Laman

Kamis, 11 Februari 2016



BEBERAPA ALIRAN SESAT DI INDONESIA

Pengertian sesat
Sesat atau kesesatan itu bahasa Arabnya dhalal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Dalam al-Qur’an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat (lihat QS Yunus: 32). Kebenaran hanya datang dari Allah.
Pertanyaannya kini, kebenaran dari Allah itu adanya di al-Qur’an dan as-Sunnah, namun cara pemahamannya/penafsirannya model apa? Pertanyaan itu sudah ada jawabannya, dalam hadits tentang 73 golongan, riwayat At-Tirmidzi.
“Siapakah dia (golongan yang satu—yang selamat dari neraka—itu) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Mereka yang mengikuti apa) yang aku dan sahabatku berada di atasnya.”
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, penulis Lamhah ‘anil firaq adh-dhaallah, Membongkar Firqah-Firqah Sesat, berkomentar. Ketika Rasulullah ditanya tentang siapakah satu yang selamat itu, beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan sahabatku tempuh.” Maka barangsiapa yang tetap di atas jalan yang ditempuh Rasul saw dan para sahabatnya, maka dia termasuk yang selamat dari neraka. Dan barangsiapa yang menyelisihi dari hal tersebut sesungguhnya dia diancam dengan neraka sesuai dengan kadar jauhnya.
Dalam praktik, kesesatan itu tidak dianggap sesat walaupun dilaksanakan ramai-ramai. Di antara contohnya adalah kelompok yang tidak langsung dikenali sebagai kelompok sesat, misalnya:
Komunitas Penimbrung Qur’an Sunnah
Golongan yang satu ini tidak mau disebut kelompok agama, tak mau pula disebut sekuler. Tapi mereka menolak semua yang datang dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Kelompok ini muncul menjelang pertengahan abad 20 dengan membatasi bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah tidak bisa diberlakukan di wilayah mereka, karena beralasan bahwa di tempat mereka bukanlah wilayah al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka punya aturan-aturan tertentu yang kadang masuk ke wilayah yang diatur al-Qur’an dan as-Sunnah dengan “membantu” pelaksanaan praktisnya, dalam hal yang menguntungkan mereka. Misalnya tentang pelaksanaan ibadah haji. Di sisi itulah al-Qur’an dan as-Sunnah mereka terima, bahkan hampir mereka monopoli.
Lain lagi dengan kelompok yang secara nama adalah Islamis, namun justru sesat menyesatkan. Misalnya:
NII KW IX
NII (Negara Islam Indonesia) asalnya DI (Darul Islam, diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 7 Agustus 1949 di Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat). Kemudian nama NII itu berupa penjelasan singkat tentang proklamasi. Pada tahun 1980-an ketika diadakan musyawarah tiga wilayah besar (Jawa Barat, Sulawesi, dan Aceh) di Tangerang Jawa Barat, diputuskan bahwa Adah Djaelani Tirtapradja diangkat menjadi Imam NII. Lalu ada pemekaran wilayah NII yang tadinya 7 menjadi 9, penambahannya itu KW VIII (Komandemen Wilayah VIII) Priangan Barat (mencakup Bogor, Sukabumi, Cianjur), dan KW IX Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi).
Pada dekade 1990-an KW IX dijadikan sebagai Ummul Quro (ibukota negara) bagi NII, menggantikan Tasikmalaya, atas keputusan Adah Djaelani. Karena pentingnya menguasai ibukota sebagai pusat pemerintahan, maka dibukalah program negara secara lebih luas, dan puncaknya ketika pemerintahan dipegang Abu Toto Syekh Panjigumilang (yang juga Syekh Ma’had Al-Zaitun, Desa Gantar, Indramayu, Jawa Barat) menggantikan Adah Djaelani sejak tahun 1992.
Penyelewengannya terjadi ketika pucuk pimpinan NII dipegang Abu Toto. Ia mengubah beberapa ketetapan-ketetapan Komandemen yang termuat dalam kitab PDB (Pedoman Dharma Bakti) seperti menggantikan makna fai’ dan ghanimah yang tadinya bermakna harta rampasan dari musuh ketika terjadi peperangan (fisik), tetapi oleh Abu Toto diartikan sama saja, baik perang fisik maupun tidak. Artinya, harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal. Pemahaman ini tidak dicetuskan dalam bentuk ketetapan syura (musyawarah KW IX) dan juga tidak secara tertulis, namun didoktrinkan kepada jamaahnya. Sehingga jamaahnya banyak yang mencuri, merampok, dan menipu, namun menganggapnya sebagai ibadah, karena sudah diinstruksikan oleh ‘negara’.
Dalam hal shalat, dalam Kitab Undang-undang Dasar NII diwajibkan shalat fardhu 5 waktu, namun perkembangannya, dengan pemahaman teori kondisi perang, maka shalat bisa dirapel. Artinya, dari mulai shalat zuhur sampai dengan shalat subuh dilakukan dalam satu waktu, masing-masing hanya satu rakaat. Ini doktrin Abu Toto dari tahun 2000-an.
Mengenai puasa, mereka mengamalkan hadits tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dengan cara, sudah terbit matahari pun masih boleh sahur, sedang jam 5 sore sudah boleh berbuka. Alasannya dalil hadits tersebut.
Gerakan ini mencari mangsa dengan jalan setiap jamaah diwajibkan mencari satu orang tiap harinya untuk dibawa tilawah. Lalu diarahkan agar hijrah dan berbaiat sebagai anggota NII. Karena dengan baiat maka seseorang terhapus dari dosa masa lalu, tersucikan diri, dan menjadi ahli surga. Untuk itu peserta ini harus mengeluarkan shadaqah hijrah yang besarnya tergantung dosa yang dilakukan. Anggota NII di Jakarta saja, saat ini diperkirakan 120.000 orang yang aktif.

LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Pendiri dan pemimpin tertinggi pertama gerakan ini adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir pada tahun 1915 di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Paham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama’ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam, Jama’ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972. Pengikut gerakan ini pada pemilu 1971 berafiliasi dan mendukung GOLKAR).
Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama oleh Jenderal Rudini (Mendagri), 1990/1991, menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia).
Penyelewengan utamanya, menganggap al-Qur’an dan as-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya). Gerakan ini membuat syarat baru tentang sahnya keislaman seseorang. Orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis.
Modus operandi gerakan ini mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka secara rutin. Peserta akan diberikan ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, boleh ditebus dengan uang oleh anggota ini.

Inkar Sunnah
Orang yang tidak mempercayai hadits Nabi saw sebagai landasan Islam, maka dia sesat. Itulah kelompok Inkar Sunnah.
Ada tiga jenis kelompok Inkar Sunnah. Pertama kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah saw secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadits yang tak disebutkan dalam al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dengan ayat, “…sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran” (Qs An-Najm: 28). Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.
Inkar Sunnah di Indonesia muncul tahun 1980-an ditokohi Irham Sutarto. Kelompok Inkar Sunnah di Indonesia ini difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai aliran yang sesat lagi menyesatkan, kemudian dilarang secara resmi dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/ J.A./ 1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Ahmadiyah
Orang yang mengakui adanya nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw maka mereka sesat.
Itulah kelompok Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M. dan meninggal 26 Mei 1906 M di India. Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1935, tapi mereka mengklaim diri telah masuk ke negeri ini sejak tahun 1925. Tahun 2000, mendiang khalifah Ahmadiyah dari London, Tahir Ahmad, bertemu dengan Presiden Abdurahman Wahid. Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok telah dihancurkan massa (2002/2003) karena mereka sesumbar dan mengembangkan kesesatannya. Tipuan Ahmadiyah Qadyan, mereka mengaku bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi namun tidak membawa syariat baru. Tipuan mereka itu dusta, karena mereka sendiri mengharamkan wanitanya nikah dengan selain orang Ahmadiyah. Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak pernah mensyariatkan seperti itu, jadi itu syari’at baru mereka. Sedangkan Ahmadiyah Lahore yang di Indonesia berpusat di Jogjakarta mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nabi tetapi Mujaddid. Tipuan mereka ini dusta pula, karena mereka telah mengangkat pembohong besar yang mengaku mendapatkan wahyu dari Allah, dianggap sebagai mujaddid.
Salamullah
Agama Salamullah adalah agama baru yang menghimpun semua agama, didirikan oleh Lia Aminuddin, di Jakarta. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang mempercayai reinkarnasi. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as.
Dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad saw.Ajaran Lia Aminuddin yang profesi awalnya perangkai bunga kering ini difatwakan MUI pada 22 Desember 1997 sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan. Pada tahun 2003, Lia Aminuddin mengaku mendapat wahyu berupa pernikahannya dengan pendampingnya yang dia sebut Jibril. Karena itu, Lia Aminuddin diubah namanya menjadi Lia Eden sebagai lambang surga, menurut kitabnya yang berjudul Ruhul Kudus.
Pengikutnya makin menyusut, kini tinggal 70-an orang, maka ada “wahyu-wahyu” yang menghibur atas larinya orang dari Lia.
Isa Bugis
Orang yang memaknakan al-Qur’an semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, maka mereka sesat. Itulah kelompok Isa Bugis. Contohnya, mereka memaknakan al-fiil yang artinya gajah menjadi meriam atau tank baja. Alasannya di Yaman saat zaman Nabi tidak ada rumput maka tak mungkin ada gajah. Kelompok ini tidak percaya mukjizat, dan menganggap mukjizat tak ubahnya seperti dongeng lampu Aladin. Nabi Ibrahim menyembelih Ismail itu dianggapnya dongeng belaka. Kelompok ini mengatakan, tafsir al-Qur’an yang ada sekarang harus dimuseumkan, karena salah semua. Al-Qur’an bukan Bahasa Arab, maka untuk memahami al-Qur’an tak perlu belajar Bahasa Arab. Lembaga Pembaru Isa Bugis adalah Nur, sedang yang lain adalah zhulumat, maka sesat dan kafir. Itulah ajaran sesat Isa Bugis.
Tahun 1980-an mereka bersarang di salah satu perguruan tinggi di Rawamangun, Jakarta. Sampai kini masih ada bekas-bekasnya, dan penulis pernah berbantah dengan kelompok ini pada tahun 2002. Tampaknya, mereka masih dalam pendiriannya, walau tak mengaku berpaham Isa Bugis.
Baha’i
Kelompok ini adalah kelompok yang menggabung-gabungkan Islam dengan Yahudi, Nasrani dan lainnya.
Itulah kelompok Baha’i. Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syariat Islam telah kadaluarsa. Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Inilah inti ajaran Baha’i. Menolak ketentuan-ketentuan Islam. Menolak Poligami kecuali dengan alasan dan tidak boleh dari dua istri.
Mereka melarang talaq dan menghapus ‘iddah (masa tunggu). Janda boleh langsung kawin lagi, tanpa ‘iddah. Ka’bah bukanlah kiblat yang mereka akui.
Kiblat mereka adalah dimana Tuhan menyatu dalam diri Bahaullah (pemimpin mereka).
Agama Baha’i adalah induk dari aliran Islam Liberal (JIL) yang mempromosikan Pluralisme. Gambar diatas diambil dari situs
Lembaga Kerasulan
Kelompok ini mengibaratkan Rasul bagai menteri, sedang kerasulan adalah sebuah departemen. Lalu Rasul boleh wafat sebagaimana menteri boleh mati, namun kerasulan atau departemen tetap ada. Diangkatlah rasul baru sebagaimana diangkat pula menteri baru. Karena Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir. Yang berpaham Rasul tetap diangkat sampai hari kiyamat itulah kelompok Lembaga Kerasulan.
Masih banyak sebenarnya lembaga dan gerakan aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Ada yang bergerak secara kelompok, tapi ada pula yang bersifat pemikiran individu, seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Kedua tokoh ini nyaris sama. Harun Nasution mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama. Sedangkan Ahmad Wahib yang pernah menerbitkan buku Pergolakan Pemikiran Islam pernah membuat statemen yang mengagetkan dalam bukunya, “Seandainya Muhammad tidak ada, wahyu dari Allah (al-Qur’an) dengan tegas aku berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada.”
Begitu banyak tantangan untuk umat Islam. Ada tekanan yang datang dari luar, ada pula pengkhianatan dan kesesatan yang muncul dari dalam. Dengan berpikir jernih dan bersandar pada hukum-hukum Allah, semoga umat ini selalu mendapat lindungan
Bila diteliti, kemunculan aliran-aliran tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal:
  1. Karena mencari hidayah Allah dengan cara yang salah: bertapa dan merenung.
    Islam tidak mengenal bertapa. Ibadah yang dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dapat melalui shaum, tahajjud dan dzikir. Justru ketika bertapa atau merenung, syaitan akan lebih mudah masuk, sampai-sampai ada orang yang mengaku menjadi nabi.
  2. Karena ada orang yang dipuji secara berlebihan, dikultuskan, dianggap suci.
    Jebakan syaitan ini bahkan dapat menimpa para ulama. Ketika doa sering dikabulkan, makin banyak orang yang datang untuk meminta pertolongan, baik untuk disembuhkan dari penyakit maupun untuk hal-hal yang lain. Pak Miftah sendiri pernah dimarahi oleh ayahnya karena beberapa kali mendoakan orang agar sembuh dari penyakitnya (dan ternyata benar-benar sembuh) dan kebetulan hal tersebut terekspos oleh wartawan. Alasan ayahnya marah adalah karena hal tersebut dapat menjadikan ulama beralih profesi menjadi dukun, dapat memudahkan iblis menggoda ulama untuk lebih mementingkan perdukunannya daripada fungsi utamanya, dan lebih parah lagi dapat membuat ulama dikultuskan, hal yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
  3. Ujung-ujungnya duit, atau hal porno.
    Ada pula aliran sesat yang tujuannya mengumpulkan harta, salah satunya LDII. Mereka punya baiat setelah syahadat, harus patuh kepada imam jauh di atas kepatuhan terhadap orang tua dan kepada suami (bagi wanita). Bentuk kepatuhan tersebut juga dapat berupa pengalihan nama surat-surat tanah menjadi milik imam atau guru, sehingga si imam menjadi orang yang sangat kaya dengan kekayaan yang berasal dari muridnya. Ada pula aliran di Jawa Barat yang cara ibadahnya ialah di dalam kegelapan, cenderung kepada perdukunan. Setelah diteliti, ternyata mereka beribadah tanpa busana, sungguh hal yang sangat jauh dari petunjuk Allah Swt, naudzu billah min dzalik. Ujung-ujungnya tentu agar si imam dapat memilih wanita sesuka nafsunya, sangat jauh dari ajaran Islam.
  4. Penyebaran da’wah belum merata.
    • Bila ada yang mengaku sebagai nabi, pastilah ia berbohong, karena Rasulullah Muhammad Saw adalah rasul terakhir.
      “Rasulullah keluar menuju perang Tabuk, dan beliau mewakilkan Ali (untuk tinggal di kota Madinah), maka Ali pun berkata, “Apakah engkau tinggalkan aku dengan para wanita dan anak-anak?” Rasulullah bersabda, “Apakah engkau tidak rela apabila kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.”(HR. Bukhari)
    • Bila ada yang mengingkari Al-Qur’an, mengingkari sunnah atau menambahkan sumber hukum sendiri selain Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtima’ para ulama maka dapat dipastikan kesesatannya.
5.      Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1ZicAdxqfUfHr553S-VGrDiPUDJDIYTAmfeTs4GXQAkB6_o2E7lJo7XbOT7jiUEyF5DWnRnngznwmghrZHu8cGKD_AIXHQUIK9gcJLJVRHp9juBftqr5iG_glPzm_R2_hcTelXuof6PI/s1600/ghulam.jpg
6.       
7.      Akhir-akhir ini, aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam dan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah kerap bermunculan. Berbagai madzhab dan aliran impor dari luar negeri cepat masuk ke Indonesia seiring dengan derasnya arus informasi dan kemudahan mengakses hal itu melalui internet, buku, organisasi, dan sebagainya. Selain itu, aliran-aliran sesat bersifat lokal seperti aliran kepercayaan, kembali hidup lagi seiring terbukanya alam demokrasi.
8.      Apa penyebab kemunculan aliran-aliran sesat yang meresahkan umat Islam. Beberapa penyebab munculnya aliran sesat, antara lain:
9.      1. Karena mencari hidayah Allah dengan cara yang salah: bertapa dan merenung
10.  Islam tidak mengenal bertapa. Ibadah yang dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dapat melalui shaum, tahajjud dan dzikir. Justru ketika bertapa atau merenung, setan akan lebih mudah masuk, sampai-sampai ada orang yang mengaku menjadi nabi.
