Laman

Kamis, 29 Januari 2015



Kemerdekaan dan Perbudakan Ruhani
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA, M.Pd.I*)

Setiap bulan Agustus kita senantiasa memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Titik waktu di mana bangsa Indonesia merdeka dan mulai dapat menentukan nasibnya sendiri terbebas dari intervensi dan penjajahan bangsa asing. Akan tetapi hampir pada setiap peringatan, kita seringkali lupa bermuhasabah mengenai apa sebenarnya kemerdekaan dan bagaimana Islam atau Al Qur’an menerangkan hakikat kemerdekaan tersebut.
Jika kita mencoba menelisik Al Qur’an, kita tidak akan menemukan di dalamnya uraian tentang kemerdekaan satu bangsa secara spesifik, karena ide kebangsaan baru dikenal masyarakat Islam jauh setelah turunnya Al-Qur’an, yakni saat  Napoleon  datang ke Mesir (1798-1801 M). Tetapi perlu diingat bahwa, kemerdekaan suatu bangsa  atau masyarakat, tidak dapat terpenuhi tanpa kemerdekaan setiap individu yang hidup dalam masyarakat dan/atau negara itu. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa anugerah kemerdekaan yang dinikmati oleh setiap individu dalam suatu masyarakat merupakan anugerah kemerdekaan untuk bangsa dan masyarakatnya. Sebaliknya, tidak dinikmatinya  kemerdekaan dan  kebebasan oleh anggota-anggota masyarakat, juga berarti bahwa masyarakat dan bangsa itu belum dapat dinamakan merdeka. Tidak ada artinya proklamasi kemerdekaan suatu bangsa, jika anggota masyarakatnya masih terbelenggu oleh berbagai belenggu yang merenggut kemerdekaan dan kebebasannya, baik  yang merenggut itu bangsa lain maupun sebagian dari anggota masyarakatnya sendiri.
Al-Qur’an Al-Karim, seperti dikemukakan di atas, tidak menguraikan  kemerdekaan bangsa-bangsa. Namun demikian, tidak sedikit ayat  yang berbicara tentang orang-orang merdeka dan para budak yang hendaknya dimerdekakan, sehingga bila tuntunan ini diperhatikan akan bangkit manusia-manusia merdeka yang pada gilirannya menghasilkan masyarakat dan bangsa yang merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Salah satu ayat yang berbicara tentang anugerah kemerdekaan terhadap satu masyarakat adalah firman-Nya, “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, ingat-ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan Dia menjadikan  kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain  (yang semasa dengamu)" (Q.S. Al-Ma’idah, 5:20).
Pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha, ketika menafsirkan ayat ini menulis bahwa, yang dimaksud dengan   ja’alakum mulukan  yang diterjemahkan di atas dengan “Dia menjadikan  kamu orang-orang merdeka,” adalah bahwa mereka dijadikan Allah “menguasai diri mereka masing-masing, bebas mengatur diri dan keluarga mereka, serta menikmati kesejahteraan, setelah sebelumnya ditindas oleh Fir’aun yang membunuh anak- anak lelaki mereka serta membiarkan hidup tertindas wanita-wanita mereka.”
Jadi makna dari kata merdeka dalam pandangan Al Quran lebih cenderung menegaskan kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau individu. Akan tetapi kebebasan pribadi dalam pandangan Al-Qur’an dibatasi oleh norma dan aturan, sehingga tidak dibenarkan mengakibatkan mudharat bagi pihak lain dan tidak pula orang lain dibenarkan mengakibatkan mudharat terhadap diri yang bersangkutan. Demikian makna rumus interaksi yang diajarkan Rasul SAW.  La Dharara Wa La Dhirar. Ia dibatasi oleh keharusan menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan  kemaslahatan umum. Karena, setiap pribadi mewakili dirinya sekali, dan pada saat yang sama pribadi itu adalah bahagian dari masyarakatnya. Pada pada saat ia memperhatikan kepentingan masyarakat,  maka pada saat yang sama kepentingannya pun secara otomatis telah mendapat perhatian. Kebebasan pribadi dalam padangan Islam, jika diterapkan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak mungkin akan melahirkan penindasan terhadap manusia lain, baik karena harta, kekuasaan atau apapun. Sebab, sang Muslim yang menerapkannya selalu diawasi oleh nuraninya yang yang telah diwarnai oleh ketetapan-ketetapan wahyu Ilahi, apalagi dia merasa bahwa hail usahanya adalah berkat bantuan Allah yang memiliki segala sesuatu dalam wujud ini, termasuk jiwa raga sang Muslim.
Dengan demikian, kalau paham materialisme menuntut negara agar memelihara hak-hak pribadi, menjamin demokrasi, serta kelancaran investasi, maka dalam pandangan Islam, di samping hal-hal tersebut, juga dan amat penting adalah memelihara hak-hak  mereka yang tidak berkecukupan dan yang dititipkan Allah kepada para pemilik. Di sini,  kalau para pemilik yang berkelebihan itu tidak memberikan hak-hak tersebut, maka negara diharapkan, bahkan seharusnya, turun tangan. Wa Allah A’lam.
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kabupaten Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar