Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah ...
Bangsa ini tidak hanya ditimpa krisis ekonomi yang berkepanjangan, tapi juga ditimpa krisis akhlak. Merajalelanya kemaksiatan dan tingginya tingkat kriminalitas adalah bukti bahwa bangsa ini mengidap dekadensi moral yang akut. Parahnya, gejala ini tidak hanya menimpa masyarakat kalangan bawah, tapi juga menimpa para pemimpin bangsa dan tokoh agama. Tingginya tingkat korupsi dan kolusi, yang tidak hanya dilakukan oleh para birokrat tapi juga para tokoh agama, membuat masyarakat kehilangan panutan sehingga lahirlah krisis keteladanan. Karena itu, bangsa ini yang berpenduduk Muslim mayoritas ini perlu bercermin kepada akhlak Rasulullah Saw agar bangsa menjadi sehat dan masyarakat menjadi makmur dan sejahtera.
Rasulullah Saw dikenang hingga kini di seluruh jagad oleh miliaran manusia, bukan saja karena ajaran keagamaan yang diembannya, melainkan terutama karena kemuliaan akhlak yang dimilikinya. Kemuliaan akhlak Rasulullah SAW ini merupakan kesempurnaan kehidupan seorang manusia, yang jika dibicarakan akan begitu indah terasa dan sangat sulit (jika tidak bisa dikatakan tidak pernah ada) yang menyamai akhlak Rasulullah SAW.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Pernah diceritakan dalam sebuah riwayat, setelah Nabi SAW wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.
Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad SAW. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad SAW, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi SAW yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi SAW itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]: 1-11.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.”
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi Muhammad SAW. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Aisyah, “’Rasulullah Saw bukan orang yang suka berkata keji, bukan orang yang buruk perangainya, dan bukan orang yang suka berkeliaran di pasar. Bukan pula orang yang membalas kejelekan (kejahatan) dengan kejelekan, akan tetapi orang yang suka memaafkan dan melupakan kesalahan (orang lain),” (HR Ahmad).
Husain bin Ali, cucu Rasulullah Saw, menceritakan bagaimana keagungan kakeknya itu dalam sebuah riwayat, Aku bertanya kepada ayah (Ali bin Abi Thalib) tentang bagaimana Rasulullah Saw di tengah-tengah sahabatnya. Ayah berkata, Rasulullah Saw selalu menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur waktu dan tidak tergesa-gesa. Beliau meninggalkan tiga hal yaitu riya, boros, dan sesuatu yang tidak berguna.
Rasulullah Saw juga tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat dan berpahala. Kalau beliau berbicara, maka yang lain diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya, tidak pernah disela atau dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa-apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya. (HR Tirmidzi).
Nabi Muhammad Saw juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa di antara para sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasulullah Saw selalu memujinya. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam shalat ketika Rasulullah Saw sakit parah. Tentang Umar, Rasulullah Saw pernah berkata, “Setan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka setan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi Muhammad Saw mimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi Saw memberikannya pada Umar bin Khattab dan ia meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasulullah Saw menjawab “ilmu pengetahuan”.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw yang disebutkan di atas sudah cukup membuatnya pantas diidolakan sepanjang masa. Apalagi bagi umat Islam. Dalam Al-Quran, ada perintah bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah Swt dan menunggu datangnya hari kiamat untuk meneladani tingkah laku beliau (QS al-Ahzab [33]: 21). Lebih jauh lagi dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa mencintai Rasulullah Saw adalah wajib. Nabi Saw bersabda, “tidak sempurna iman seseorang sebelum aku lebih dicintainya dari keluarganya, hartanya dan semua orang,” (HR Bukhari-Muslim).
Umat Islam, jika ditanya apakah mereka mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad Saw pasti akan menjawab “ya”. Tapi benarkah umat Islam mencintai dan mengidolakan beliau? Bukankah sang pencinta akan berbuat sesuai keinginan yang dicintai! Tapi kenapa akhlak umat Islam saat ini jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah Saw? Jika umat Islam mengidolakan Rasulullah Saw, kenapa perbuatan mereka berseberangan dengan tingkah laku beliau?
Rasulullah memerintah kita untuk bersatu, tapi kita malah bercerai berai. Tidak hanya bercerai-berai, kita malah “gontok-gontokan” sesama kita sendiri. Satu kelompok menyatakan dirinya lebih Islami daripada kelompok lain. Bahkan ada yang menyatakan mereka yang di luar kelompoknya sebagai “kafir” dan musuh.
Rasulullah adalah seorang yang lemah lembut dan sopan, tapi kita menampilkan wajah yang garang nan sangar. Rasulullah Saw adalah orang pemaaf, tapi kita malah menjadi umat yang sering marah-marah. Bukankah ini bertentangan secara diametral dengan akhlak Rasulullah Saw!
Para pemimpin umat dan para ulama pun didapati gejala serupa. Para pemimpin sibuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara daripada memikirkan kepentingan umat. Bersilat lidah dan bermain-main dengan kebohongan bukanlah hal yang baru bagi mereka. Sementara para ulama yang kritis atas perilaku pemimpin umat bisa dihitung dengan jari. Banyak dari mereka malah ikut menceburkan diri dalam euforia politik praktis. Menjadi “kutu loncat” dari satu partai ke partai lain atau membentuk partai baru bila ambisinya tidak terakomodir adalah hal yang biasa. Bukankah semua ini menunjukkan bahwa cinta umat Islam kepada Rasulullah Saw baru sebatas bibir belaka.
Menurut Imam al-Ghazali, akhlak bisa diubah dan diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu, ia selalu terbuka dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan.
Ibnu Maskawaih, dalam buku Tahdzub al-Akhlaq mengusulkan metode perbaikan akhlak melalui lima cara. Pertama, mencari teman yang baik. Banyak orang terlibat tindak kejahatan karena faktor pertemanan. Kedua, olah pikir. Kegiatan ini perlu untuk kesehatan jiwa, sama dengan olahraga untuk kesehatan tubuh. Ketiga, menjaga kesucian kehormatan diri dengan tidak mengikuti dorongan nafsu. Keempat, menjaga konsistensi antara rencana baik dan tindakan. Kelima, meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari kelemahan-kelemahan diri.
Marilah kita benahi akhlak kita semua. Marilah kita berakhlak sebagaimana akhlak Nabi Muhammad Saw. Hanya dengan cara ini rajutan ukhuwah islamiyah yang terkoyak bisa kita dirajut kembali. Mustahil terbina ukhuwah islamiyah yang solid jika kita masih menggunting dalam lipatan, menikam teman seiring, menyebut kelompok lain kurang islami atau bahkan kafir, emosinal dan sifat buruk lainnya. Marilah kita wujudkan cita kepada Rasulullah dalam amal dan perbuatan, tidak hanya terucap di bibir saja. Wallahu a’lamu bis shawab.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
Selasa, 01 Februari 2011
MENELADANI AKHLAK RASULULLAH SAW
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
HARI KEBANGKITAN vs “HARI KEBANGKITAN”
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
HARI KEBANGKITAN vs “HARI KEBANGKITAN”
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
HARI KEBANGKITAN vs “HARI KEBANGKITAN”
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversial tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”. Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi. Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi, akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang. Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat. Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhori dan Muslim). Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun" juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien Ya Robbal ‘Alamien.
Saya hanyalah seorang hamba yang sedang berjalan menemui Tuhannya.Tidak banyak keinginan, hanya ingin ketika bertemu Allah SWT dengan tersenyum dan Allah SWT menyambut saya dengan keridloan-Nya ...
Langganan:
Postingan (Atom)