11.  2. Karena ada orang yang dipuji secara berlebihan, dikultuskan, dianggap suci
12.  Jebakan setan ini bahkan dapat menimpa para ulama. Ketika doa sering dikabulkan, makin banyak orang yang datang untuk meminta pertolongan, baik untuk disembuhkan dari penyakit maupun untuk hal-hal yang lain. Kepercayaan berlebih yang cenderung fanatik dari sekelompok pengikut dapat menjadikan seorang ulama/ustadz beralih profesi menjadi dukun atau paranormal. Realita ini memudahkan iblis menggodanya untuk lebih mementingkan perdukunannya daripada fungsi utamanya, dan lebih parah lagi dapat membuat ulama atau pemimpin sebuah kelompok dikultuskan, hal yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
13.  Suatu aliran biasanya memiliki seorang pemimpin yang dianggap panutan sejati yang menjadi magnet bagi orang baru untuk tertarik masuk kedalam komunitas tersebut. Dalam psikologi, sang pemimpin baru ini biasanya menampilkan gejala psikiatrik berupa waham kebesaran, padahal sebenarnya ia tengah mengalami disintegrasi kepribadian saat menjadikan dirinya sebagai pemimpin keagamaan. Bagi pengikutnya, pemimpin tersebut diyakini memiliki kharisma sangat tinggi, mampu menyelesaikan berbagai persoalan, mampu membaca situasi seperti paranormal atau lain sebagainya. Waham ini ibarat fenomena salju yang makin hari makin membesar. Pada kasus aliran sesat keagamaan, kebetulan waham kebesaran agama diikuti dengan turunnya wahyu, suara-suara malaikat, atau klaim si pemimpin yang mengaku telah diberi kekuatan untuk menolong orang lain, atau lain sebagainya. Pemimpin aliran sesat, oleh lingkungannya tidak dianggap sebagai “orang sakit”, tetapi justru sebagai orang sakti mandraguna dan dipuja. Biasanya, banyak dari mereka cenderung mengisolasi diri dari lingkungan, dan hidup secara eksklusif dengan kelompoknya Dan keyakinan inilah yang kian hari kian menguat dan diminati pengikutnya.
14.  3. Ujung-ujungnya duit, atau hal porno
15.  Ada pula aliran sesat yang tujuannya mengumpulkan harta. Mereka punya baiat setelah syahadat, harus patuh kepada imam jauh di atas kepatuhan terhadap orang tua dan kepada suami (bagi wanita). Bentuk kepatuhan tersebut juga dapat berupa pengalihan nama surat-surat tanah menjadi milik imam atau guru, sehingga si imam menjadi orang yang sangat kaya dengan kekayaan yang berasal dari muridnya. Ada pula aliran yang cara ibadahnya berada di dalam kegelapan, cenderung kepada perdukunan. Setelah diteliti, ternyata mereka beribadah tanpa busana, sungguh hal yang sangat jauh dari petunjuk Allah SWT. Ujung-ujungnya tentu agar si imam dapat memilih wanita sesuka nafsunya, sangat jauh dari ajaran Islam.
16.  4. Kurangnya perhatian tokoh agama terhadap umatnya
17.  Ketika orang-orang yang dianggap sebagai panutan umat terkesan hanya sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, golongan maupun menceburkan diri kedalam ranah politik, maka wajar bila sebagian dari umat yang tergolong awam mencari pegangan lain. Kalangan awam ini, pada prinsipnya, tidak mempersoalkan apakah ajaran baru yang mereka peroleh menyimpang dari norma-norma akidah. Yang mereka butuhkan adalah untaian kalimat sejuk dan perhatian dari orang yang dianggap sebagai panutan.
18.  5. Grand design pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam Indonesia
19.  Aliran-aliran sesat itu bisa jadi muncul sebagai grand design (proyek besar) pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam Indonesia. Jika data statistik yang dijadikan patokan, maka Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Ada semacam kekhawatiran bahwa peradaban Islam diprediksikan akan kembali berjaya seperti di masa Dinasti Abbasiyyah (750 M–1258 M). Kiblatnya tidak lagi di kawasan Timur Tengah, tetapi Benua Asia dengan Indonesia sebagai titik sentralnya. Tentu saja banyak pihak yang sekarang merasa paling bergengsi peradabannya (the most civilized nations) resah jika Islam di Indonesia suatu saat menggeser kejayaan mereka.
20.  6.Popularitas Pribadi dan Faktor Ekonomi
21.  Boleh jadi para penggagas aliran sesat ini muncul hanya untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi. Sejak era reformasi bergulir dan rezim Suharto jatuh, tidak sedikit orang yang hendak mengail di air keruh. Saat siapa pun bebas berbicara, terbuka pula peluang untuk mempopulerkan diri sendiri (self–declared popularity).
22.  Nafsu semacam ini tidaklah aneh. Memunculkan aliran baru dalam beragama menjadi pilihan yang dipandang strategis untuk sebuah popularitas. Tak hanya itu, dengan bujuk rayu dan kadang disertai ancaman dosa jika tidak mematuhi, maka kalangan awam yang menjadi pengikut aliran baru itu pun rela mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada penyebar ajaran baru, meski mereka sebenarnya diarahkan ke jalan yang sesat.
23.  7. Masalah Kesulitan Ekonomi
24.  Ali bin Abu Thalib menegaskan, “Kefakiran dekat sekali dengan kekufuran”. Pernyataan Ali tersebut tampak jelas bahwa faktor ekonomi dapat mengubah keyakinan seseorang untuk mengikuti orang lain, teman atau orang yang dipandangnya dapat mengangkat dan memberi kesejahteraan ekonomi.
25.  Tatkala ia mengalami kesulitan ekonomi, bujuk rayu pihak-pihak tertentu yang menawarkan ajaran baru dengan jaminan makan-minum ditanggung oleh ketua kelompok atau pengaku rasul menjadi alternatif pilihan yang menurutnya perlu dicoba. Akhirnya, setelah ia merasa lebih makmur, hidup saling tolong-menolong antar penganut ajaran sesat, lalu ia akan mengajak keluarga dan semua kerabatnya untuk bergabung. Dari sinilah, ajaran sesat itu terus menjalar.
