Laman

Minggu, 04 November 2012

HARI KEBANGKITAN vs “HARI KEBANGKITAN”



(Suatu Renungan pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional)
Oleh : Saeful Malik, S.Ag, MBA*)

Menjadi kebiasaan tiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei dianggap sebagai tanggal keramat atas kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia. Karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang dianggap sebagai suatu organisasi yang menjadi pelopor munculnya rasa persatuan, kesatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Walaupun pada perjalanannya banyak orang yang mempertanyakan terhadap keabsahan dari Hari kebangkitan nasional ini. Karena ternyata banyak fakta sejarah yang mengatakan bahwa kelahiran Boedi Oetomo tidak mewakili terhadap nasionalisme dan cenderung Jawa-Madura sentris, di samping terlalu mengenyampingkan agama Islam. Sehingga sebenarnya yang lebih layak dijadikan titik kebangkitan Nasional adalah tanggal dididirikannya Syarikat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905 seperti yang diungkap  KH. Firdaus AN dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”.
Penulis sendiri dengan penuh kesadaran akan minimnya ilmu sejarah, akan melepaskan diri dari kontroversi tersebut. Biarlah para ahli sejarah yang mengungkap fakta lahirnya kebangkitan Nasional yang sebenarnya. Penulis hanya ingin melihat terhadap spirit yang terkandung pada makna “Hari Kebangkitan”.  Menurut hemat penulis, memperingati dan memaknai  Hari Kebangkitan tidaklah harus bergantung pada tanggal 20 Mei atau 16 Oktober, akan tetapi tiap hari bahkan tiap hembusan nafas kita harus bisa mengingatkan kita pada “Hari Kebangkitan”. Karena sebagai seorang muslim meyakini akan ada suatu hari yang pasti akan dialami semua manusia yang menjadi awal penentuan kehidupan yang abadi.  Hari yang tidak hanya bersifat nasional, duniawi,  akan tetapi lebih bersifat universal dan ukhrowi. Ya, hari itu adalah “Hari Kebangkitan” kita dari kematian kita setelah dihancurkannya dunia, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan “Yaumul Ba’ts”.
Sebagai seorang mukmin tentunya kita sangat meyakini akan adanya Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ts) tersebut, karena hari itu merupakan rangkaian dari Yaumul Akhir (Hari Kiamat), yang mana Iman kepada Hari akhir adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Seperti Firman Allah SWT, “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kalian Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Alloh, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu". (QS. Ar Ruum [30]: 56) diperkuat dengan firman-Nya, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan , kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun [64]:7).
Lalu mengapa kita harus meyakini akan datangnya hari kiamat dan “Hari Kebangkitan” ? Pertama, karena yakin dan beriman terhadap hari kiamat adalah kewajiban setiap orang yang mengakui dirinya mukmin –termasuk rukun iman yang enam--, lepas keyakinan terhadap hari kiamat dapat membatalkan keimanan seseorang.  Kedua, jika kita meyakini hari kiamat berarti kita akan yakin pula terhadap  adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan dunia yaitu kehidupan akhirat.  Sehingga kita akan selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan di dunia. Bukankah “Addunya Mazro’atul Akhirah” dunia adalah sawah ladangnya akhirat ? artinya setiap apa yang kita lakukan di dunia tentunya menjadi buah yang akan kita petik di akhirat. Jika kita menanam buah yang baik tentu akan kita petik buah yang baik pula, tetapi sebaliknya jika kita tanam buah yang buruk maka akan kita petik pula buah yang buruk.
Ketiga, dengan meyakini yaumil ba’ts maka kita akan selalu memiliki orientasi  dan motivasi dalam menjalankan kehidupan kita ini. Kita sering mendengar ungkapan yang sangat Masyhur, “I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirotika ka’annaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok. Artinya  bahwa Islam menekankan keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat yaitu dengan menekankan agar kita selalu khusyu’ dan sungguh-sungguh dalam setiap peribadahan kita  karena khawatir kematian segera menjemput kita dan kita selalu semangat dalam meraih kebahagiaan kita didunia dengan selalu mengedepankan sikap sabar dan tidak terburu-buru dan tidak serakah dalam memperoleh harta dan  materi duniawi karena seakan-akan hidup kita masih lama dan masih akan selalu ada kesempatan. Penulis yakin jika bangsa Indonesia mampu demikian maka Indonesia tidak akan masuk kepada negara dengan kategori terkorup, karena semua orang akan selalu waspada tidak akan berlomba-lomba memperkaya diri dengan jalan-jalan terlarang, tidak akan ada yang korupsi, tidak akan ada kolusi dan nepotisme, karena takut akibatnya nanti di akhirat.
Keempat, ketika semua orang dapat merefleksikan keimanan terhadap hari akhir, maka akan terwujudlah kehidupan yang harmonis, kehidupan yang indah yang mengedepankan norma-norma kemanusiaan, mengedepankan al-akhlakul karimah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi. (H.R. Bukhori dan Muslim).  Di samping itu pula Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita selaku mukmin yang percaya kepada hari akhir untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dalam hal muamalah, yaitu dengan sinkronisasi antara orang kaya dan orang miskin. Abu Dzar r.a. berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia.” (H.R. Ahmad).
Hadits-hadits  tersebut hanya sebagian kecil dari banyak hadits yang menerangkan keutamaan akan keimanan terhadap hari akhir, akan tetapi maknanya dapat merefleksikan suatu keindahan dan keharmonisan kehidupan jika kita mampu berlaku seperti itu dan kita terapkan pada tatanan kehidupan yang lebih luas.
Kelima, meyakini akan hari kebangkitan akan mencegah perbuatan mungkar. Seperti kita ketahui bersama, bahwa banyak kejahatan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya akibat orang tidak sabar akan kemiskinan yang menimpanya dan atau keserakahan nafsu dan kekurang berimanan kepada yaumil akhir. Sebab jika orang meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, maka ia akan selalu menjaga kesabarannya sambil terus mempertahankan motivasi dan semangatnya untu berusaha. Orang shaleh akan berkata, “daripada saya mencuri dan berbuat jahat, lebih baik saya berusaha semampu saya. Biarlah kemiskinan ini menjadi penebus kebahagiaan nanti di akhirat.” Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun"  juga do’a Rasulullah SAW, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin". (H.R. Ibnu Majjah).
Intinya, penulis hanya ingin mengajak untuk memaknai Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan memperingati “Hari Kebangkitan” yang hakiki yang pasti akan kita alami. Sebab seperti terurai diatas jika kita mampu merefleksikan keyakinan kita akan “Hari Kebangkitan” maka kita akan mendapatkan kebahagiaan kehidupan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Bukankah setiap waktu kita senantiasa memohon, “Ya Robbana, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan kehidupan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.” Amien  Ya Robbal ‘Alamien.
 *) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar