbuatan yang bernuansa positif, sedangkan bakti merupakan bentuk pengabdian pelayanan seseorang pada orang lain dalam komunitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara ikhlash.
Kementerian Agama (Kemenag) yang dahulu bernama Departemen Agama (Depag) adalah kementerian yang sangat disorot masyarakat, karena kementerian ini membawa nama agama. Dalam benak masyarakat, karena instansi ini membawa agama tentu mereka menilai birokrasi Kemenag adalah birokrasi yang memiliki akhlak dan moral yang lebih tinggi di bandingkan dengan birokrasi-birokrasi di kementerian-kementerian yang lain.
Nilai-nilai yang terkandung pada kata agama menjadi harapan yang besar bagi masyarakat, untuk terwujudnya birokrasi yang bersih, transparan, mudah dan tertib. Sehingga jika ditemukan hal-hal yang menyimpang dalam birokrasi Kemenag, seperti melanggar aturan, melanggar hukum dan lain sebagainya, maka hukuman masyarakat kepada kemenag akan jauh lebih besar dibandingkan terhadap instansi lain. Dan ironisnya, karena Kementerian Agama ini memiliki slogan “Ikhlash Beramal” seringkali hasil kerja atau prestasi yang pernah diraih oleh kementerian ini tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari masyarakat.
Tentunya hal ini tidak boleh ditafsirkan oleh aparatur Kementerian Agama sebagai ketidakadilan sikap dari masyarakat. Akan tetapi harus menjadi sebuah tantangan untuk merubah “paradigma” tersebut dengan membuktikan bahwa birokrasi di Kementerian Agama memang merupakan birokrasi teladan bagi instansi lain dalam hal ketertiban hukum, transparansi, kemudahan dan lainnya. Sehingga masyarakat dapat menilai sesuai dengan seharusnya.
Menjadi teladan tentunya bukanlah hal yang mudah. Apalagi Kementerian Agama pernah menorehkan sejarah birokrasi yang kurang baik, sehingga di beberapa waktu silam, Departemen Agama pernah menyandang gelar sebagai salah satu Depertemen terkorup yang ada di negeri ini. Kenyataan tersebut menjadi catatan kelabu yang masih terdokumentasikan pada sebagian besar hati masyarakat. Hal ini menjadi tekad dari Menteri Agama Republik Indonesia Bapak Suryadharma Ali untuk melakukan Reformasi Birokrasi. Dengan berkomitmen menjadikan Kementerian Agama sebagai lembaga penyandang nilai-nilai agama, untuk berada paling depan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, bebas KKN dan perbuatan melanggar hukum lainnya.

Reformasi Birokrasi Kementerian Agama
Reformasi birokrasi merupakan upaya menata ulang, mengubah, menyempurnakan, dan memperbaiki birokrasi agar menjadi lebih bersih, efisien, efektif, dan produktif. Secara ringkas, visi reformasi birokrasi adalah menjadikan tata kepemerintahan yang baik (good governance), dengan misi membangun, menyempurnakan, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan
Kementerian Agama sebagai lembaga pembantu Presiden memiliki tugas menjalankan sebagian tugas pemerintahan di bidang agama. Tugas tersebut merupakan tugas yang berat dan diharapkan mampu memberikan dorongan dan teladan bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Apalagi, Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad melaksanakan reformasi birokrasi secara menyeluruh pada tahun 2011 untuk menciptakan aparatur yang bersih dan berwibawa. Reformasi birokirasi ini penting karena akan mengoptimalkan seluruh elemen birokrasi pemerintahan baik untuk memperbaiki pelayanan publik maupun meningkatkan tata kerja yang efektif, efisien, profesional, transparan,dan akuntabel.
Dalam pandangan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Bapak Dr. Bahrul Hayat, inti reformasi birokrasi itu mencakup dua aspek. Pertama, mengubah seluruh mekanisme kerja agar menjadi lebih efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel. Kedua, melakukan reformasi seluruh sumber daya yang dimilikinya, terutama sumber daya manusia (SDM). Yang pada praktiknya reformasi birokrasi di Kementerian Agama adalah dengan melakukan beberapa hal berikut :
Pertama, setiap insan di bawah naungan Kementerian Agama senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., dengan selalu beribadah dan beramal dengan ikhlash dan bertanggungjawab, baik kepada aturan hukum yang berlaku di dunia maupun pertangganggjawaban kepada Allah SWT. kelak di akhirat.
Kedua, meningkatkan kualitas akhlak yang mulia dengan selalu mengedepankan kualitas dan profesionalitas dari aparatur pemerintahan melalui kreasi-kreasi yang inovatif dan positif dalam pelayanan kepada ummat dan masyarakat.
Ketiga, setiap aparatur pemerintahan di Kementerian Agama senantiasa meningkatkan kualitas intelektual dan emosional sehingga dapat bekerja secara profesional, cepat, transparan, akuntabel dan humanis seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat yang semakin kritis.
Keempat, menumbuhkembangkan semangat pembaharuan untuk merespon dinamika permasalahan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Kelima, setiap warga Kementerian Agama terus memperbaiki dan meningkatkan kemampuan diri dan keterampilan serta memacu kemajuan dari berbagai ketertinggalan sehingga mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam rangka pelayanan terhadap ummat dan masyarakat.
Di tambah dengan selalu mengaplikasikan kode etik Pegawai Kementerian Agama (KMA NO. 421 TH. 2001) yang lima yaitu 1. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa; 2. Mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat; 3. Bekerja dengan jujur, adil dan Amanah; 4. Melaksanakan tugas dengan didiplin dan inovatif; 5.Setia kawan, bertanggung jawab atas kesejahteraan korps.
Tentunya jika hal di atas dapat dilaksanakan, maka tujuan reformasi birokrasi yaitu membangun aparatur negara yang efektif dan efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima, akan terwujud. Wallahu A’lam.

Ekonomi Syariah VS Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi Syariah
Jika kita membuka-buka referensi mengenai sistem ekonomi, maka kita akan mendapatkan setidaknya ada tiga sistem ekonomi yang digunakan oleh negara-negara di dunia, yaitu Sistem ekonomi Sosialis/komunis, Sistem ekonomi Kapitalis, dan Sistem ekonomi Islam (dikenal pula dengan sistem ekonomi Syariah). Masing-masing sistem ini mempunyai karakteristik yang khas dan relatif berbeda.
Pertama, Sistem ekonomi Kapitalis. Sistem ini sangat menganut sistem mekanisme pasar. Sistem ini mengakui adanya tangan yang tidak kelihatan yang ikut campur dalam mekanisme pasar apabila terjadi penyimpangan (invisible hand). Yang menjadi cita-cita utamanya adalah adanya pertumbuhan ekomomi, sehingga setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan diakuinya kepemilikan pribadi.
Kedua, Sistem ekonomi sosialis dan komunis. Paham ini muncul sebagai akibat dari paham kapitalis yang cenderung mengeksploitasi manusia, sehingga negara ikut campur cukup dalam dengan perannya yang dangat dominan. Akibatnya adalah tidak adanya kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi bagi individu-individu, melainkan semuanya untuk kepentingan bersama, sehingga tidak diakuinya kepemilikan pribadi. Negara bertanggung jawab dalam mendistribusikan sumber dan hasil produksi kepada seluruh masyarakat.
Ketiga, Sistem ekonomi Islam atau dikenal pula dengan ekonomi Syariah. Sistem ekonomi Islam hadir jauh lebih dahulu dari kedua sistem yang dimaksud di atas, yaitu pada abad ke 6, sedangkan kapitalis abad 17, dan sosialis abad 18. Sistem ekonomi syariah adalah ajaran tentang ekonomi yang adil dan komprehensif, yang memprioritaskan peradaban dan etika dalam bisnis dan permasalahan ekonomi lainnya. (Mustafa E. Nasution : 2005)
Dari paparan mengenai sistem ekonomi di atas, kita dapat mengetahui bahwa Sistem ekonomi kapitalis dan sosialis ternyata memiliki kelemahan yang cukup radikal. Yang tidak dapat menjadi pegangan ketika kita melihat sistem ekonomi yang berorientasi untuk kesejahteraan dan kemakmuran ummat. Bahkan pakar ekonomi Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999), menyatakan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme dan sosialisme/komunisme) yang berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri.
Sehingga ekonomi syariah sebenarnya bisa hadir menjadi solusi, karena sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual dan ribawi, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. (Saeful Malik : 2010)

Ekonomi Kerakyatan
Lalu dimana letak ekonomi kerakyatan yang biasanya menjadi sangat populer digembar-gemborkan oleh para calon pemimpin ketika kampanye menjelang Pemilu ? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan ? Menurut Dr. Ir. Abdul Madjid (2009), yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan adalah identik dengan Ekonomi Pancasila, yaitu ekonomi yang digerakkan berdasarkan prinsip optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya teknologi, sumber daya permodalan, sumber daya manusia (pelaksana dan pakar) yang ada untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak.
Istilah ekonomi kerakyatan muncul di Indonesia mulai tahun 1931. gagasan ini dipopulerkan oleh Bung Hatta dalam sebuah tulisan yang berjudul ”Perekonomian Kolonial-Kapital” dalam harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Gagasan ekonomi kerakyatan yang diusung Hatta sebenarnya bermula dari reaksi perlawanan ekonomi Indonesia terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC dan Culturstelsel serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1987.
Prinsip-prinsip dasar dari ekonomi kerakyatan adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, dimana Perekonomian Nasional itu diatur :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip dasar dari sistem ekonomi kerakyatan di atas, kita dapat melihat ternyata secara teori terdapat keselarasan antara sistem ekonomi kerakyatan dengan ekonomi syariah. Sebab prinsip-prinsip dari ekonomi syariah pun adalah harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan, keterbukaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya demi kemaslahatan ummat, juga menganut prinsip universalitas yaitu prinsip yang tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil’alamiin.
Lalu kenapa Indonesia masih tertinggal jauh bahkan terpuruk secara ekonomi di banding dengan negara-negara yang lain ? padahal Indonesia telah memiliki suatu sistem ekonomi yang baik yang selaras dengan sistem ekonomi syariah yang telah terbukti menjadi solusi ampuh ketika mayoritas negara didera oleh krisis moneter yang berkepanjangan di masa lalu ? Jawabannya adalah karena kita masih belum mau mengaplikasikan sistem ekonomi tersebut secara utuh, konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan dari sistem ekonomi tersebut. Masih banyak diantara pelaku usaha yang mencampuradukan prinsip ekonomi konvensional terutama pada tujuannya, yaitu hanya untuk memberikan hasil sebanyak-banyaknya bagi dirinya, tidak peduli dengan orang lain apalagi untuk kesejahteraan ummat.
Kuncinya ada pada diri kita masing-masing. Pertanyaannya maukah kita berkomitmen untuk benar-benar memajukan ekonomi Indonesia dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Di penghujung tulisan ini, penulis mengajak untuk sama-sama merenungi salah satu pidato Bung Hatta sebagai Bapak Ekonomi Indonesia, “Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang makmur, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat adil dan makmur, marilah kita bercermin sebentar kembali pada cita-cita dahulu yang begitu suci dan mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbanan. Rakyat kita masih tetap miskin bahkan lebih miskin daripada sebelumnya, ditengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Paling baik kita merenungkan keadaan rakyat kita sekarang yang sungguh-sungguh berhak mendapatkan nasib yang lebih baik, nasib yang sesuai dengan tujuan kita semula.” (Pidato Bung Hatta, tahun 1958)
Wallahu A’lam Bish Shawwab.