26.  8. Penyebaran dakwah belum merata
27.  Bisa jadi, faktor munculnya aliran sesat juga akibat penyebaran dakwah yang tidak merata. Banyak umat Islam yang hidup di pedalaman atau perkampungan yang belum terjamah oleh dakwah islamiyah.
28.  Buktinya, dengan mudah mereka bisa menerima adanya nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW, adanya kitab lain selain al-Qur'an yang bisa menjadi pedoman, adanya informasi bahwa pimpinan mereka ditemui malaikat Jibril, dan sebagainya.
29.  Keyakinan ini menjadi tolak ukur betapa rendahnya daya serap beberapa kelompok muslim terhadap ajaran dakwah. Prinsip dasar rukun iman dan rukun Islam justru belum diketahui oleh sebagian umat. Padahal, dengan mengetahui prinsip-prinsip itu, akan banyak aliran sesat yang terbantahkan dan umat –secara pribadi– memiliki ketahanan dan kekuatan untuk menolaknya.
30.  9. Pendidikan dan Arus Informasi
31.  Bagaimana pun juga, faktor pendidikan yang bebas dan derasnya arus informasi dapat memicu seseorang mengikuti ajaran sesat. Tatkala model pendidikan modern kurang memberikan kontrol yang maksimal terhadap peserta didik, bahkan kontrol itu sendiri dianggap sebagai pengekangan, maka di sanalah ada ruang bagi peserta didik, terutama yang pemerolehan dasar-dasar agamanya kurang mendalam, dapat salah tafsir dalam membaca buku-buku terjemahan dan literatur yang ia pelajari.
32.  Gaung kebebasan berijtihad yang ia dengar dari dosen/guru atau rekan-rekannya telah mendorongnya berani mengambil kesimpulan, sekalipun bertentangan dengan pendapat para ulama. Informasi tanpa batas dari internet, media massa, dan forum-forum diskusi dapat menjadi ajang pertukaran pikiran sesat, nakal, dan menyimpang.
33.  Dari sini, maka pengelola pendidikan seperti: pesantren, sekolah, perguruan tinggi, ormas, yayasan, dan lainnya tak terkecuali pemerintah patut mengkaji ulang sistem pendidikan yang diterapkan.
34.  Wallahu A'lam

Kamis, 29 Januari 2015



Kemerdekaan dan Perbudakan Ruhani
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)

Setiap bulan Agustus kita senantiasa memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Titik waktu di mana bangsa Indonesia merdeka dan mulai dapat menentukan nasibnya sendiri terbebas dari intervensi dan penjajahan bangsa asing. Akan tetapi hampir pada setiap peringatan, kita seringkali lupa bermuhasabah mengenai apa sebenarnya kemerdekaan dan bagaimana Islam atau Al Qur’an menerangkan hakikat kemerdekaan tersebut.
Jika kita mencoba menelisik Al Qur’an, kita tidak akan menemukan di dalamnya uraian tentang kemerdekaan satu bangsa secara spesifik, karena ide kebangsaan baru dikenal masyarakat Islam jauh setelah turunnya Al-Qur’an, yakni saat  Napoleon  datang ke Mesir (1798-1801 M). Tetapi perlu diingat bahwa, kemerdekaan suatu bangsa  atau masyarakat, tidak dapat terpenuhi tanpa kemerdekaan setiap individu yang hidup dalam masyarakat dan/atau negara itu. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa anugerah kemerdekaan yang dinikmati oleh setiap individu dalam suatu masyarakat merupakan anugerah kemerdekaan untuk bangsa dan masyarakatnya. Sebaliknya, tidak dinikmatinya  kemerdekaan dan  kebebasan oleh anggota-anggota masyarakat, juga berarti bahwa masyarakat dan bangsa itu belum dapat dinamakan merdeka. Tidak ada artinya proklamasi kemerdekaan suatu bangsa, jika anggota masyarakatnya masih terbelenggu oleh berbagai belenggu yang merenggut kemerdekaan dan kebebasannya, baik  yang merenggut itu bangsa lain maupun sebagian dari anggota masyarakatnya sendiri.
Al-Qur’an Al-Karim, seperti dikemukakan di atas, tidak menguraikan  kemerdekaan bangsa-bangsa. Namun demikian, tidak sedikit ayat  yang berbicara tentang orang-orang merdeka dan para budak yang hendaknya dimerdekakan, sehingga bila tuntunan ini diperhatikan akan bangkit manusia-manusia merdeka yang pada gilirannya menghasilkan masyarakat dan bangsa yang merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Salah satu ayat yang berbicara tentang anugerah kemerdekaan terhadap satu masyarakat adalah firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, ingat-ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan Dia menjadikan  kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain  (yang semasa dengamu)" (Q.S. Al-Ma’idah, 5:20).
Pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha, ketika menafsirkan ayat ini menulis bahwa, yang dimaksud dengan   ja’alakum mulukan  yang diterjemahkan di atas dengan “Dia menjadikan  kamu orang-orang merdeka,” adalah bahwa mereka dijadikan Allah “menguasai diri mereka masing-masing, bebas mengatur diri dan keluarga mereka, serta menikmati kesejahteraan, setelah sebelumnya ditindas oleh Fir’aun yang membunuh anak- anak lelaki mereka serta membiarkan hidup tertindas wanita-wanita mereka.”
Jadi makna dari kata merdeka dalam pandangan Al Quran lebih cenderung menegaskan kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau individu. Akan tetapi kebebasan pribadi dalam pandangan Al-Qur’an dibatasi oleh norma dan aturan, sehingga tidak dibenarkan mengakibatkan mudharat bagi pihak lain dan tidak pula orang lain dibenarkan mengakibatkan mudharat terhadap diri yang bersangkutan. Demikian makna rumus interaksi yang diajarkan Rasul SAW.  La Dharara Wa La Dhirar. Ia dibatasi oleh keharusan menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan  kemaslahatan umum. Karena, setiap pribadi mewakili dirinya sekali, dan pada saat yang sama pribadi itu adalah bahagian dari masyarakatnya. Pada pada saat ia memperhatikan kepentingan masyarakat,  maka pada saat yang sama kepentingannya pun secara otomatis telah mendapat perhatian. Kebebasan pribadi dalam padangan Islam, jika diterapkan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak mungkin akan melahirkan penindasan terhadap manusia lain, baik karena harta, kekuasaan atau apapun. Sebab, sang Muslim yang menerapkannya selalu diawasi oleh nuraninya yang yang telah diwarnai oleh ketetapan-ketetapan wahyu Ilahi, apalagi dia merasa bahwa hail usahanya adalah berkat bantuan Allah yang memiliki segala sesuatu dalam wujud ini, termasuk jiwa raga sang Muslim.
Dengan demikian, kalau paham materialisme menuntut negara agar memelihara hak-hak pribadi, menjamin demokrasi, serta kelancaran investasi, maka dalam pandangan Islam, di samping hal-hal tersebut, juga dan amat penting adalah memelihara hak-hak  mereka yang tidak berkecukupan dan yang dititipkan Allah kepada para pemilik. Di sini,  kalau para pemilik yang berkelebihan itu tidak memberikan hak-hak tersebut, maka negara diharapkan, bahkan seharusnya, turun tangan. Wa Allah A’lam.
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kabupaten Cirebon
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG PERMASALAHAN SEPUTAR SHALAT JUMAT



موطأ مالك - (ج 1 / ص 324)
بَاب مَا جَاءَ فِي الْإِمَامِ يَنْزِلُ بِقَرْيَةٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي السَّفَرِ قَالَ مَالِك إِذَا نَزَلَ الْإِمَامُ بِقَرْيَةٍ تَجِبُ فِيهَا الْجُمُعَةُ وَالْإِمَامُ مُسَافِرٌ فَخَطَبَ وَجَمَّعَ بِهِمْ فَإِنَّ أَهْلَ تِلْكَ الْقَرْيَةِ وَغَيْرَهُمْ يُجَمِّعُونَ مَعَهُ قَالَ مَالِك وَإِنْ جَمَّعَ الْإِمَامُ وَهُوَ مُسَافِرٌ بِقَرْيَةٍ لَا تَجِبُ فِيهَا الْجُمُعَةُ فَلَا جُمُعَةَ لَهُ وَلَا لِأَهْلِ تِلْكَ الْقَرْيَةِ وَلَا لِمَنْ جَمَّعَ مَعَهُمْ مِنْ غَيْرِهِمْ وَلْيُتَمِّمْ أَهْلُ تِلْكَ الْقَرْيَةِ وَغَيْرُهُمْ مِمَّنْ لَيْسَ بِمُسَافِرٍ الصَّلَاةَ قَالَ مَالِك وَلَا جُمُعَةَ عَلَى مُسَافِرٍ
صحيح البخاري - (ج 3 / ص 413)
843 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ الضُّبَعِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ جُمُعَةٍ جُمِّعَتْ بَعْدَ جُمُعَةٍ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ عَبْدِ الْقَيْسِ بِجُوَاثَى مِنْ الْبَحْرَيْنِ
سنن أبي داود - (ج 3 / ص 271)
905 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْبَجَلِيُّ حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ
سنن أبي داود - (ج 3 / ص 272)
906 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ قَالَ عَطَاءٌ اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
معرفة السنن والآثار للبيهقي - (ج 5 / ص 46)
1710 - أخبرنا أبو سعيد ، حدثنا أبو العباس ، أخبرنا الربيع ، أخبرنا الشافعي قال : « ولما كانت الجمعة واجبة واحتملت أن تكون تجب على كل مصل بلا وقت عدد مصلين ، وإن كان المصلي من منزل مقام وظعن ، فلم نعلم خلافا في أن لا جمعة إلا في دار مقام ، ولم أحفظ أن الجمعة تجب على أقل من أربعين رجلا » . وقد قال غيرنا : لا تجب إلا على أهل جامع . وسمعت عددا من أصحابنا يقولون : تجب الجمعة على أهل دار مقام إذا كانوا أربعين رجلا ، وكانوا أهل قرية فقلنا به وكان أقل ما علمناه قيل به ، ولم يجز عندي أن أدع القول به ، وليس خبر لازم يخالفه وقد يروى من حيث لا يثبت أهل الحديث : « أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع حين قدم المدينة بأربعين رجلا » وروى ، « أنه كتب إلى أهل قرى عرينة : » أن يصلوا الجمعة والعيدين « وروي ، » أنه أمر عمرو بن حزم أن يصلي العيدين بأهل نجران « قال أحمد : وروي بإسناده ، أنه كتب إلى عمرو بن حزم ، أن عجل الأضحى ، وأخر الفطر ، وذكر الناس »
معرفة السنن والآثار للبيهقي - (ج 5 / ص 51 - 52)
1715 - أخبرناه علي بن أحمد بن عبدان قال : حدثنا أبو بكر بن محمويه قال : حدثنا جعفر بن محمد القلانسي ، حدثنا آدم قال : حدثنا شعبة ، عن زبيد الأيامي ، عن سعد بن عبيدة ، عن أبي عبد الرحمن السلمي ، عن علي قال : « لا تشريق ولا جمعة إلا في مصر (1) جامع » . وكذلك رواه الثوري ، عن زبيد موقوفا . قال الشافعي : ولا يدري ما حد المصر الجامع عنده ؟ أهي القرى العظام ؟ أو القرى التي لا تفارق كما قلنا ؛ لأنه مصر لا بدو ينتقل أهله ؟ فقال : بل هي القرى العظام . قيل : فقد جمع الناس في القرى التي بين مكة ، والمدينة على عهد السلف ، وبالربذة على عهد عثمان ، وإنما رأينا الجمعة وضعت عن المسافر وأهل البدو ، وأما أهل القرى فلم توضع عنهم وقد ذكروا عن الحسين ، أنه كان لا يرى الجمعة إلا في الأمصار التي مصرها عمر ، وكان لا يرى بمكة جمعة والذي يخالفنا لا يقول بهذا وقد روي عن شعبة ، عن عطاء بن أبي ميمونة ، عن أبي رافع ، أن أبا هريرة « كتب إلى عمر رضي الله عنه يسأله عن الجمعة وهو بالبحرين ؟ فكتب إليهم : أن أجمعوا حيث ما كنتم » قال الشافعي : إن كان هذا حديثا يعني ثابتا ولا أدري كيف هو فمعناه في أي قرية كنتم ؛ لأن مقامهم في البحرين إنما يكون في القرى قال أحمد : وهذا الأثر إسناده حسن ، ورواه محمد بن إسحاق بن خزيمة ، عن علي بن خشرم ، عن عيسى بن يونس ، عن شعبة وروي عن جابر أنه قال : مضت السنة أن في كل أربعين فما فوق ذلك جمعة وفطر وأضحى « وهذا حديث ضعيف لا ينبغي أن يحتج به . وروي ، عن الزهري ، عن أم عبد الله الدوسية مرفوعا الجمعة واجبة على كل قرية فيها إمام وإن لم يكونوا إلا أربعة وهذا أيضا ضعيف لا يصح ، وقد ذكرنا إسنادهما في كتاب السنن الإمام يمر بموضع لا تقام فيه الجمعة مسافرا قد روينا ، « عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه يوم عرفة جمع بين الظهر والعصر ، ثم راح إلى الموقف ، وكان ذلك يوم جمعة »
__________
(1) المصر : البلد أو القطر
معرفة السنن والآثار للبيهقي - (ج 5 / ص 75)
1732 - أخبرنا أبو سعيد قال : حدثنا أبو العباس قال : أخبرنا الربيع قال : قال الشافعي قال : أخبرنا إبراهيم بن محمد قال : حدثني إسحاق بن عبد الله ، عن سعيد المقبري ، عن أبي هريرة ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم « نهى عن الصلاة نصف النهار إلا يوم الجمعة » ورواه أيضا محمد بن عمر ، عن سعيد بن مسلم بن بانك ، سمع المقبري ، يخبر عن أبي هريرة نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فذكره . أنبأنيه أبو عبد الله إجازة ، أن أبا الوليد أخبرهم قال : أخبرنا الحسن بن سفيان قال : حدثنا أحمد بن أيوب السمناني قال : حدثنا محمد بن عمر ، فذكره . وفي كلا الإسنادين ضعف إلا أنه قد مضى ما يشهد لهما ، والله أعلم
معرفة السنن والآثار للبيهقي - (ج 5 / ص 261)
1878 - أخبرنا أبو سعيد قال : حدثنا أبو العباس قال : أخبرنا الربيع قال : قال الشافعي رحمه الله : « ولا أرخص لأحد في ترك حضور العيدين ممن تلزمه الجمعة قال : وأحب أن يصلى العيدان والخسوف في البادية التي لا جمعة فيها »
الأم - (ج 1 / ص 219)
العدد الذين إذا كانوا في قرية وجبت عليهم الجمعة (قال الشافعي) رحمه الله تعالى لما كانت الجمعة واجبة واحتملت أن تكون تجب على كل مصل بلا وقت عدد مصلين وأين كان المصلى من منزل مقام وظعن فلم نعلم خلافا في أن لا جمعة عليه إلا في دار مقام ولم أحفظ أن الجمعة تجب على أقل من أربعين رجلا وقد قال غيرنا لا تجب إلا على أهل مصر جامع (قال الشافعي) وسمعت عددا من أصحابنا يقولون تجب الجمعة على أهل دار مقام إذا كانوا أربعين رجلا وكانوا أهل قرية فقلنا به وكان أقل ما علمناه قيل به ولم يجز عندي أن أدع القول به وليس خبر لازم يخالفه وقد يروى من حيث لا يثبت اهل الحديث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع حين قدم المدينة بأربعين رجلا وروى أنه كتب إلى أهل قرى عرينة أن يصلوا الجمعة والعيدين.
وروى أنه أمر عمرو بن حزم أن يصلى العيدين بأهل نجران (قال الشافعي) أخبرنا إبراهيم بن محمد قال أخبرنا عبد العزيز بن عمر بن عبد العزيز عن أبيه عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة قال كل قرية فيها أربعون رجلا فعليهم الجمعة (قال الشافعي) أخبرنا الثقة عن سليمان بن موسى أن عمر بن عبد العزيز كتب إلى اهل المياه فيما بين الشام إلى مكة جمعوا إذا بلغتم رجلا (قال الشافعي) فإذا كان من أهل القرية أربعون رجلا والقرية البناء والحجارة واللبن والسقف والجرائد والشجر لان هذا بناء كله وتكون بيوتها مجتمعة ويكون اهلها لا يظعنون عنها شتاء ولا صيفا الا ظعن حاجة مثل ظعن أهل القرى وتكون بيوتها مجتمعة اجتماع بيوت القرى فإن لم تكن مجتمعة فليسوا أهل قرية ولا يجمعون ويتمون إذا كانوا أربعين رجلا حرا بالغا فإذا كانوا هكذا رأيت والله تعالى أعلم أن عليهم الجمعة فإذا صلوا الجمعة أجزأتهم (قال الشافعي) وإذا بلغوا هذا العدد ولم يحضروا الجمعة كلهم رأيت أن يصلوها ظهرا وإن كانوا هذا العدد أو أكثر منه في غير قرية كما وصفت لم يجمعوا وإن كانوا في مدينة عظيمة فيها مشركون من غير أهل الاسلام أو من عبيد أهل الاسلام ونسائهم ولم يبلغ الاحرار المسلمون البالغون فيها أربعين رجلا لم يكن عليهم أن يجمعوا ولو كثر المسلمون مارين بها وأهلها لا يبلغون أربعين رجلا لم يكن عليهم أن يجمعوا (قال الشافعي) ولو كانت قرية فيها هذا العدد أو أكثر منه ثم مات بعضهم أو غابوا أو انتقل منهم حتى لا يبقى فيها أربعون رجلا لم يكن لهم أن يجمعوا ولو كثر من يمر بها من المسلمين مسافرا أو تاجرا غير ساكن لم يجمع فيها إذا لم يكن أهلها اربعون
الأم - (ج 1 / ص 220)
(قال الشافعي) وإن كانت قرية كما وصفت فتهدمت منازلها أو تهدم من منازلها وبقى في الباقي منها أربعون رجلا فإن كان أهلها لازمين لها ليصلحوها جمعوا كانوا في مظال أو غير مظال (قال الشافعي) وإذا كان أهلها أربعين أو أكثر فمرض عامتهم حتى لم يواف المسجد منهم يوم الجمعة أربعون رجلا حرا بالغا صلوا الظهر (قال الشافعي) ولو كثر أهل المسجد من قوم مارين أو تجار لا يسكنونها لم يكن لهم أن يجمعوا إذا لم يكن معهم من أهل البلد المقيمين به أربعون رجلا حرا بالغا (قال الشافعي) ولو كان أهلها أربعين رجلا حرا بالغا وأكثر ومنهم مغلوب على عقله وليس من بقى منهم أربعين رجلا صحيحا بالغا يشهدون الجمعة كلهم لم يجمعوا وإذا كان أهل القرية أربعين فصاعدا فخطبهم الامام يوم الجمعة فانفض عنه بعضهم قبل تكبيرة الصلاة حتى لا يبقى معه أربعون رجلا فإن ثابوا قبل أن يكبر حتى يكونوا أربعين رجلا صلى بهم الجمعة وإن لم يكونوا أربعين رجلا حتى يكبر لم يصل بهم الجمعة وصلوها ظهرا أربعا (قال الشافعي) ولو انفضوا عنه فانتظرهم بعد الخطبة حتى يعودوا أحببت له أن يعيد خطبة أخرى إن كان في الوقت مهلة ثم يصليها جمعة فإن لم يفعل صلاها ظهرا أربعا ولا يجوز أن يكون بين الخطبة والصلاة فصل يتباعد (قال الشافعي) وإن خطب بهم وهم أقل من أربعين رجلا ثم ثاب الاربعون قبل أن يدخل في الصلاة صلاها ظهرا أربعا ولا أراها تجزئ عنه حتى يخطب بأربعين فيفتتح الصلاة بهم إذا كبر (قال الشافعي) ولا أحب في الاربعين إلا من وصفت عليه فرض الجمعة من رجل حر بالغ غير مغلوب على عقله مقيم لا مسافر (قال الشافعي) فإن خطب بأربعين ثم كبر بهم ثم انفضوا من حوله ففيها قولان أحدهما إن بقى معه اثنان حتى تكون صلاته صلاة جماعة تامة فصلى الجمعة أجزأته لانه دخل فيها وهى مجزئة عنهم ولو صلاها ظهرا أربعا أجزأته والقول الآخر أنها لا تجزئه بحال حتى يكون معه أربعون حين يدخل ويكمل الصلاة ولكن لو لم يبق منهم إلا عبدان أو عبد وحر أو مسافران أو مسافر ومقيم صلاها ظهرا (قال الشافعي) وإن بقى معه منهم بعد تكبيره اثنان أو أكثر فصلاها جمعة ثم بان له أن الاثنين أو أحدهما مسافر أو عبد، أو امرأة أعادها ظهرا أربعا (قال الشافعي) ولم يجزئه جمعة في واحد من القولين حتى يكمل معه الصلاة اثنان ممن عليه جمعة فإن صلى وليس وراءه اثنان فصاعدا ممن عليه فرض الجمعة كانت عليهم ظهرا أربعا (قال الشافعي) ولو أحدث الامام قبل أن يكبر فقدم رجلا ممن حضر الخطبة وخلفه أقل من أربعين رجلا صلوها ظهرا أربعا لا يجزئهم ولا الامام المحدث إلا ذلك من قبل أن إمامته زالت وابتدلت بإمامة رجل لو كان الامام مبتدئا في حاله تلك لم يجزئه أن يصليها إلا ظهرا أربعا (قال الشافعي) وإذا افتتح الامام جمعة ثم أمرته أن يجعلها ظهرا أجزأه ما صلى منها وهو ينوى الجمعة لان الجمعة هي الظهر يوم الجمعة إلا أنه كان له قصرها فلما حدث حال ليس له فيها قصرها أتمها كما يبتدئ المسافر ركعتين ثم ينوى المقام قبل أن يكمل الركعتين فيتم الصلاة أربعا ولا يستأنفها.